Langsung ke konten utama

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif.

Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal (religion) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik.

Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi dengan alam sekitarnya, yang darinya kehidupan bergantung.

Falsafah laku hidup Jawa mendorong setiap manusia mengeksplorasi dan menemukan secara mendalam esensinya sendiri, karenanya ajaran-ajaran Jawa diungkapkan dalam peribahasa singkat, bukan eksplanasi definitif. Nah, berikut ini adalah beberapa ungkapan mendalam falsafah Jawa nan mendalam. Harapannya, Anda berkontemplasi untuk diri Anda sendiri. Ini memberi kekuatan menjalani hidup di baliknya.


1/ Tan kena kinereka tan kena kinaya ngapa

Sebagai bangsa berperadaban tinggi dan besar, orang-orang bijaksana Jawa telah merenungkan eksistensinya secara mendalam di dunia ini. Berhadapan alam ini, manusia Jawa diselimuti sebuah perasaan khidmat di hadapan Sang Jagad dan pengakuan tulus bahwa "aku tahu tidak tahu". Menyelami perenungan eksistensial leluhur Jawa dengan sendirinya melahirkan rasa toleransi dan selalu punya ruang menerima pengetahuan-pengetahuan baru akan eksistensi dan mempelajari hal-hal baru. 

Pandangan kosmologis Jawa kuno terekam dalam falsafah tan kena kinereka tan kena kinaya ngapa. Jika diartikan kira-kira ada yang tak terbayangkan, tak terkira dan tergambarkan, tak tertangkap pikiran, dan karenanya tak terutarakan. Dari pengakuan sadar ini, manusia Jawa terdorong untuk toleran dengan sendirinya dan selalu terus selalu memiliki ruang untuk hal-hal baru, kepengenan luwih njawa, dan mengembangkan aspek kehidupan nyata dan dunianya.


2/ Sadherma ngelampahi titahing Jagad

Manusia Jawa sadar eksitensinya sebagai jagad alit adalah tiada terpisah dari Jagad Ageng, yang kadang diistilahkan sebagai Gusti. Manusia Jawa sadar eksitensinya tiada terpisah dari Semesta. Manusia Jawa sadar bahwa sejatinya eksistensinya adalah Alam Semesta itu sendiri, bukan terpisah mandiri. Kadang diutarakan dalam ungkapan manunggaling kawula Gusti. Manusia Jawa dengan kesadaran eksistensi ini mengembangkan sikap batin yang becik dan edi dalam menuntaskan tugas eksistensi hidupnya dengan mukti, untuk kemudian kembali ke Gusti, tak lain adalah jagad itu sendiri, dan entah akan menjadi susunan macam apa dalam wujud kemudian.


3/ Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti

Selain dicirikan manusia yang erat dengan ekspresi simbolis, manusia Jawa adalah manusia spiritualis. Manusia yang njawa (mengerti; tahu; sadar) bagaimana memadamkan kepicikan, iri dengki, culas, keangkaramurkaan, dengan welas asih serta pemaafan. Pemaafan sendiri adalah sarana pembebasan psikis dari suasana batin diselimuti kondisi-kondisi tak nyaman (dosa). Bangkitnya kualitas-kualitas batin suci ini oleh leluhur diajarkan melalui kontemplasi dan laku pembebasan spiritual tapa demi menggugah Guru Sejati.


4/ Memayu hayuning bawana

Menjadi manusia Jawa adalah menjadi manusia yang lestari dan bestari. Ungkapan ini dapat diartikan bahwa manusia sebagai penyusun dari realitas penyusun alam semesta punya tugas memperindah dan memajukan kehidupan bersama di tempat ia bereksistensi, menciptakan keharmonisan sosial dengan memupuk nilai toleran (tepa slira), bahu membahu mengembangkan kemajuan lingkungan semisal memajukan sarana prasarana agar lingkungan lebih mudah untuk dihuni yang menciptakan kemudahan kehidupan sehari-hari. Dan, lebih penting, dari falsafah hidup ini adalah mewariskan lingkungan yang lebih mudah dan nyaman ditempati oleh generasi berikutnya. 

