Buku ini adalah sepaket dengan buku Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan yang diterbitkan oleh penerbit Karaniya. Ditulis oleh Reza A. A Wattimena, berangkat dari perjalanan hidup pribadinya.
Buku secara umum dapat kita bagi menjadi 2 pembahasan. Bagian pertama memuat, sebagaimana sudah disinggung dalam buku pertama, tentang hakikat Zen. Lainnya, membahas tentang Zen bergerak dalam praktik meditasi, yaitu Zazen dan Koan. Dalam bagian pertama ini secara keseluruhan, penulis buku secara tak langsung hendak memberikan gambaran praktik Zen, entah itu yang ada di Tiongkok, Jepang, dan Korea, menyoroti pula bagaimana Zen bercampur tradisi, yang sejatinya tak ada kaitan dengan esensi Zen yang menjadikannya bias terhadap makna sejatinya.
![]() |
Dokumen pribadi. |
Bagian Pertama
Meditasi dalam Praktik: Zazen dan Koan. Selain memaparkan praktik Zazen dan Koan, bagian ini menyinggung ulang dan singkat hakikat Zen, yang sudah ada dalam buku pertama. Kehidupan faktual adalah “saat ini” dan persis di “tempat ini”, tetapi pikiran manusia tak terkendali, bergerak kian kemari, ke masa lalu atau membayangkan jauh ke depan. Padahal jika seseorang bisa hidup di saat ini dan di tempat ini, baik tindakan maupun pikiran, maka ia menemukan kejernihan dan kedamaian. Karenanya, Zen bertujuan untuk menjernihkan pikiran dan menemukan kedamaian sejati, sesuatu yang asali dan yang terberi secara alamiah.
Kejernihan dan kedamaian pikiran hanya dapat dicapai dalam laku hidup sehari-hari: duduk, berdiri, berjalan, berbaring, dan aktivitas lainnya. Tidak lebih tidak kurang. Jika duduk ya untuk duduk itu sendiri, jika berjalan ya untuk berjalan itu sendiri, dst. Singkatnya, tujuan Zen, yang berarti meditasi, adalah melatih pikiran untuk tidak terbelah, untuk fokus “di sini” dan “saat ini”, dan seterusnya begitu jika beralih aktivitas.
Di vihara Zen di Jepang, para biksu bermeditasi tidak dengan duduk saja, tetapi juga melakukan meditasi di setiap aktivitas: kerja, makan, berbaring, duduk, dll.
Zen adalah cara untuk membangkitkan, melatih, dan merawat kealamiahan manusia yang sejati, melatih intuisinya, yang mana telah dikaburkan oleh pikiran. Intuisi adalah sumber dari kebajikan dan kedamaian sejati. Intuisi oleh si penulis diistilahkan sebagai “sebelum pikiran”. Zen adalah latihan mengubah cara berpikir manusia, yang berarti mengubah kepribadiannya.
Karenanya, ia adalah pegangan hidup, ageman. Yang ingin dituju Zen adalah pencerahan batin saat ke saat, momen ke momen, inilah titik jati diri alamiah manusia berada. Jati diri yang satu dan sama pula dengan Alam Semesta itu sendiri. Inilah yang disebut “kenyataan apa adanya” atau “kebenaran apa adanya” yang melingkupi segala yang ada. Jika terlatih hidup sebagaimana ini, maka seseorang bisa menjalani hidup dengan pencerahan batin, hakikat kebuddhaannya.
Penderitaan dan kebahagiaan berjarak tipis. Kebahagiaan sejati adalah lepas dari kebahagiaan dan penderitaan, kosongnya pikiran dan diri dari keduanya adalah kebahagiaan sejati.
Penerimaan untuk melepas dan membebaskan keduanya ketika itu membersit di pikiran.
Mudahnya, pencerahan batin pada prinsipnya dapat digambarkan sebagai kondisi mental dan fisik tercurah untuk apa yang di hadapan dan dikerjakan. Sebuah laku hidup yang harus dilatih dan dirawat-kembangkan dalam keseharian.
Dalam praktik mencapai pencerahan batin, Zen mengenal beberapa metode meditasi, yaitu Zazen yang dipraktikkan aliran Soto Zen dan Koan yang dipraktikkan oleh aliran Rinzai Zen. Ini yang menjadi cara baku dalam vihara Zen di Jepang dan Korea.
