Langsung ke konten utama

Ngulik Buku "Dengarkanlah Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan"

Buku ini, sebagaimana pengakuan penulis, berangkat dari pengalaman pribadi yang pernah dilanda tekanan hidup berat, depresi, di masa-masa menempuh program doktoral di Jerman bersamaan dengan krisis yang terjadi dalam rumah tangga dan keluarganya. Pada akhirnya semua itu mengantarkan pribadinya mengenal, mendalami, dan mempraktikkan Zen (Meditasi). Depresi dapat dirumuskan kesedihan yang berkelanjutan. Kesedihan adalah penderitaan. Penderitaan muncul karena ketidaksesuaian kenyataan dengan yang dipikirkan. Semua bermula pada pikiran.

Buku ini sebenarnya sepaket dengan buku Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif, ditulis Reza A. A Wattimena. Diterbitkan oleh penerbit Karaniya (2018). Dimensi 14 cm x 21 cm, dan jumlah halamannya adalah 220 (xviii+202 hlm).

Buku terdiri dari 8 bab, selain bab-bab lain seperti halnya buku-buku yang kita acap jumpai dan prolog. Jika kita bacai seksama, maka secara imajiner dapat dikelompokkan menjadi 2 topik pembahasan kemudian: (i) pembahasan “di luar” Zen, yaitu sejarah yang melatarbelakangi lahirnya Zen dan (ii) pembahasan “di dalam” Zen, yaitu prinsip-prinsip dasarnya, keadaan alamiah manusia yang merupakan kesejatian diri yang sebenarnya dan kesatuan diri manusia-dan-Alam Semesta dalam esensinya. Manusia adalah satu babak dari perjalanan tak berkesudahan materi-materi yang saat-kini bertemu dan tergabung.

Prolog ditulis dengan gaya tanya-jawab yang pada intinya memuat secara umum apa itu Zen, kaitan Zen dengan agama dan filsafat, hakikat Kebuddhaan (kecerahan), yang merujuk sebuah kondisi tiada bisa disebut atau “tanpa nama”. Tak bisa di-jlentréh-kan, atau diabstraksi dan dikonsepsikan sedemikian rupa. Kecerahan batin adalah kembali pada jati diri asali, dengan begitu lenyaplah penderitaan dan meraih kedamaian sejati. 

Dalam kaitan filsafat. Tujuan filsafat adalah kebijaksanaan dengan pelibatan akalbudi, Zen berciri itu. Zen menggunakan akalbudi sebagaimana filsafat konvensional lakukan. Lebih dari itu, Zen menggunakan akalbudi untuk melampauinya dan menuju pada kebijaksanaan.

Akalbudi adalah alat, bukan tujuan. Zen tidak berhenti pada teori, yang lahir dari abstraksi dan konsepsi yang dilakukan oleh pikiran, yang disebut pengetahuan. Lebih dari itu, ia sekaligus menyentuh praksis, laku hidup. Di sini, Zen merupa diri sebagai ageman, 'agama'. Agama dapat dipahami sebagai pegangan hidup di tengah alam semesta dan menjalaninya dengan sepenuhnya sadar. Kesadaran yang terbangun akan menenangkan gejolak batin manusia yang kesadarannya telah terbangun/tergugah. Zen dalam arti ini, tidak sama dengan bahwasanya Yang Di Luar Diri sudah menyediakan pranata moral. Zen mengajak menyelami siapa, atau persisnya apa, diri. Mecarinya ke dalam inti-diri.

Pembahasan Pertama

Zen adalah serapan dari Sansekerta Dhyana dan Ch'an dalam Mandarin. Berkonotasi meditasi atau semedi. Meditasi di sini bukan melulu duduk dalam posisi tertentu, Zazen, tanpa melakukan apa-apa seperti sering kita jumpai. Meditasi duduk—sepertu Koan—hanya salah satu cara bermeditasi. Meditasi adalah bagaimana kita sepenuhnya sadar-mawas menjalani hidup saat-kini dan di-sini, saat ke saat.

