Langsung ke konten utama

8 Alasan Orang Memegang Agama-Kepercayaan

Ada banyak yang tak disadari seseorang yang percaya pada kepercayaan agama. Dalam mempraktikkan agamanya, banyak orang menemukan kenyamanan dan pelipur dari kenyataan hidup yang tak pasti. Ada alasan lain mengapa mereka tertarik pada keyakinan yang mereka praktikkan. Bagi kebanyakannya, kepercayaan adalah bagian dari pola asuh yang didapat seseorang di masa kecil dan mereka ketika dewasa melanjutkan tradisi yang diwarisi dari keluarganya itu. Kepercayaan memainkan peran penting pula dalam budaya karena berbagai alasan.


Diindoktrinasi ke dalam Agama Tertentu

Kuatnya dan terus menerusnya seseorang diindoktrinasi ke dalam agama tertentu menunjukkan bahwa orang mempercayai agamanya karena itulah yang terjadi pada mereka umumnya. Terutama oleh lingkungan keluarganya. Ini pula alasan mengapa anak dari keluarga beragama A mayoritasnya akan tetap pada agama A dewasanya, begitu juga yang beragama B. Diperkuat pula oleh lingkungan sekitar dari yang agak dekat hingga lingkungan umum di mana ia bersosialisasi dan tumbuh kembang. Orang sudah diiperkenalkan pada dogma-dogma agama bahkan sebelum keterampilan berpikir kritis dikuasainya, dan akhirnya menjadi pola bagaimana agama dipromosikan antargenerasi, tanpa disadari oleh kebanyakan orang. Indoktrinasi biasanya diikuti oleh menanam rasa takut atau ancaman-ancaman, dan tulah.


Penanaman Fanatisme dan Kebencian

Melalui orang-orang dewasa di sekitar, anda terus-terusan diberi tahu bahwa orang yang tidak percaya pada tuhan versi anda atau yang menjalani hidup tidak sesuai agama anda adalah sesat dan hina, selalu memusuhi anda dan berkeinginan menarik anda ke kelompok mereka, tidak bermoral, dan anda merupakan ancaman bagi kepercayaan mereka. Terkhusus keberadaan ateis bisa merusak tatanan sosial.

Dengan indoktrinasi ini, anda tidak akan pernah terbersit mempertanyakan apa yang disampaikan ke anda. Siapa yang ingin dianggap hina atau dianggap sesat oleh kelompok masyarakat lainnya dalam lingkaran anda? Hal yang banyak dihadapi siapa saja yang muncul rasa ingin menanyakan apa yang disampaikan kepadanya, juga para ateis. Sulit untuk tidak melihat bahwa indoktrinasi terus menerus ujungnya untuk tidak jatuh ke dalam kefanatikan dan watak memusuhi, meski tidak diekspresikan baik secara ucapan dan tindakan dari perasaan itu. Fanatisme tidak bisa dipisahkan dari indoktrinasi dan hal ini hanya bisa tumbuh kuat dalam diri seseorang bila ada kelompok untuk dijadikan sasaran dibenci dan dimusuhi.


Tekanan Keluarga dan Lingkungan

Agama, kebanyakannya berharga bagi suatu keluarga dan, lebih umum, kelompok masyarakat. Agama menciptakan tekanan sangat besar ke seseorang untuk melakukan konformitas diri dengan apa-apa yang diharapkan oleh agama yang dipraktikkan dalam keluarga dan masyarakat. Orang yang keluar ikatan sebagaimama diharapkan tidak hanya memilih cara hidup yang berbeda, tetapi dapat dianggap menolak salah satu ikatan terpenting yang berguna menjaga penanda kebersamaan baik oleh lingkungan keluarga atau lingkungan masyarakat. Sekalipun hal tersebut jarang disadari banyak masyarakat, individu-individu dalam masyarakat belajar bahwa gagasan, ideologi, dan praktik tertentu harus diperlakukan sebagai hal yang penting untuk terciptanya ikatan komunal kemasyarakatan dan karenanya tidak boleh dipertanyakan. Peran tekanan lingkungan masyarakat dan tekanan keluarga dalam menjaga setidaknya untuk tingkat religiusitas tertentu kepada orang tidak dapat disangkal.