Zazen
Duduk adalah salah satu tindakan alamiah. Kucing, anjing, kuda, dan beberapa hewan lainnya pun melakukannya. Manusia modern sulit untuk duduk dengan sepenuhnya duduk sebab pikirannya yang rumit, ke sana kemari, ke masa lalu atau ke masa depan. Pikiran-pikiran yang bergerak ke sana dan kemari ini adalah sumber dari segala penderitaan: penyesalan, trauma, waswas, ketakutan, cemas, dsj.
Masa lalu tidak pasti, masa depan juga tidak pasti, yang pasti adalah saat ini dan di tempat ini, persis di detik ini yang segera berlalu. Bahkan sudah berlalu ketika kita bilang "saat ini'.
Di titik inilah hidup yang sebenar-benarnya, bukan di masa lalu atau di masa depan.
Dalam Zen dikenal metode Zazen atau meditasi duduk. Metode ini menjadi pendekatan aliran Soto Zen. Yang perlu dilakukan kala duduk hanya mengamati gerak pikiran yang silih datang dan pergi. Namun begitu, ia juga bukan konsentrasi pada objek. Dengan cara begitu, pikiran didorong tidak mengalami keterbelahan.
Zazen mengajak orang untuk melepaskan segala bentuk pikiran dan perasaan yang muncul (h. 6).
Tujuannya adalah mengurangi cemas dan takut yang banyak dirasakan orang, terlebih orang modern. Duduk adalah cara paling sederhana dan praktis. Selain duduk yang “sekedar duduk”, cara lainnya adalah menanyai diri sendiri secara terus menerus, seperti praktik yang berkembang di Korea.
Zazen bukan jalan meraih atau mencapai sesuatu dalam arti aktif. Duduk ya untuk duduk. “Aktif” dalam arti mengejar tujuan dalam meditasi itu. Sebaliknya, Zen justru melepas. Zazen adalah duduk demi kebebasan itu sendiri. Termasuk bebasnya pikiran. Ketika pikiran seseorang dalam melakukan meditasi bermaksud menginginkan pencerahan batin, justru terjauh dari itu. Ketika seseorang terpaku pada ambisi dan tujuan tertentu, maka ia tidak akan pernah bisa menangkap makna dari kehidupan itu sendiri. Zen, mengajak kita untuk sungguh-sungguh sadar bahwa hidup sejatinya hanya perlu menjalaninya sambil melepaskan pikiran, konsep, dan ambisi yang bercokol di kepala. Menjalaninya secara alami. Menjalani hidup dengan berpegang Zen, singkatnya adalah menempatkan hidup kita berada di titik tengah di antara dua kutub. Di satu sisi, ada pelaku yang melakukan tindakan, walaupun tindakan itu dilakukan tanpa pikiran dan pertimbangan apa pun. Di sisi lain, ada dunia yang sepenuhnya bergerak secara alami, tanpa bisa dikontrol oleh apa pun atau siapa pun. Persilangan dua titik inilah yang merupakan jalan hidup Zen (h. 65).
Zen, dan juga Zazen adalah cara membebaskan dari segala keinginan dan ambisi yang ditimbulkan oleh pikiran. Keinginan adalah apa-apa yang ingin diraih. Apa-apa yang ingin diraih, itu ada di masa depan, masa depan bukan kenyataan dan tidak pasti. Itu bertentangan dengan prinsip Zen tentang “saat ini” dan “di sini”. Posisi Zazen dikatakan oleh penulis buku adalah titik kunci. Posisinya adalah, duduk bersila, dengan kaki yang satu di atas kaki lainnya. Tangan di paha, dengan jempol yang [saling] bersentuhan, membentuk semacam lingkaran. Tubuh ... tegak, namun tidak ... tegang. Mata dibuka sedikit, seperti irisan. Napas berjalan secara alamiah dari perut Pusat dari seluruh napas dan perhatian adalah tiga jari di bawah pusar perut” dan dengan begitu, “orang diajak masuk ke dalam kekosongan dari dirinya dan dari segala sesuatu” (h. 9).
Koan
Praktik meditasi lainnya dalam Zen adalah Koan, suatu metode untuk mendorong pencerahan batin melalui wawancara yang dilakukan oleh Zen master. Metode ini dipraktikkan oleh aliran Rinzai Zen. Koan bercirikan penggunaan cerita pendek yang dilemparkan Zen master untuk ditanggapi si murid atau praktisi Zen. Cerita pendek difungsikan untuk memotong segala pikiran rasional dan merangsang spontanitas yang betul-betul alamiah.
