Langsung ke konten utama

Ngulik Buku An Introduction to Zen Buddhism Karya D.T. Suzuki

Master Zen Daisetz Teitaro Suzuki (D.T. Suzuki) adalah jajaran tokoh-tokoh awal yang memperkenalkan Zen Buddhisme ke masyarakat Barat, AS, di pertengahan abad ke-20, yang euforianya bergema hingga awal dekade 1990-an. Bukan hanya lingkup spiritual, bahkan keluar dari lingkupnya, menjadi inspirasi film-film Hollywood bertema Jepang. 

Buku yang kata pengantarnya ditulis psikoanalis Carl G. Jung ini hadir dalam konteks menyediakan gambaran pengantar untuk masyarakat Amerika Serikat dan menjawab beberapa aspek yang membingungkan dan anggapan keliru masyarakat umum terkait Zen. Misalnya, apakah Zen itu filsafat ataukah agama (religion). Menjawab pula tuduhan pihak yang menyatakan bahwa Zen adalah nihilisme. Atau, istilah-istilah yang sering keliru ditangkap semisal istilah kealamiahan dan lain-lain.

Mencermati apa yang termuat, buku ini terbagi kedua pembahasan. Subjek pertama berkaitan apa itu Zen. Sekalipun Zen bukanlah perihal konsep, buku meluruskan miskonsepsi beberapa pihak. Bagaimanapun, diingat baik-baik, Zen bukan "Zen".
Tidak boleh diartikan bahwa Zen adalah filsafat dalam arti harfiahnya. Zen tentu saja bukan sistem yang didasarkan pada logika dan analisis. Jikapun ada, Zen adalah kebalikan dari itu. Maksudnya, berkebalikan dari pengadopsian pola pikir dualistik. 
Dengan meraciknya dengan gatha-gatha, bila Anda jeli, D.T. Suzuki memancing pembaca menyadari sesuatu. Sesuatu, katakanlah begitu, yang telah bersemayam dalam diri setiap orang.

Subjek kedua berisi hal-hal teknis terkait Zen semisal peristilahan teknis, Satori, dan kehidupan biara Zen.


Gaya Kebahasaan

Sebagaimana Zen bukanlah sistem filsafat yang berkutat pada logika analitis dan bahkan untuk menyudahinya, maka Anda akan sedikit mengernyitkan dahi membaca buku ini. Namun, di sinilah letak kesegaran filsafat khas oriental. Dua gatha berikut adalah contoh yang dikutip D.T. Suzuki dalam buku.
Seorang bikkhu bertanya kepada Joshu, 'Apa yang akan kamu katakan jika aku datang kepadamu tanpa membawa apa-apa?' Joshu berkata, 'Buang saja ke tanah.' Bikkhu tadi memprotes, 'Saya sudah katakan tidak membawa apa-apa; apa yang harus dibuang?' 'Kalau begitu, bawa pergi,' jawab Joshu. 
Shuzan pernah mengangkat shippe-nya di hadapan murid-muridnya dan berseru, 'Namai ini shippe dan kalian menyatakan, namai ini bukan shippe dan kalian menyangkal. Sekarang, kalian jangan menyatakan atau menyangkal, lalu bagaimana kalian menyebutnya? Jawab, jawab!' Salah satu murid keluar dari barisan, mengambil shippe itu, dan mematahkannya menjadi dua, lalu berseru, 'Apa ini?'

Shippe, sejenis tongkat pendek yang biasa dibawa para guru. 

