Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif.
Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal (religion) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik.
Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi dengan alam sekitarnya, yang darinya kehidupan bergantung.Falsafah laku hidup Jawa mendorong setiap manusia mengeksplorasi dan menemukan secara mendalam esensinya sendiri, karenanya ajaran-ajaran Jawa diungkapkan dalam peribahasa singkat, bukan eksplanasi definitif. Nah, berikut ini adalah beberapa ungkapan mendalam falsafah Jawa nan mendalam. Harapannya, Anda berkontemplasi untuk diri Anda sendiri. Ini memberi kekuatan menjalani hidup di baliknya.
1/ Tan kena kinereka tan kena kinaya ngapa
Sebagai bangsa berperadaban tinggi dan besar, orang-orang bijaksana Jawa telah merenungkan eksistensinya secara mendalam di dunia ini. Berhadapan alam ini, manusia Jawa diselimuti sebuah perasaan khidmat di hadapan Sang Jagad dan pengakuan tulus bahwa "aku tahu tidak tahu". Menyelami perenungan eksistensial leluhur Jawa dengan sendirinya melahirkan rasa toleransi dan selalu punya ruang menerima pengetahuan-pengetahuan baru akan eksistensi dan mempelajari hal-hal baru.
Pandangan kosmologis Jawa kuno terekam dalam falsafah tan kena kinereka tan kena kinaya ngapa. Jika diartikan kira-kira ada yang tak terbayangkan, tak terkira dan tergambarkan, tak tertangkap pikiran, dan karenanya tak terutarakan. Dari pengakuan sadar ini, manusia Jawa terdorong untuk toleran dengan sendirinya dan selalu terus selalu memiliki ruang untuk hal-hal baru, kepengenan luwih njawa, dan mengembangkan aspek kehidupan nyata dan dunianya.
2/ Sadherma ngelampahi titahing Jagad
Manusia Jawa sadar eksitensinya sebagai jagad alit adalah tiada terpisah dari Jagad Ageng, yang kadang diistilahkan sebagai Gusti. Manusia Jawa sadar eksitensinya tiada terpisah dari Semesta. Manusia Jawa sadar bahwa sejatinya eksistensinya adalah Alam Semesta itu sendiri, bukan terpisah mandiri. Kadang diutarakan dalam ungkapan manunggaling kawula Gusti. Manusia Jawa dengan kesadaran eksistensi ini mengembangkan sikap batin yang becik dan edi dalam menuntaskan tugas eksistensi hidupnya dengan mukti, untuk kemudian kembali ke Gusti, tak lain adalah jagad itu sendiri, dan entah akan menjadi susunan macam apa dalam wujud kemudian.
3/ Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti
Selain dicirikan manusia yang erat dengan ekspresi simbolis, manusia Jawa adalah manusia spiritualis. Manusia yang njawa (mengerti; tahu; sadar) bagaimana memadamkan kepicikan, iri dengki, culas, keangkaramurkaan, dengan welas asih serta pemaafan. Pemaafan sendiri adalah sarana pembebasan psikis dari suasana batin diselimuti kondisi-kondisi tak nyaman (dosa). Bangkitnya kualitas-kualitas batin suci ini oleh leluhur diajarkan melalui kontemplasi dan laku pembebasan spiritual tapa demi menggugah Guru Sejati.
4/ Memayu hayuning bawana
Menjadi manusia Jawa adalah menjadi manusia yang lestari dan bestari. Ungkapan ini dapat diartikan bahwa manusia sebagai penyusun dari realitas penyusun alam semesta punya tugas memperindah dan memajukan kehidupan bersama di tempat ia bereksistensi, menciptakan keharmonisan sosial dengan memupuk nilai toleran (tepa slira), bahu membahu mengembangkan kemajuan lingkungan semisal memajukan sarana prasarana agar lingkungan lebih mudah untuk dihuni yang menciptakan kemudahan kehidupan sehari-hari. Dan, lebih penting, dari falsafah hidup ini adalah mewariskan lingkungan yang lebih mudah dan nyaman ditempati oleh generasi berikutnya.