Koan bukanlah soal ujian, melainkan alat untuk membangkitkan intuisi manusia, yang merupakan jati diri alamiahnya (h. 15).
Rinzai Zen berangkat dari pengandaian bahwa “keadaan alamiah, atau pencerahan batin, hanya dapat dicapai dengan merangsang keraguan yang besar di dalam pikiran, dan menghasilkan keraguan besar yang berujung pada pencerahan batin." Kemudian akan meledak dan pada akhirnya berujung pada pencerahan, yaitu berhubungan cara pandang diri dengan kehidupan dan Alam dan perubahan pola penggunaan pikiran, yaitu melepaskan segala konsep pikiran dan tak mempertahankannya. Koan tidak mirip soal-soal ujian, melainkan sarana membangkitkan intuisi yang tertutup pikiran. Karenanya, tidak ada rumus baku dalam menjawabnya.
Abstraksi dan segala bentuk penjelasan konseptual tidak dapat diterima [atau tidak berlaku] di dalam wawancara Koan (h. 25).
Dituturkan oleh penulis, ada 3 Koan awal yang biasanya diberikan: “Siapakah kamu sebelum kamu dilahirkan?”, Koan ini pertama kali diajukan oleh Hui Neng. “Bagaimana suara tangan yang bertepuk sebelah tangan?”, Koan klasik ini berasal Joju. Atau, “Apakah dalam diri anjing terdapat hakikat asali, yaitu ke-Buddha-an atau Tercerahkan? Jika tidak, apa maksudnya? Koan ini berasal dari Hakuin, seorang Zen master ternama dalam sejarah Zen.
Semua pertanyaan difungsikan memotong logika dan merangsang spontanitas alamiah. Dengan begitu, tidak sibuk melakukan abstraksi dan penamaan dan berkutat pada konsep dan teori, melainkan untuk terbuka atas ketidaktahuan dan ketidakpastian dari dirinya sendiri dan Alam Semesta.
Pertanyaan-pertanyaan yang sekilas bodoh ini seperti tembok es yang menghalangi pikiran, yang ketika runtuh, pertanyaan-pertanyaan tadi dengan sendirinya kehilangan maknanya. Jawaban dalam bentuk gestur tubuh juga berlaku selama itu melambangkan kesadaran akan jati diri alamiahnya. Semua ini untuk menciptakan keraguan besar dalam pikiran bahwasanya kita tak bisa memahami diri dan Alam ini dengan konsep. Banyak yang menganggap bahwa konsep adalah kenyataan itu sendiri, ini adalah ilusi yang diciptakan pikiran.
Bias Kebiasaan dan Budaya pada Zen
Sebagai suatu metode untuk mendorong pencerahan batin, terkandung kekurangan mendasar dalam Koan. Orang sering kali salah memaknai, menghabiskan waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi wawancara Koan. Hal seperti ini justru menjauhkan dari Zen yang ingin didorong pada diri orang itu melalui Koan. Ada kecenderungan anggapan bahwa Koan adalah jalan satu-satunya pencerahan batin. Koan hanya salah satu cara dan tidak semua aliran dalam Buddha menggunakan metode ini.
Zen, sebagaimana tutur penulis, dalam perjalanannya dewasa ini semakin sulit dibedakan semangatnya dengan tradisi yang berkembang di masyarakat. Adanya tradisi, muncullah berbagai aturan dan kebiasaan yang kerap kali tak ada hubungan langsung dengan Zen. Muncul pula kelompok elit dan upacara yang mengaburkan makna Zen. Tradisi sampai di sini menjadi tatanan utama dan esensi Zen kehilangan esensinya. Masyarakat Jepang dan Korea erat sekali sejarahnya dengan militeristik, sehingga orang pun kesulitan untuk memahami inti paling dalam dari ajaran Zen.
Banyak pandangan orang tentang Zen cenderung dipengaruhi mistik dan takhayul. Banyak anggapan pula bahwa Zen master adalah orang istimewa, orang suci, atau orang linuwih. Pandangan semacam ini dipengaruhi juga oleh pembacaan literal atas teks-teks sutra di dalam Buddha.