Dari falsafah laku hidup ini tersirat ide keberlanjutan dan ketidakegoisan. Lebih luas lagi, termasuk dalam konteks falsafah ini adalah kehendak mengembangkan budaya dan peradabannya, menjaga nilai-nilai kearifan dari leluhur, dan menjunjung identitas budaya


5/ Sangkan Paraning Dumadi

Setiap yang memiliki ciri-ciri sebagai hidup pasti mati. Setiap wujud material pasti sirna, untuk berganti wujud. Segala wujud terikat temporalitas. Falsafah laku spiritual Jawa mengajak merenungkan kehidupan dan menuntaskan tugas hidup dari Sang Jagad atau kadang diistilahkan Gusti untuk kemudian "melanjutkan perjalanan Semesta". 

Ketika falsafah Jawa lain mengajarkan perihal eksistensi hidup dan mengajarkan menciptakan esensinya melalui jalan kontemplatif dan aplikasinya (amaliah) dalam laku sehari-hari atau dari momen ke momen hidup kita, falasafah ini mengajarkan apa itu kelahiran dan kematian, apa itu ada dan ketiadaan.



Postingan populer dari blog ini

Review Buku Harmoni Dengan Segala Kehidupan Karya Eckhart Tolle

Buku ini diperhatikan bab-babnya berisi beberapa topik yang di awal-awal menyampaikan perihal kesaatkinian dan korelasinya adalah pelampuan gagasan yang mana meliputi gagasan waktu dan gagasan keterpisahan perihal ilusi eksistensi atau aku terpisah mutlak dari keberadaan lainnya ( atta ), kemudian topik diakhiri perihal "harmoni dengan segala kehidupan", yang dalam bahasa sederhana saya adalah: yang biasa dikira aku sejatinya adalah elemen tiada terpisah dari alam semesta. Anda adalah alam semesta itu sendiri.  Secara sistematis, bab-bab secara serial mengarahkan pembaca kepada kesadaran—apa yang diistilahkan Tolle sebagai—"ruang internal". Sebab di sanalah sumber keberhidupan dan arah tepat pencarian kebahagiaan, ketenangan batiniah. Itu muncul ketika konsepsi aku padam—tidak membersit pada pikiran Anda. Dengan kata lain, Anda menjalani, melakukan, menghadapi yang saat-kini Anda di situ dengan mode pikiran intuitif. Gaya Kebahasaan Gaya pengungkapan keb...

Orang Ewe dan Agama Kepercayaan Tradisionalnya

Orang Ewe bisa dijumpai di  Ghana, Togo, dan Benin. Semuanya adalah negara-negara di bagian barat benua Afrika. Populasi terbesar mendiami Ghana. Tradisi dan kepercayaanya banyak dipengaruhi kebudayaan orang Akan dan Yoruba. Bahasa ibu orang Ewe termasuk rumpun Gbe. Orang Ewe terbagi menjadi klan-klan, tetapi menurut cerita lisan dikatakan berakar pada garis leluhur yang sama. Sistem kepemilikan properti adalah komunal, tidak menganut kepemilikan properti secara individu. Asesedwa , kesenian kayu menyerupai bangku, sangat esensial dalam tradisi Ewe. Karenanya, hal itu dibuat dan diukir sangat hati-hati. Dalam ukiran benda tersebut kaya narasi mengenai klan bersangkutan. Dalam ritual, Asesedwa merupakan media yang berfungsi sebagai tempat memanggi roh leluhur. Asesedwa. Menurut cerita turun temurun, asal-usul mereka berasal dari Kotu/Ketu atau Amedzowe, terletak di sebelah timur Sungai Niger. Kira-kira pada 1500, leluhur mereka bermigrasi ke Notsie, Togo. Pada mulamya, migrasi merek...

Dua Kelahiran (Sebuah Esai Kontemplatif)

Kita kerap disuguhkan bahwa lahir, menua, kemerosotan fisik atau sakit/penyakitan, dan kemudian kematian adalah Penderitaan ( dukkha ). Bahasa sehari-harinya, kita sering kali tidak rela ketiga peristiwa akibat dari dilahirkan tadi menimpa kita dan orang-orang terdekat. Keempat fenomena alam tadi masuk klasifikasi penderitaan disebakan jasmani.  Ada klasifikasi penderitaan lainnya: bersama yang tak disenangi/dicintai, berpisah ataupun kehilangan yang disenangi/dicintai, dan terakhirnya adalah tidak memeroleh apa yang dihasratingini/dinafsui. Saya istilahkan penderitaan disebabkan oleh kemampuan mengada yang darinya muncul kemampuan mengingini (mengidealkan dunia kita alami). Mohon diingat. Ini adalah tulisan bersifat kontemplatif dan ini rasa-rasanya tak ada dalam pengajaran naratif Buddhisme arus utama. Sekedar hasil perenungan dan proses memperjelas istilah yang bagi penulis cukup membingungkan mulanya   Mengapa Kita kerap Alami Suasana Batin Tak Nyaman Kita secara emos...