Zen lahir dari pertemuan dua aliran Jalan Hidup: Taoisme dan Buddhisme, terutama mazhab Mahayana. Zen menurut sebagian tutur dibawa oleh Bodhidharma ke daratan Tiongkok pada abad ke-VI.
Ia mengajarkan cara langsung untuk sampai pada kesadaran akan hakikat Buddha yang ada dalam diri setiap orang. Tidak ada ritual. Tidak ada teks atau buku suci.
Sebagian tutur menyatakan sudah ada sejak abad ke-IV. Di daratan Tiongkok banyak tersebar naskah-naskah Buddhisme yang kemudian diolah sedemikian rupa. Di antara yang berperan penting adalah Biksu Seng Cao. Oleh pendapat yang ini, Bodhidarma adalah hanya jembatan legitimasi penghubung Zen di Tiongkok dengan Buddhisme di India.

Zen dalam perkembangannya dipengaruhi beberapa peradaban: Tiongkok, India, Korea, dan Jepang. Namun begitu, peradaban Tiongkok-lah, Taoisme, berpengaruh kuat. Pengaruh Korea dan Jepang mulai ada, setidaknya terlacak, pada abad ke-XII.

Taoisme

Karena Taoisme merupakan paling dominan, maka penulis buku mengajak menyelami bagaimana Taoisme memandang kenyataan hidup dan pikiran manusia. Tak lupa juga bahasa, yang erat sekali dengan pikiran. 

Ada 3 hal penting yang perlu dipahami dalam Taoisme, sebagaimana juga sebelum 'masuk' dalam Zen, yaitu pikiran, abstraksi dan konsep, serta bahasa. Semua saling mengait.

Pikiran membuat abstraksi dan konsep-konsep atas segala sesuatu yang dijumpai, yang sejatinya tiada nama atau tanpa nama atas dirinya sendiri, yang sejatinya tak terpisahkan dari alam semesta. Kemudian oleh pikiran setelah abstraksi dan konsepsi dinamai untuk keperluan menyampaikannya, melalui bahasa. Bahasa bukan kenyataan dari yang "tanpa-nama". 

Bahasa muncul karena kesepakatan masyarakat dan terjadi acak. Kita mengatakan "itu dia, ini Saya", atau "ini batu" itu muncul semenjak kita berpikir dan membuat abstraksi yang kemudian memunculkan bahasa. Bahasa adalah konsep. Konsep adalah mengandaikan keterpisahan. Konsep bukanlah yang dilekati konsep. Konsep satu adalah yang membedakan konsep lain dan pada ujungnya kita menganggap bahwa semua berdiri sendiri-sendiri, mandiri dan terpisah. 

Abstraksi dan konsepsi sebagai kerja pikiran (atau tepatnya, kerja analitikal otak) pada akhirnya menipu kita selama ini. Seolah-olah yang-ada ini terpisah-pisah, bukan sebagaimana adanya. Atau, kemenyeluruhan.

Padahal yang dianggap aku berdiri di atas tanah. Ada tanah, ada air, ada pula daratan dan lautan. Maka berikutnya adalah Bumi. Ada Bumi, ada benda-benda langit lain. Ini semua, yang oleh pikiran dianggap terpisah-pisah selama ini tiada bernama dan terpisah-pisah. Pada ujungnya kita mendapati diri dan sadar sebagai alam semesta itu sendiri. Dengan begitu, terlepaslah identitas ilusi yang diciptakan pranata sosial yang sejatinya ciptaan pikiran. 

Taoisme, sebagaimana Zen, setelah menyadari jalannya pikiran yang menciptakan abstraksi-konsep-bahasa, mengajak untuk “mengheningkan pikiran” atau “menghentikan pikiran” dan kembali ke sebelum pikiran. Keadaan tanpa nama, tak bisa disebutkan, tak bisa dibahasakan—tapi, demi penulisan ini dan penyampaiannya, kita sebut itu wilayah intuisi. 