Sejatinya, teks-teks itu mengarah pada keadaan sebelum pikiran. Zen master adalah orang biasa-biasa saja. Tidak mempraktikkan klenik. Mereka bisa sakit, lapar, dlsb. Tak lepas dari sifat naturalnya. Mereka hanya orang biasa-biasa saja. Biasa dan biasa saja. Tidak eksklusif.
Justru Zen master yang telah mencapai ketercerahan adalah pribadi yang sangat manusiawi, biasa-biasa saja, bukan orang yang ingin merubah dirinya orang suci dan keramat atau ingin menjadi pribadi yang “mencolok”. Tak berkeinginan menjadi seperti mahluk lainnya, ia hanya sekedar menjadi manusia biasa-biasa saja. Zen master yang tercerahkan batinnya justru adalah pribadi yang menerima apa adanya kemanusiaannya: lapar, makan; lelah, buang air besar, istirahat; haus, minum; mengantuk, tidur; dst. Pikiran dan tindakan searah di “saat ini” dan “tempat ini”. Pikiram segaris momen di hadapan kita.
Zen dan Seni
Lukisan pada umumnya adalah mencoba menangkap apa yang ada di alam dan kemudian menggoreskannya atau menggambarkannya ulang ke medium tertentu. Jadi, dalam tataran filosofis apa yang dilukis dengan lukisan masih ada perbedaan.
Seni dalam budaya Barat berakar pada tradisi filsafat atau religiusitas yang memandang Roh sebagai sesuatu yang berbeda dari alam material. Roh bergerak dari alam surgawi yang kemudian bekerja menciptakan segala sesuatu di dunia, Roh ini dalam tradisi Kristen disebut Tuhan (h. 43).
![]() |
Zen. |
Zen berkaitan pikiran manusia dan merangsang kembali pada keadaan alamiahnya. Dengan kata lain, Zen dengan sendirinya juga berhubungan dengan bagaimana merubah pola pikir dan perilaku orang.
Perilaku manusia acapkali terpantul pada tiap-tiap perbuatan dan pekerjaannya, itu tak luput pula di bidang seni. Tak terkecuali dari seorang praktisi Zen. Umumnya para filsuf Tiongkok adalah seorang pelukis dan penulis puisi, tak ada perbedaan tegas di antara peran sosial itu, Zen master juga bukan pribadi yang melulu berurusan dengan spiritualisme, mereka biasanya juga seniman. Oleh karenanya, tak mengherankan karya-karya seni Tiongkok terkait lukisan berciri kanvas atau kertas putih dengan lukisan atau goresan hitam dengan beberapa bait kata puitis, seperti sering dijumpai dalam film-film Mandarin yang mengangkat tema era dinasti.
Berbeda dari cara pandang Barat dalam hal seni, Zen adalah pandangan yang beranjak dari bahwasanya manusia tak terpisah dari Alam Semesta itu: Ia adalah Alam Semesta, Alam Semesta adalah ia. Manusia tidak dipandang sebagai unsur terpisah dari Alam Semesta.
Dalam kaitan seni, Zen beranjak pada pandangan filosofis tadi, bahwa lukisan adalah karya alam itu sendiri yang bergerak melalui tangan manusia. Poin terpenting adalah keadaan pikiran si pelukis dan penggores kaligrafi dan bait puisi. Zen dalam seni tampak pada cara menggores, yaitu kapan harus ditekan kuat dan kapan tidak; keseimbangan antara coretan dan ruang putih kosong, tapi juga tak direncanakan; tak ada sudut simetris; dan yang menjadi ciri penting adalah lukisan-lukisan praktisi Zen dalam menyampaikan pesan moral lepas dari simbol-simbol religiusme dan sebagainya. Melukis alam ya “alam apa adanya”.
Dalam seni Zen, yang ditonjolkan dalam lukisan, dan seni apa pun, adalah spontanitas pikiran yang dapat dirabai dalam goresan atau gerakan kuas. Seni bagi praktisi Zen adalah “cara mengungkapkan kondisi berpikir seniman yang menekankan kekinian dan kekosongan” (h. 54). Ini tidak berlaku pada seni lukis dan kaligrafi atau paduan keduanya saja, termasuk pula berlaku pada bidang seni lainnya: menata taman, bela diri, dll. Berikut beberapa contoh goresan puisi Zen:
Kamu menyalakan api. Aku akan menunjukkan sesuatu yang cantik... bola salju!