Takut Menjadi Pribadi Bebas karena Konsekuensinya  Tanggung Jawab

Salah satu aspek yang paling meresahkan dari banyak orang beragama adalah bagaimana cara berpikirnya. Narasi keagamaan memungkinkan orang mengelak dari tanggung jawab terhadap apa yang terjadi secara sosial yang sebenarnya hanya butuh respon praktis. Misalnya mereka lepas tangan dari tanggung jawab untuk memastikan ditegakkannya keadilan karena anggapan bahwa semua yang terjadi sebagai ketetapan Tuhan dan berdalih bahwa Tuhan akan mengadilinya di "kehidupan setelah kehidupan". Tidak peka dalam mengatasi kemiskinan kolektif dan sistemik, serta berpikir cara mengubahnya. Ketidakpekaan atas tanggung jawab untuk menemukan solusi lingkungan karena Tuhan telah menakdirkan bahwa kerusakan adalah takdir Tuhan. Mereka tidak perlu bertanggung jawab untuk mengembangkan aturan moral yang responsif atas kondisi-kondisi kekinian karena Tuhan telah menakdirkannya. Mereka tidak perlu bertanggung jawab untuk mengembangkan argumentasi yang sehat untuk posisi berdiri mereka karena Tuhan telah melakukannya. Orang-orang juga menyangkal kebebasannya baik dalam berpikir dan bertindak, karena kebebasan berarti tanggung jawab dan tanggung jawab berarti jika gagal tidak ada yang akan menyelamatkan kita.


Angan akan Sesuatu

Kehidupan adalah limitatif, kematian adalah akhir. Kematian adalah apa yang ditakutkan banyak orang. Limitasi hidup diri ini melahirkan angan agar kematian fisik bukanlah akhir dari kehidupan. Bisa jadi angan-angan ini bukan satu-satunya contoh alasan di balik berkeyakinan pada agama. Ada begitu banyak cara dilakukan oleh orang-orang untuk meyakinkan bahwa angan mereka solid terkait apa yang mereka ingini daripada bergegas menyodorkan bukti mendukungnya dan dapat dinalar logis yang runtut dan baik.


Kompensasi Psikologis

Sering tidak mengenakkan daripada mengenakkan. Itulah gambaran pengalaman kehidupan bagi hampir semua orang. Secara mental, semua orang hidup mengalami ketidaknyamanan hidup. Ditambah lagi tekanan-tekanan berbagai kebutuhan hidup dan keinginan, yang artinya membutuhkan sumberdaya material pemuas sebanding, yang bagi kebanyakan orang di luar kapasitas sumberdaya pemuas dimiliki. Ini belum mengingat bahwa manusia memiliki daftar angan keinginan yang selalu diperbarui dan bertambah.

Tidak dipungkiri jika semakin besar keterhimpitan dari sumberdaya pemuas, semakin besar pula tegangan pada mental. Angan akan ada yang menolong dari keterhimpitan akan kebutuhan hidup dan angan semua keinginan terpenuhi, sosok pengabul segala hasrat menjadi tempat menderivasikan segala problem, penambal psikis yang berlubang karena keterbatasan diri memenuhi kebutuhan materiil dan, terlebih, angan keinginan yang bila tak terpuaskan menciptakan gangguan mental atau psikis. Ada pengabul semua kebutuhan dan angan keinginan menyediakan sarana pelarian mental dan kompensasi psikologis.