Pendiri Taoisme, Lao Tzu.
Tao adalah prinsip dasar atau inti dalam memahami Taoisme. Tidak ada kata atau konsep yang dapat menjelaskan apa itu Tao. Sederhananya, Tao dapat dipahami sebagai sesuatu yang membentuk alam semesta dan isinya dan menyebar padanya, yang sudah ada sebelum alam semesta itu sendiri. Ia tak memiliki bentuk, isi, atau sifat apapun. Kata “Tao” sendiri hanya penamaan kita dengan tujuan untuk berkomunikasi. Sejatinya tanpa nama, kosong, abadi, dan ada dimana pun. Tao bukan juga Tuhan yang bekerja secara aktif menciptakan dan menggerakkan alam semesta dan isinya, yang Ia sendiri bukan bagian darinya. Sebaliknya, justru semacam energi pasif yang menumbuhkan.
Tao adalah energi yang menumbuhkan segala sesuatu di Alam Semesta ini dari dirinya sendiri.
Hampir mirip seperti sel-sel kulit meremajakan diri, refleks, atau dahan-dahan tumbuh daun. Semua alamiah, terpola, tapi tanpa rencana. Apa adanya dan sebagaimana adanya. Tao bukan Pencipta/Pengendali (subjek) terhadap apa yang tumbuh atau apa yang terjadi, selaku yang dikendalikan (objek). Tao ada sebelum segala sesuatu ada dan menyebar kepadanya.
Tao tidak bisa secara persis dijelaskan. Ia berada sebelum segala konsep dan kata yang dirumuskan oleh pikiran manusia. Ia [Tao] tidak bersifat spiritual ataupun material. Ia tidak memiliki bentuk ataupun tanpa bentuk. Ia berada sebelum kategori-kategori tersebut.... Ia juga tidak bisa dipahami dengan kesunyian atau diam semata.
Bagaimanapun, Tao tak bisa persis seperti konsepsi di pikiran kita ketika mendiskusikan—atau bahkan mendebatkan—tentang Tuhan dengan segala atributnya. Tao selalu tan keno kinoyo ngopo, selama menggunakan pikiran memahaminya, pasti meleset. Pemahaman melahirkan konsep dan ini adalah pikiran. Selama masih menggunakan pikiran dan kata, Tao selamanya misteri. Tao bukan itu. Pendek kata, Tao hanya bisa dijumpai hanya bila orang sepenuhnya “tak mau tahu menahu”. Ia hanya bisa dialami ketika menjalani hidup sepenuhnya alamiah terhadap “saat ini” dan “tempat ini”, yaitu hidup sebelum ada konsep dan bahasa. Kita hanya perlu mengheningkan atau menghentikan pikiran.  Berhentinya pikiran, maka bisa melepaskan Penderitaan dan lahirnya secara alamiah kebahagiaan dan Kedamaian sejati. Tao hampir mirip otomatis. Untuk sejalan dengan Tao, demi bahagia sejati, manusia alamiahnya seperti itu. Untuk bisa mengalami Tao hanya perlu melepaskan segala bentuk pemikiran yang bercokol di kepala. Dengan begitu, tak ada takut. Tak ada was-was dan cemas. Tak ada penyesalan dan nestapa.

Hidup adalah 'di sini' dan 'persis saat ini'. Itu saja. Masa lalu dan masa depan tidak ada, hanya ciptaan pikiran. Pikiran terkontrol adalah untuk 'saat ini' dan 'di sini'.

Hampir mirip juga dengan spontanitas. Tadi, kemarin, besok, atau lusa bukan hidup. Itu pikiran. Penderitaan bukan terletak di-luar-manusia, namun di-dalam-manusia, pikiran. Penderitaan lahir karena tidak mengenali atau memahami pikiran.