Betapa mengagumkan, mereka yang tidak berpikir, hidup mengalir, ketika ia melihat petir.
Contoh bait puisi yang berkaitan Alam:
Rumput di sawah, sekedar berbaring... Pupuk!
Malam yang panjang, suara air mengatakan apa yang kupikirkan, secara lebih langsung.
Pantulan bintang di kolam, sekali lagi angin dingin menggerakkan air.
Dalam hal puisi ini, Zen memakai bahasa untuk melenyapkan bahasa itu sendiri, dalam arti bahasa digunakan “apa adanya”. Dengan kata lain, apa yang terlintas digoreskan begitu saja. Ya, begitu saja.
Bagian Kedua
Bagian kedua buku, yaitu halaman setengah yang akhir dari keseluruhannya, sepertinya berisi beberapa potongan-potongan artikel Reza A. A Wattimena yang kemudian ikut dibukukan. Namun begitu, potongan-potongan artikel yang berbagai tema itu dapat dipadatkan menjadi beberapa topik utama yang didedahnya, dan ada kaitan dengan Zen, dengan maksud pencerahan batin. Dengan melakukan improvisasi penyajiannya, dapatlah dipadatkan menjadi beberapa tema sebagai berikut.
Yang pasti dalam hidup adalah ketidakpastian. Hidup manusia diselimuti rasa takut: bagaimanakah masa depan diri atau keluarga nanti? Apakah aku akan sukses di kemudian hari? Apakah nanti aku ditinggalkan orang-orang yang aku sayangi—atau malah ditinggalkannya? Dan, banyak takut-takut lainnya. Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas menciptakan harapan sekaligus rasa takut dalam hidup kita. Ada juga takut dengan apa yang sudah berlalu, takut semacam ini menimbulkan penyesalan dan trauma dan hari-hari dipenuhi kabut rasa bersalah, waswas, dan phobia. Dari semua takut itu, yang paling orang takuti kebanyakannya adalah mati. Dari itu pula, muncul bayangan takut tentang setelah kematian ada apa (atau justru memang tidak ada apa-apa?)—bagaimanapun pikiran manusia unik karena kemampuannya membayangkan atau mengimajinasikan yang sebenarnya tidak nyata-nyata ada, tidak ada—atau takut orang-orang yang kita sayangi mati lebih dahulu.
Informasi-informasi yang berseliweran di media yang kita baca pun tersirat dan mengisyaratkan takut, dan menciptakan ketakutan. Bahkan politik juga sering kali menampilkan diri dan dinarasikan dengan takut. Contohnya adalah sebagaimana disebut penulis, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu pada awal Maret 2015 berpidato di depan Kongres AS di Washington tentang bahaya jika Iran mengembangkan senjata nuklir. Netanyahu ingin menebar rasa takut di kalangan Kongres agar AS, dengan begitu memerangi Iran. Ia menyuntikkan rasa takut ke dalam politik luar negeri AS. Dalam historisnya, AS adalah negara yang diselimuti kegelisahan dan ketakutan pada musuh dari luar. Dari Perang Dunia II melawan Hitler ke Perang Dingin di pertengahan abad ke-20, hingga invasi Iraq dan Afganistan. Tak mengherankan jika masyarakat AS terlibat perang yang sia-sia—membunuh dan terbunuh ribuan tentaranya. Di dalam negeri “politik takut” juga motif gerak-tindak bangsa ini. Mulai ketakutan kembalinya pasukan Kolonial dan sekutu, Inggris, yang akan menguasai kembali, hingga ketakutan Orde Baru pada Komunisme, yang sampai sekarang masih sering kita dengar, padahal Komunisme sendiri sudah sekarat dan bangkrut sebagai paham. Bukan hal baru, politik berdasarkan ketakutan mewarnai isi kepala masyarakat di seluruh penjuru Bumi.
Takut adalah masalah besar dalam hidup manusia. Rasa takut yang muncul menyebabkan pikiran manusia berjalan kacau, yang pada akhirnya menjadikan tidak mampu menghargai hal-hal baik dan dihantui bayangan yang diciptakan oleh kesemrawutan pikirannya.
Bagaimanapun, yang menjadi kepastian perjalanan hidup adalah ketidakpastian.