Dengan gatha-gatha, D.T. Suzuki memberi gambaran apa itu Zen. Jelasnya, Zen bertalian fakta riil, tidak berurusan dengan pemaparan logis, verbal, opini, dan representtasi kosong yang nir-kenyataan. Inti Zen adalah mengalami langsung. Zen tidak memerlukan pemikiran njlimet dan sophiscated


Penutup

Buku ini, hematku, buku bagus. Akan tetapi jika Anda melekati pemahaman—yang artinya menempatkan sesuatu di pikiran Anda—bukanlah itu tujuan dari buku ini. Karena, memahami artinya menempelkan sesuatu di pikiran Anda. Seperti nasihat Suzuki sendiri, Zen adalah tidak mempelajari apa-apa. Zen bukan untuk dipikirkan. Zen adalah tentang pikiran kita sehari-hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha

The Wisdom of Insecurity: Berbahagia di Tengah Jalannya Kehidupan Tak Pasti

Sejarah umat manusia dari generasi ke generasi ditandai oleh kecemasan dan ketidakamanan/ketidaknyamanan ( insecure ), yang diistilahkan dukkha dalam literatur Buddhisme. Bersama bagaimana cara terbebas dari itu, ini adalah poin pokok buku.  Sampul buku. Kecemasan melanda psikis manusia karena ketidaktahuan mereka terhadap kecenderungan mental dan penyangkalan terhadap sifat dunia ini yang selalu berubah dan tidak pasti. Pembebasan manusia dari kecemasan dan perasaan insecure hanya bisa dilakukan melalui pelepasan pandangan ego-diri, atau kesadaran bahwa aku tak terpisah dari bukan-aku, keterpisahan hanyalah eksis di pikiran bukan pada kemyataan itu sendiri, atau terbebas dari ilusi pandangan atta , dan hidup yang, dalam ungkapan eksentrik Watts,  here and now . Dalam buku ini Watts dengan cerdik memberi tahu pembacanya bagaimana mengatasi fenomena psikologis purba itu tanpa mengasosiasikan pendekatannya dengan Zen Buddhisme sama sekali. Watts sepertinya menghindari kecenderungan anti

Veganisme dan Welas Asih

Ditanya, Apakah Buddhisme melarang memakan hewan? Dan apakah memakan hewan itu berpengaruh ke spiritual kita? Saya pribadi bukan Buddhis kultural. Saya memperlakukan ajaran bukan sebagai identitas sosial tetapi kebutuhan personal bagaimana hidup di dunia ini saat ini, mengambil yang dibutuhkan dan "membiarkan" sisanya. Saya mengadaptasinya untuk kebutuhan spirit personal. Apa yang tertulis setelah ini hanya opini pribadi. Jika ada yang baik, ambillah. Jika tak ada,  ya anggap angin lalu. Kenyataan Kerja Alam Amati dan perhatikan kenyataan sekitar. Fakta telanjang adalah kehidupan di Bumi ini terdesain saling memakan untuk mendapatkan energi. Mengapa demikian, itu dimungkinkan karena kesamaan moyang, the last universal common ancestor (LUCA). Dari pemahaman ini pula kita menyadari bahwa kita tiada beda dengan apa pun, apa pun. Bahkan jika diselami lebih jauh, semua yang dipersepsikan kita seolah berbeda dan terpisah satu sama lain sejatinya bersumber pada hal sama. Anggapan

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa

5 Ide Filsuf tentang Kematian

Kepastian dari dilahirkan adalah mati. Kematian adalah keniscayaan tidak dapat disingkiri oleh perjalanan setiap yang disebut hidup. Entah kita mengartikan sebagai kelegaan membebaskan atau ancaman menakutkan tergantung bagaimana kita mempersepsikannya. Pemakaman di Desa Trunyan, Kintamani, Kab. Bangli, di Bali. Ironi eksistensi adalah bahwa kita dilahirkan untuk mengalami proses perubahan: menua, sakit, dan mati. Kita mengerti pada akhirnya hidup ini akan berakhir dan kesadaran eksistensial ini berhenti. Meski kita juga tidak tahu persisnya kapan dan bagaimana proses atau cara kematian kita itu. Pun kita buta tentang apa yang terjadi setelah kita mati. Kematian menjadi subjek penting dalam perenungan lintas generasi manusia. Banyak ide tentang kematian kita dengar, baik yang disampaikan oleh para klerik agama, terdengar dalam balutan mitologi di setiap lingkaran kebudayaan, ataupun para filsuf. Kematian  menjadi subjek penting kefilsafatan. Tulisan ini menyuguhkan beberapa ide para fi