Taoisme tidak menekankan ke luar, sebagaimana Konfusianisme, yaitu kesesuaian kehidupan diri dengan masyarakat, melainkan dengan Alam Semesta. Tidak menekankan pada penggambaran melalui konsep dan bahasa, tetapi menekankan pada pengalaman langsung manusia seketika, saat ke saat. Kondisi sebelum pikiran. Kondisi, kira-kira, pikiran dan tindakan untuk di saat ini di tempat ini. Ketika semua orang mempraktikkan Taoisme dengan sendirinya akan muncul stabilitas sosial. Bukannya spontanitas, secara relatif, adalah yang hilang dari masyarakat modern? Bukannya spontanitas ada di ranah intuisi?

Berbeda dari Konfusianisme yang tujuannya menciptakan kepatuhan demi stabilitas masyarakat, seperti halnya agama-agama formal. Tao mengajak manusia melihat ke dalam inti-diri, yaitu menyadari alamiahnya kondisi.

Patut digarisbawahi, seperti disampaikan penulis, karena ada Konfusianisme selain Taoisme yang mewarnai peradaban Tiongkok, Konfusianisme bukan untuk dibenturkan kepada Taoisme. Malahan keduanya menggambarkan fase-fase perjalanan kehidupan manusia, baik sebagai bagian kelompok masyarakat dan dirinya dengan Alam Semesta. Kunci bahagia sejati adalah intuisi. Atau, menjalani hidup saat ini dengan mengarahkan pikiran untuk saat ini. Jika makan, maka pikiran dilatih hadir dalam momen makan. Jika haus, maka pikiran selaras tindakan melakukan minum. Seterusnya dan seterusnya.

Buddhisme

Zen adalah bagian dari tradisi dalam Buddha Mahayana. Sebelum Mahayana, ada Swakarayana/Hinayana. Disebut pula aliran sepuh. Oleh karenanya adalah perlu mengerti sejarah dan apa yang menjadi semangat Buddhisme. Buddhisme secara singkat dapat dirumuskan, bahwa tujuan fundamentalnya adalah membantu orang mencapai Pencerahan.

Dengan mengutip kisah Sokrates tentang gnooti seauton, penulis menyampaikan inti dari ajaran Buddha. Sokrates adalah filsuf yang sering mengatakan "kenali dirimu" kepada orang-orang sekitarnya. Ketika ditanya balik, Ia menjawab tidak tahu. Ini hampir sama dengan hakikat inti kebuddhaan (tergugah/tercerahkan), hilangnya atau sadarnya kita akan segala hal di pikiran kita sekedar konsep, tiada nyata sebagaimana adanya).

Banyak dari manusia selalu bertanya pada diri sendiri, “siapakah aku?” atau “Untuk apa aku dilahirkan?” atau sejenis itu. Pertanyaan tentang jati diri sebenar-benarnya. Ketidaktahuan pada jati diri akan terombang-ambing pada gelombang kehidupan. Yang sebenar-benarnya atau yang sejati adalah yang tiada berubah. Jawabannya tentu merujuk yang tak berubah.

Terkait Sang Buddha, sebagaimana kita tahu adalah seorang pangeran dan pewaris tahta Kapilavastu. Putra Mahkota. Namun begitu, itu semua tidak membuat tenang batinnya. Sebab pengalamannya menjumpai penderitaan: sakit, menjadi tua, dan mati. Tiga hal ini adalah yang selalu ingin dihindari manusia hingga saat ini (mungkin hingga entah kapan), walau dalam kenyataannya sia-sia. Atau, walau pun seseorang menerima sebagai kenyataan, namun Ia tak bisa benar-benar menerima keadaan itu dengan penuh karena tertutup ilusi. Gautama ingin mencari bagaimana cara melampaui itu. Beliau tidak bisa menerima dan memahami itu semua. Ia keluar istana dan menjadi pertapa, berguru kesana-kemari dan bertapa sampai kurus kering, tapi ia tetap saja tak menemukan Yang Menjawab.