Tak luput, terkadang, kesemrawutan menjerumuskan pada tindakan-tindakan menjahati diri dan orang lain, karena pertimbangan-pertimbangan kacau muncul dari pikiran yang kacau. Takut menjadikan orang melihat dan membayangkan kenyataan dengan sebaliknya. Ini semua, yang lahir dari pikiran yang kacau, adalah penyebab penderitaan batin. Semua ini terjadi karena ketidaktahuan terhadap bagaimana cara kerja pikiran kita. Dari sudut pandang individu, pribadi yang terlekati takut menyebabkan ia jatuh pada depresi karena besarnya takut di dalam diri. Pada tingkat paling parah berujung bunuh diri. Lantas, bagaimana rasa takut itu muncul? Mengapa rasa takut menjadi daya dorong yang besar, bahkan bisa mendorong meletusnya perang? Bisakah melampaui takut itu?
Akar dari “ketakutan adalah antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan terjadi” (h. 81). Takut adalah bayangan yang diciptakan pikiran, bayangan—yang kita anggap pasti terjadi—atas diri kita. Kita menghilangkan kemungkinan bahwa itu bisa saja tidak terjadi.
Ketakutan sejatinya tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan bergantung bagaimana cara pikir dan keadaan pikiran kita.
Takut adalah bayangan yang diciptakan pikiran kita. Takut bisa tercipta dari hidup getir kita yang sudah berlalu. Takut akan terulang kembali. Usaha mencegahnya sering kali memicu ketegangan batin dan rasa takut dalam batin. Rasa takut bisa pula lahir dari cerita getir kehidupan orang lain. Pikiran kita sering kali menerimanya bulat-bulat, tanpa menyaring kritis kebenarannya. Orang semacam ini, yang tidak kritis, mudah diadu domba, diperdaya, dan diprovokasi. Tidak kritis adalah pangkal delusi. Delusi adalah kekeliruan berpikir tentang kehidupan dan kenyataan itu sendiri. Delusi adalah sumber dari segala takut.
Masa lalu sejatinya tidak ada, yang ada hanyalah bayangan semata di pikiran kita dan tidak punya objek pasti, rasa takut yang ditimbulkan oleh bayangan masa lalu adalah rapuh, begitu ucap Eckhart Tolle. Pun masa depan—bayangan atau ketakutan pada masa depan—sebagaimana ditulis Hinnerk Polenski, adalah ilusi atau sekedar bayangan ciptaan pikiran dan akhirnya mengacaukan pikiran itu. Kematian? Ia sejatinya juga ilusi pikiran kita.
Yang perlu diingat kembali adalah, filsafat Timur pada umumnya dan Zen pada khususnya, memandang diri tak ada ada. Kita hakikatnya hanyalah Semesta yang satu itu (sebagaimana sudah dijelaskan dalam bukunya yang pertama). Cara pandang "aku" yang seolah terpisah dari luar aku adalah pandangan rapuh, berangkat dari ketidaktahuan memahami pikiran kita, yang menciptakan abstraksi dan bahasa.
Jika pikiran bisa dilepas dan hidup dijalani berdasar “saat ini” dan persis “di sini”, itulah jati diri asali dan faktual-alamiahnya hidup manusia. Letak kebahagiaan sejati, yang dalam istilah lain disebut ketercerahan.
Membunuh Pertanyaan, Mengenyahkan Pikiran
Hidup manusia tak lepas dari pertanyaan. Tak salah jika dijuluki sebagai homo intellectualé. Kita sebelum dilahirkan ada di mana? Apakah ini semua ada yang mengatur? Apakah hidup ini betul memiliki makna? Siapa yang mengatur? Apakah Tuhan yang menciptakan kita? Jika memang begitu, Tuhan versi yang mana? Setidaknya, sekali dalam hidup manusia, ini pernah terbersit di pikiran.
![]() |
Reza Wattimena (Penulis buku). |
Satu hal kiranya yang melahirkan segalanya: pikiran. Dari pikiran melahirkan abstraksi dan konsep, kemudian bahasa. Jawabnya adalah pikiran.
Ketika kita berpikir, muncullah pertanyaan. Pertanyaan dirumuskan dalam bahasa; Pikiran dan bahasa adalah bahan mentah membuat pertanyaan. Kita merumuskan jawaban pun tak luput dari pikiran dan bahasa. Ketuhanan, agama, dan filsafat begitu bergantung pada bahasa. Segala yang bisa diutarakan dengan bahasa adalah hasil pikiran.