Resensi Zen Mind Beginner's Mind Karya Shunryu Suzuki

Buku versi bahasa Indonesia karya Shunryu Suzuki ini adalah langka. Naskah mentah buku adalah ceramah-ceramah berkala Suzuki-roshi kepada kelompok meditasi  Los Altos Zen , California .  S ecara umum tentang teknik-teknik zazen , yang ajeg direkam salah satu muridnya bernama Marian Derby. Walau disampaikan sebagai gambaran teknis, ada pesan-pesan segar terselip. Zazen adalah semacam duduk untuk duduk. Meski begitu, ini adalah sarana penting untuk merealisasi Zen, istilah teknis yang bersinonim pikiran murni atau kebuddhaan, sebagaimana saya tangkap dalam pesan naskah buku ini.  Tak seperti buku D.T. Suzuki yang bagi orang yang pertama kali berkenalan dengan Zen sepintas tampak provokatif dan vulgar, buku ini disuguhkan dengan gaya penyampaian agak datar. Meski di beberapa bagian, Suzuki-roshi memberi gambaran yang menurut persepsi awam kita juga vulgar, misalnya: Seorang guru Zen berkata, 'Bunuh Buddha!' Bunuh Buddha jika Γ¬a ada di sebuah tempat. Bunuh Buddha, sebab Anda harus

10 Falasafah Hidup Orang Jepang yang Dapat Dicontoh

Jepang adalah bangsa tua yang kaya akan budaya, inovasi teknologi, dan kuliner. Dari bangsa Jepang, kita bisa memetik falsafah hidup. Ide-ide fundamental yang menjadi landasan mendalam bagaimana individunya menjalani eksitensinya. Kita bisa belajar singkat di sini nilai-nilai itu dengan harapan membuat cara kita hidup lebih bermakna, entah itu tentang diri atau relasi sesama. 1/ Ikigai Ikigai adalah berkenaan menemukan ke dalam diri alasan mengapa diri saya layak melanjutkan kehidupan ini dan bagaimana hidup saya harus saya maknai. Setiap individu mencari esensi dari eksistensi ini ke dalam  diri. Inti falsafah ini ada jalinan antara apa yang ingin dituju, nurani memanggilku ke mana, dan profesi apa yang sekiranya memberi “alasan bereksistensi”. Ikigai mengajak kita untuk mengeksplorasi titik keseimbangan antara apa yang kita sukai, apa yang kita kuasai, apa yang diperlukan dunia ini dari saya, dan apa yang dapat menopang diri secara finansial. Berakar pada pandangan dunia secara holi

Proselitisme dan Buddhisme

Terlepas ia mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormati para klerik dan para pengikut agama mana saja, Sang Buddha secara terbuka tak setuju dengan banyak aspek cara pengajaran yang disampaikan para Brahmin, Jain, juga dari agama lain. Memang tak disangkal ada sebagian Buddhis secara agresif menganjurkan proselitisme. Proselitisme keagamaan adalah berdakwah atau pengabaran ke kelompok luar dengan tujuan menarik mereka masuk ke dalam kelompoknya.  Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diperjelas di sini bahwa proselitisme tidak sama dengan sekadar berbagi pengetahuan tentang keagamaan dimana kita tanpa maksud dalam batin menarik dan apalagi memaksa serta dengan tipu daya mempersulit orang lain yang berbeda agama agar masuk ke dalam laku spiritual hidup kita, Buddhisme. Kita semua mafhum jika beberapa agama sangat menganjurkan dan begitu agresif mencari pengikut sebanyak mungkin agar bergabung ke dalam kelompok agamanya, karena satu dan lain alasan. Jika kita melacak ke masa

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suΓ±Γ±ata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, artinya "beba