Lukisan patung buddha.
Dalam ketermenungannya di bawah pohon boddhi (ficus religiosa). Ia menyadari hakikat dunia adalah Samsara, penderitaan dan ketidakpuasan. Namun bukan ada pada dunia luar, melainkan di pikiran kita. Samsara, semua berangkat dari pemahaman diri yang menganggap terpisah dari luar diri. Pun begitu, Samsara sejatinya tidak ada. Yang ada adalah Kosong (Sunya'a/Sunyata).
Pada saat itu, Siddharta mendapat pencerahan sempurna. Melepaskan identitas pribadi-Nya, dan menyatu dengan alam semesta. Menemukan jati diri sejati-Nya, yakni alam semesta itu sendiri. Siddharta sadar, bahwa pikiran-Nya adalah pikiran semesta. Kesadaran manusia sejatinya tidak terbatas. Diri-Nya adalah seluruh alam semesta. Tidak ada perbedaan lagi. Di dalam alam semesta tidak ada kematian dan kehidupan. Tidak ada yang datang dan pergi. Tidak ada awal dan akhir. Sumber penderitaan manusia adalah pikirannya, yakni pikiran yang berpijak pada ketidaktahuan. Ketika pikiran muncul, hasrat dan keinginan muncul. Ketika hasrat dan keinginan muncul, maka semua hal muncul.
Manusia yang menyadari bahwa ia adalah Semesta yang tidak pernah tidak berubah, pandangan diri yang ke-aku-an selama ini pastinya juga berubah. Planet mengorbit, bintang padam dan mati, kita hidup kemudian menua dan sakit kemudian mati adalah kenyataan Alam Semesta. Timbul-tenggelam, datang-hilang, lahir-mati, ini juga. Dengan sudut pandang alam semesta yang besar, tak ada tua atau sakit atau mati dalam alam semesta ini. Tak ada awal, tak ada akhir. Aku adalah alam semesta, alam semesta adalah Aku. Yang sejati adalah Kosong.

Sumber penderitaan adalah ketidaktahuan, yang lahir karena pikiran mengingini yang berubah selalu untuk tetap. Untuk lepas dari penderitaan adalah menghentikan pikiran dan menjalani hidup detik ke detik dengan intuisi. Membiasakan intuisi adalah “tahu untuk tidak tahu”. Kebenaran adalah kebenaran Semesta itu sendiri. Buddha menyebut ini sebagai Pencerahan batin.

“Ketidaktahuan” pada apa yang sudah sepenuhnya ini, maka ketika dihadapkan pada yang diterima pikiran, kita hanya mengamati pikiran diri, "Oh, saya sedang senang dan nanti pasti hilang atau lenyap, berganti lainnya". Ketika dihadapkan pada yang tidak diingini (penderitaan), ia hanya mengamati pikiran diri, "Oh, saya sedang dihadapkan 'ini' dan saya sedang merasakan 'begini'". Itu saja cukup. Tanpa penolakan pada yang tidak diharapkan dan kesiapan melepaskan pada yang memang nanti pasti pergi. Hakikat dari semua adalah berubah. “Membiarkan” dan “melepaskan”. Semua hanya perlu dianggap “kosong”.

Kosong dapat diibaratkan seperti ruangan besar, ia bisa menampung segalanya. Ada hujan di situ, ada sinar mentari di situ, ada kejadian-kejadian lain di ruangan itu silih berganti. Namun, hakikat ruang itu adalah kosong. Hidup diri kita sebagaimana ruang itu.

Buddha sadar bahwa yang menyebabkan orang jatuh pada penderitaan karena tidak mengenali hakikat pikirannya. Banyak orang hidup dalam keterbelahan: suka-tidak suka yang amat kuat, kemarahan, kesedihan, ras kehilangan, takut menjadi tua, begitu mendambakan uang, karir, harta diri, dll. Semua ini muncul karena pikiran. Fisik kita bukan diri kita, status dan penanda sosial bukan diri kita. Yang melekat pada diri kita bukan diri kita. Ini biasa-biasa saja. Kemelekatan pada hasrat dan keinginan, semua muncul karena pikiran. Oleh karenanya, orang tertutup pada jati diri ke-Buddha-annya, yang sejatinya asali dan sudah ada menetap di setiap diri, yaitu yang ada sebelum pikiran.