Terkhusus filsafat, menurut Ludwig Wittgenstein bahwasanya filsafat lahir dari kesalahan penggunaan bahasa. Lebih jauh, Wittgenstein dengan positivisme-logis berkeinginan “menata” bahasa, dengan begitu pikiran bisa ditata. Ini ibarat labirin. Bagaimanapun melenyapkan pertanyaan (termasuk pertanyaan-pertanyaan filosofis) paling efektif adalah mengheningkan pikiran, tempat lahirnya abstraksi, konsep dan bahasa. Dengan begitu lenyaplah pertanyaan dan pengetahuan, yang tak urung bias. Semua ini bukanlah kenyataan, melainkan hasil pikiran yang rapuh. Tak berjangkar pada kenyataan.
Banyak orang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam hidup mereka dengan merumuskan konsep-konsep baru. Artinya, mereka menambah pikiran dan bahasa baru di dalam kepala mereka. Namun, semua pertanyaan tetap tak terjawab. ... Setiap jawaban akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru tiada habisnya (h. 92).
Dengan cara yang sama, kita tak mungkin memutus masalah yang diajukan oleh kerja pikirann (ketuhanan, keagamaan, filsafat, dll) melalui yang dikemukakan bahasa. Kita, sebagaimana tegas Alan Watts yaitu seorang ahli filsafat Timur asli AS, tak mungkin bisa “menyelesaikan masalah” yang lahir dari pikiran dan bahasa dengan menggunakan pikiran dan bahasa pula. Itu mencuci darah dengan darah. Filsafat, yang erat sekali dengan pikiran, menjawab pertanyaan selalu dengan menyeret
pertanyaan-pertanyaan baru lainnya sesudah jawaban.
Zen mengajak kita mengambil jarak dengan pikiran kita, mengheningkannya. Semua yang bukan “saat ini” dan persis “di sini” adalah ilusi, ciptaan pikiran. Dengan mendalami Zen, segala bentuk dan kebiasaan pikiran analytical runtuh.
Melampaui Ilmu Pengetahuan
Bagaimanapun ilmu pengetahuan modern lahir dari rahim filsafat konvensional dalam historisnya. Oleh karenanya, tak kita sadari dengan sendirinya mewarisi ciri filsafat juga: adanya abstraksi objek dan kita perlu menamainya, hasilnya pengamatan dikomunikasikan pun dengan bahasa.
Ilmu pengetahuan modern kerap kali membuat pemisahan dan lupa bahwa pemisahan hanya ada di ranah teorisasi. Tidak ada keterpisahan pada ranah kenyataan, semua adalah harmoni. Ilmu pengetahuan masih melulu dan berhenti sampai di pikiran dam penggunaan bahasa, yaitu sumber segala masalah.
Dengan cara pandangnya, Alam dianggap bukan kesatuan dengan diri, dan yang lainnya yang lebih luas. Menciptakan ilusi keterpisahan, cara berpikir yang menciptakan subjek-objek dan cara pandang narsistik bahwa Alam dan segala isinya disediakan untuk sekalian manusia. Ujungnya adalah tindakan eksploitatif, mengambil rakus, dan merusak.
Pekerjaan sia-sia untuk kebahagiaan untuk dipersembahkan kepada umat-manusia-bersama. Jangankan kebahagiaan, mengobati masalah-masalah pikiran, atau sekedar menjadi tombol “stop-and-go” pikiran manusia saja, sumber segala masalah pada kebanyakannya, tidak bisa.
Berbeda dari itu, Zen memandang diri dan ilmu pengetahun atas Alam adalah kesatuan. Alam tidak dilihat sebagai yang beda dari kita. Hubungan manusia dan Alam dalam mengambil cukup “sak madyo” dan sekedar keutuhan alamiah “saat ini” saja.
Penutup
![]() |
Seni membuat taman Zen (nipponclub.net). |
Membaca buku ini tidak bisa berdiri sendiri, maksudnya tanpa membaca buku pertama, yaitu buku Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan. Sebab, buku ini sejatinya berisi penjelasan lebih lanjut tentang Zen. Pun, ulasan ini akan sulit dipahami tanpa membaca lebih dahulu yang pertama.