Refleksi Novel Buddha Sebuah Novel-nya Deepak Chopra

Ini adalah novel berjudul sama kedua aku beli, untuk koleksi. Kadang, saya membacai ulang bagian yang menyimpan pesan ajaran, yang perlu kita bacai seksama dan mengontemplasikannya. Salah satu novel yang berkontribusi kepada diriku tentang, setidaknya secara pemahaman, apa yang dikehendaki dari tiada aku ( anatta ), atau aku ( atta ) yang sekedar ilusi alias tidak hakiki atau bukan sejatinya aku. Si  aku  hanya konsepsi bentukan mental. Dok. Pribadi. Anatta adalah satu dari tiga Ciri Universal Keberadaan ( Tilakkhana ). Dua lainnya adalah impermanesi atau dalam pemahamanku bahwa semua hal mengalami perubahan tanpa ujung (anicca) dan berikutnya adalah penderitaan atau tidak memuaskan (dukkha) yang dalam pemahaman sederhanaku adalah semua susunan yang memiliki atribut mental mengalami ketidakpuasan dan penderitaan (dukkha). Pengalamanku, menyadari anatta adalah poin krusial dalam ajaran Sang Buddha. Secara alamiah untuk terjadinya transformasi psikis yang setelahnya kelegaan yan...

𝙀𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙡𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙨𝙥𝙖𝙙𝙝𝙖, 𝗔𝗽𝗮 𝙨𝙞𝙝 𝗠𝗮𝗸𝘀𝘂𝗱𝗻𝘆𝗮?

Leluhur mewariskan kita ajian tentang bagaimana menjalani hidup yang damai dalam diri, dituangkan dalam 𝘴𝘢𝘯é𝘱𝘢. Dengan itu kita diminta membuka kitab kita sendiri. Kitab itu adalah batin kita masing-masing untuk 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘢𝘰𝘯𝘪 dan 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪. Orang Sunda dan orang Kenekes (Badui di Lebak, Banten) menyebut "ngaji diri". 𝘌𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘴𝘱𝘢𝘥𝘩𝘢 (baca: 𝘸𝘢𝘴𝘱𝘰𝘥𝘩𝘰) adalah ajaran bagaimana mergondisikan batin tiada gangguan agar kembali tenang, tiadanya semacam lubang dalam ruhani atau psikis atau batin, batin puas dengan yang ada, batin bening dan suci sebagaimana sifat asalinya, atau psikis bagaimana mengalami rasa syukur yang sebenar-benarnya syukur (bukan syukur 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘮𝘣é) apapun sedang dijumpai. 𝙒𝙖𝙨𝙥𝙖𝙙𝙝𝙖 "Waspadha" (baca: waspodho) atau 𝘯𝘺𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢'𝘯é adalah hadirnya pikiran pada saat-kini, pada momen yang berlangsung. Kita sering makan tetapi kita tak sepenuhnya benar-benar makan, tidak a𝘸𝘢𝘳𝘦 denga...

How To Die, Nasihat Seneca tentang Kematian

Tentang kematian. Buku ini berisi petuah-petuah Seneca ke kawan dan orang-orang dekat yang butuh nasihat penghiburan. Yah, topik yang tabu bagi kebanyakan awam tetapi mendapat posisi penting dalam banyak perenungan para filsuf. Terdiri lima bab, enam bersama epilog, buku How To Die (Sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal) yang entah editornya siapa ini adalah potongan-potongan petuah dalam surat-surat Seneca ke kawan dan kenalan, yang disusun sistematis sedemikian rupa. Ada beberapa hal penting bisa kita tarik sebagai kesimpulan penting dari buku dengan total halaman ix + 157 ini. Pertama . Seneca memberi nasihat kepada kita akan pentingnya merenungkan kematian agar kita siap kapan saja ia datang. Keterlemparan ke dunia ini dipungkasi kematian, kita harus bersiap diri secara mental dengan harapan kita mampu melewati fase itu dengan tidak banyak gangguan. ... bayi, anak kecil, atau orang-orang yang pikirannya terganggu tidak ada yang takut pada kematian; sangat menyedihkan apabila nalar ...