Keadaan batin yang Tercerahkan sebelum pikiran koseptual adalah 'pikiran tidak tahu'. Ketidaktahuan ini adalah pengalaman langsung, tanpa konsep dan bahasa.

Perkembangan ajaran Buddha sendiri pada awalnya adalah mengajak menyadari bahwa hidup itu penderitaan dan bagaimana melampauinya. Fokus pada ini adalah fokus aliran sepuh Hinayana/Srawakayana. Ketika Buddha mendapati jalan pikiran murid-muridnya sudah mendalami Hinayana, Ia lantas mengajarkan Mahayana.

Dalam Mahayana lebih menitikkan pada pengembangan batin yang tidak lagi terbelah. Fokus Mahayana adalah mengenali fungsi kita dalam hidup kita. Karenanya Mahayana tidak lagi memusingkan baik-buruk, salah-benar dalam hidup manusia. Menempuh Mahayana berarti memahami di balik kekosongan segala sesuatu.

Pembahasan Kedua

Zen adalah melihat ke dalam diri untuk menemukan kebenaran sejati. Zen, selain filsafat, adalah laku kebatinan. Zen sedikit banyak adalah pertemuan kebudayaan Buddhisme India dengan Taoisme Tiongkok Kuno.
 
Reza Wattimena (penulis buku).
Taoisme, bagaimanapun, menggunakan jalan pikir Oriental kuno. Ciri khas Zen adalah, bahwasanya Pencerahan batin dapat terjadi seketika. Inti dari ajarannya adalah mengalami Pencerahan batin tanpa keterbelahan atau tanpa-pembedaan.

Meditasi menempati peran terpenting dalam tradisi Zen. Untuk mencapai Pencerahan batin, metode Zen adalah menunjuk pada kejadian sehari-hari secara langsung. Kebenaran bukan konsep atau kata-kata, tapi mengalami kenyataan langsung itu apa adanya, terjadi secara alami. Hanya pikiran manusia yang menghalangi pada kenyataan yang sudah jernih dan sederhana. Air mengalir, daun hijau, gunung menjulang, angin sepoi-sepoi.

Prinsip-prinsip Dasar Zen

Sebagaimana filsafat, Zen juga memiliki prinsip-prinsip. Prinsip Zen terangkum dalam kisah Bodhidharma yang dijamu Kaisar Wu dari Dinasti Liang yang merupakan kaisar Buddha.

Ia bertanya tentang dukungannya terhadap perkembangan Buddhisme di kekaisarannya akankah mendapat pahala nantinya, Bodhidharma menjawab 'tidak'. Kaisar-pun bertanya, 'Siapa Kamu?'. Ia menjawab 'tidak tahu'. Kemudian Ia bertanya lagi, 'Apa inti ajaran agama Buddha?' Bodhidharma menjawab, 'Kekosongan besar.' 

Dalam dialog perjamuan itu bersemayam 3 prinsip Zen: ketiadaan pahala, ketiadaan identitas, dan segala sesuatu adalah Kosong. Dikisahkan, Kaisar pun marah seketika dalam peristiwa itu.

Yang unik dari Zen adalah sikap bebasnya dari tulisan dan kata-kata. Biasanya Zen master akan menunjuk pada peristiwa sehari-hari dan memberikan pendapatnya. Di balik itu sebenarnya Ia memberi petunjuk merealisasi Pencerahan, tanginé batin. Tampak sederhana dan langsung, ini ciri khas Zen.