Kapital Sosial untuk Dikonversi ke Kapital Riil

Agama adalah peluang ekonomi. Banyak kehidupan ekonomi tak bisa dilepaskan dari agama, misalnya usaha tour religius. Sadar atau tidak, diakui atau tidak, sebagian orang beragama yang memilki pengaruh sosial keagamaan menjadikan agama—yang di satu sisi menjadi kebutuhan kompensasi psikologis bagi banyak orang—sebagai sarana mencari ekonomi penghidupan. Seperti halnya pengaruh-pengaruh lain dalam diri seseorang, pengaruh keagamaan dalam diri seseorang adalah kapital sosial yang bisa dikonversi menjadi kapital riil. Fenomena ini terjadi dari zaman kuno hingga kini. Sebab, tak ada aspek tertentu dalam kehidupan manusia terpisah dan mandiri dari aspek lain. Manusia pada dasarnya mahluk ekonomi dan memiliki daftar keinginan yang selalu bertambah dan diperbarui. Mereka akan mengonversi apa saja yang bisa dikonversi menjadi kapital riil.

Tidak Menguasai Skil Berlogika Mendasar

Tidak banyak orang belajar secara seksama tentang logika, penalaran, dan bagaimana membangun argumen yang sehat seperti yang seharusnya. Meski begitu, kualitas argumen—untuk dijadikan pembenaran atas keyakinannya—yang biasa diajukan oleh orang yang meyakini hal tertentu adalah luar biasa, karena betapa tak bisa dinalar argumennya tersebut oleh pikiran. Mengingat betapa pentingnya orang pemercaya untuk mengklaim tuhan versi mereka ada dan agama mereka adalah yang benar, anda mungkin terpikir bahwa mereka akan menginvestasikan banyak upaya dan waktu untuk membangun argumen terbaik dan mencari bukti terbaik. Sebaliknya, mereka menginvestasikan banyak upaya dan waktu untuk membangun alasan berputar-putar dan menemukan sesuatu yang terdengar seolah-olah masuk akal.

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha...

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suññata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, arti...

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa...

Hidup dalam Kesaatkinian dan Manfaatnya oleh Ajahn Buddhadāsa

Ini adalah seri nomor tiga dari satu set Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami oleh Ajahn Buddhadāsa (1906–1993). Diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharma pada 2024. Berdimensi 12,5 cm x 18,5 cm dan berketebalam 44 halaman. Buku ini membahas tentang pentingnya hidup dalam kesaatkinian, karena dalam ajaran Buddhisme hanya, yang oleh bahasa diistilahkan,  saat kini  yang benar-benar nyata, yang demikian adanya. Sebagai kebenaran non-konvensi. Kehidupan manusia dan semua mahluk bertalian erat dengan pencarian kebahagiaan. Hidup sendiri adalah nyata adanya pada kesaatkinian terus menerus. Anda bernafas pada saat kini terus menerus, bukan tadi ataupun nanti. Maka kebahagiaan bukan ditemukan pada—apa yang dikonsepsikan pikiran sebagai—masa lalu ataupun masa depan, dalam bentuk mengembangkan harap damba kuat. Mengapa Saat-Kini ? Manusia awam mengabaikan absurditas kehidupan dengan mengembangkan hasrat harapan. Munculnya hasrat harapan erat kaitannya dengan hidup kita yang r...

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga...

6 Tokoh Berpengaruh Mazhab Frankfurt

Teori Kritis adalah istilah yang cakupannya relatif luas, luasnya cakupan bisa dilacak kembali ke asal-usulnya. Ringkasnya, ini adalah bidang filsafat yang bertalian dengan sosiologi dan studi tentang kemasyarakatan secara umum Asal-usulnya merujuk kepada sekelompok ahli teori filsafat Jerman yang membedakan Teori Kritis dari teori sosiologi umum atau yang lebih tradisional, mengingat tujuan dan terapannya. Dikenal sebagai Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School ). Ini adalah sekumpulan para intelektual dan cendekia yang hidup pada periode antara dua perang di Jerman. Setidaknya itu adalah periode bergejolak. Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis Sebutan resmi Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School) adalah Institut Penelitian Sosial. Di kemudian waktu institut ini menjadi musuh dari fasisme Jerman yang bangkit. Sebagian besar cendekianya terpaksa pergi ke luar Jerman. Sekalipun keadaan tersebut tidak menguntungkan mereka, karya yang dihasilkan oleh para aktor mazhab Frankfurt ini masih memiliki ...