Ngulik Buku "Dengarkanlah Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan"

Buku ini, sebagaimana pengakuan penulis, berangkat dari pengalaman pribadi yang pernah dilanda tekanan hidup berat, depresi, di masa-masa menempuh program doktoral di Jerman bersamaan dengan krisis yang terjadi dalam rumah tangga dan keluarganya. Pada akhirnya semua itu mengantarkan pribadinya mengenal, mendalami, dan mempraktikkan  Zen  (Meditasi).  Depresi dapat dirumuskan kesedihan yang berkelanjutan. Kesedihan adalah penderitaan. Penderitaan muncul karena ketidaksesuaian kenyataan dengan yang dipikirkan. Semua bermula pada pikiran. Buku ini sebenarnya sepaket dengan buku Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif , ditulis Reza A. A Wattimena. Diterbitkan oleh penerbit Karaniya (2018). Dimensi 14 cm x 21 cm, dan jumlah halamannya adalah 220 (xviii+202 hlm). Buku terdiri dari 8 bab, selain bab-bab lain seperti halnya buku-buku yang kita acap jumpai dan prolog. Jika kita bacai seksama, maka secara imajiner dapat dikelompokkan menjadi 2 topik pembahasan kemudian: (i)...

Mengapa Banyak Orang Amerika Menganggap Buddhisme Sekedar Filsafat?

Di Asia timur, Buddhis merayakan mangkatnya Buddha dan datangnya pencerahan di akhir bulan Februari. Akan tetapi di kuil  Zen  lokal saya di North Carolina, pencerahan Buddha diperingati selama musim liburan bulan Desember, diisi dengan ceramah singkat bagi anak-anak, penyalaan lilin, dan makan malam ala kadarnya di akhir acara. Selamat datang di Buddhisme, gaya Amerika. Pengaruh Awal Pengaruh Buddhisme dalam kesadaran budaya masyarakat Amerika muncul di akhir-akhir abad ke-19. Zaman ketika gagasan romantis tentang mistisisme Timur nan eksotis memantik imajinasi filsuf dan penyair Amerika, penikmat seni, dan angkatan awal para penstudi religi-religi global. Penyair dengan kecenderungan gaya transendentalis seperti Henry David Thoreau dan Ralph Waldo Emerson mempelajari filsafat Hindu dan Buddha secara mendalam. Juga ada Henry Steel Olcott, yang rela pergi ke Sri Lanka pada 1880, yang melakukan konversi ke Buddhisme dan mendirikan aliran filosofi mistik yang terkena...

Kesejajaran Stoikisme & Buddhisme

Terlepas ada banyak ajaran menawarkan cara berbahagia, terlepas seberapa kokoh dan efektif untuk seseorang atau tidak, terlepas tawaran metode itu memperkenalkan seseorang akan apa sejatinya dirinya atau tidak, spiritualisme adalah sarana kultivasi batin atau kesadaran, seni berbahagia dalam kehidupan. Tulisan ini menghadirkan beberapa kesamaan ajaran Stoikisme dan Buddhisme. 1/ Titik Berangkat Lahir dari rahim kebudayaan berbeda dan berjauhan, meski pada zaman itu telah ada hubungan kebudayaan dan politik. Buddhisme berdiri di wilayah yang saat ini masuk Nepal dan India utara pada sekitar 500 SM dan Stoikisme dimulai di Athena, Yunani, sekitar 300 SM.  Stoikisme dinisbatkan ke Zeno sebagai pendiri. Setelah selamat dari peristiwa kapal yang ditumpangi dan berisi barang dagangannya berupa pewarna ungu, bahan pewarna paling mahal dan langka di zamannya, ia terdampar di Athena. Suatu hari ia menyambangi toko buku dan tertarik  Memorabilia  Xenophon. Terkesan dengan isi ...