Paling Pokok dalam Ajaran Buddhisme & Prinsip-prinsip Umum

Buddhisme adalah āgama (Sanskrit) atau praktik laku hidup yang didasarkan pada ajaran Siddhartha pada abad ke-5 SM di wilayah yang sekarang disebut Nepal dan India utara. Ia disebut "Buddha", yang artinya "yang terbangun". Kadang juga diartikan "yang tercerahkan". Diistilahkan  bodhi  dalam Sanskrit. Setelah ia mengalami ketergugahan Kesadaran mendalam—atau Kecerahan batin—akan hakikat kehidupan, kematian, dan kebetadaan Selama sisa hidupnya setelah merealisasi Kecerahan, Sang Buddha berkelana dan mengajar. Namun ia tidak menyampaikan ke orang-orang tentang apa yang ia sadari ketika telah tercerahkan atau tergugah. Sebaliknya, ia mengajarkan ke orang-orang bagaimana cara atau jalan merealisasi kecerahan bagi diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa kecerahan ataupun terbangun/tergugah (dari ilusi) dilakukan oleh sendiri dan muncul dari dalam diri Anda sendiri yang mengalami-langsung, bukan melalui jalan mempercayai dogma. Pada saat mangkat Sang Buddha, Buddhism...

Intisari Buku Mengenai Kelahiran Karya Ajahn Buddhadāsa

Sekalipun bukan perihal tujuan paling subtansial dari ajaran Buddhisme, menurut saya, kelahiran kembali adalah topik debateable dalam khasanah intelektual Buddhisme. Sebagai khasanah intelektual, karenanya kelahiran kembali atau kadang dipergunakan istilah "tumimbal lahir" lebih kentara penjelasannya sebagai proposisi filsafat, sekalipun Ajahn Buddhadāsa menerangkan dalam bahasa keseharian awam. Ajahn Buddhadāsa dalam seri nomor empat dari satu set buku Seri-seri Dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami ini menerangkan bahwa yang dimaksud kelahiran adalah "kelahiran mental", atau dalam istilah saya adalah keterusmenerusan bereksistensi (mengada), suatu rasa sadar bahwa ini aku dan selainnya bukan aku . Intisari Buku Dari pembacaan buku, berikut kiranya dapat disarikan dari pembacaan buku ini dalam sajian poin-poin paragraf. Pertama . Dari sudut historis dan kultural, Ajahn Buddhadāsa di awal buku menerangkan bagaimana pandangan spekulatif filosofis dan kultural orang...

Kunci-kunci Membaca Filsafat Anti-Natalis Benatar

Buku berjudul  Better Never To Have Been—The Harm of Coming to Existence (Oxford Press: 2006), kira-kira, agar mengena, bisa diterjemahkan "Lebih Baik Tak Lahir—Penderitaan Sebab Mengada", adalah buku menarik dan kontroversial. Ia mengusik hasrat alamiah mendasar spesies, mengusik hasrat manusia paling mendasar: memperbanyak diri atau berkembang biak. Buku ini adalah buku kontroversial, tetapi argumen Benatar adalah logis. Siapa Dia yang Mengusik Naluri Paling Mendasar Kita? Benatar adalah filsuf abad 21 yang corak filsafat eksistensialnya pesimistik, seperti halnya Arthur Schoupenhauer. Bisa pula dikategorikan nihilisme. Ia bukan saja membentangkan bangunan filosofisnya, tetapi, seperti kebanyakan kefilsafatan kontemporer berdiri sebagai "penafsir data-data saintifik", setelah memaparkan data dan gambaran prediktif, yang secara umum adalah melonjaknya penderitaan sebab meningkatnya populasi, ia juga mengajukan cara bagaimana agar populasi terbebas dari kemengadaan...