Yang ingin dituju Zen adalah alamiahnya diri yang mengalir apa adanya dalam pengalaman langsungnya terhadap segala sesuatu di kehidupan dari satu detik ke detik lainnya, momen ke momen. Penggunaan kata-kata dihindari—atau bahkan ditolak—sebisa mungkin dalam tradisi Zen.

Kata adalah penggambaran konsep atas yang tidak bernama atas dirinya sendiri. Kata bukan bagian sejati yang dikonsepsikan. Bisa menyebabkan jatuh pada simbolisme dan ritualisme yang dapat membingungkan orang dan salah paham akan inti yang dituju Zen. Terlebih, kata adalah hasil pikiran. Penekanan Zen adalah kira-kira membiasakan spontanitas. Mencapai tujuan ini tidak berkonotosi aktif, melainkan pasif. 

Zen banyak dipahami sebagai mengheningkan pikir. Banyak yang orang berjuang keras mengheningkan pikir. Upaya aktif ini justru menjauhkan dari Zen. Mengheningkan atau menghentikan pikiran adalah membebaskan pikiran dari segala macam pikiran: analisis, abstraksi, konseptualisasi, evaluasi, refleksi, tujuan, dan kehendak. Terbebas dari semua inilah yang merupakan kebebasan sejati. 

Ketiadaan dan kekosongan adalah sumber kedamaian sejati.
Dengan begitu tidak ada keterbelahan dalam memandang segalanya. Orang bersikap dan bertindak dalam hidupnya di “saat ini” dengan natural dan dalam kebijaksanaan. Kebijaksanaan dalam Zen lepas dari pengetahuan.

Inti dari pencerahan batin adalah pengalaman tanpa-pembedaan. Orang tidak lagi memandang segala sesuatu dualistik: baik-benar, enak-tidak enak, dst. Semua ini masih cara kerja konsepsi, itu pikiran. Pencerahan batin, sekali lagi, tidak dapat dijelaskan secara konsep. Pencerahan batin adalah kembali pada titik nol, sebelum pikiran. Zen sebagai keadaan alamiah manusia sebelum mengenal dualisme, namun bukan pula pengalaman kesatuan. Jika orang sudah mencapai kesadaran alamiah, orang harus melepas semua alat spiritual yang ia gunakan mencapai (dalam arti pasif) tersebut. Dengan sendirinya lepas.

Ketidakterbelahan

Orang memang sulit untuk berhenti berpikir. Orang sulit untuk tidak melakukan apa-apa. Zen adalah “mengheningkan pikiran” atau “menghentikan pikiran”. Dalam banyak kejadian menyebabkan praktisi Zen jatuh dan hidup pada ketidakpedulian. Atas kecenderungan yang terjadi ini, menyebabkan terjebak pada kekosongan karena, sebagaimana di atas telah disinggung, Zen adalah lepas dari cara pandang keterbelahan.

Untuk mengatasi itu, para Zen Master mengajak untuk melihat kembali segala sesuatu dalam hakikat hidup ini. Di setiap kali membuat penilaian, di dalamnya pasti terkandung kontradiksi. Ketika kita menilai baik, maka selalu ada nilai buruk terkandung di dalamnya. Ketika kita menilai kecantikan, maka penilaian kejelekan tersembunyi selalu di baliknya.

Dalam hidup ini orang selalu ingin memperjuangkan kebaikan dan menolak kejahatan sekuatnya. Ini ibarat membakar daging di sebelah sisi dan melupakan sisi lainnya. Ketidakseimbangan memunculkan tegangan. Tegangan dalam hidup diikuti penderitaan.

Zen tidak melihat baik terpisah dari buruk, benar terpisah dari salah. Zen adalah membebaskan diri memandang dengan dualistik. Semua adalah satu, tetapi juga bukan satu. “Satu” hanyalah konsep yang diciptakan Pikiran dan tidak berjangkar pada kenyataan. Zen, sebagaimana, sudah diketengahkan adalah tradisi dalam Mahayana. Fokus Mahayana adalah mencari fungsi kita dalam hidup kita.

Pengetahuan dan Kebijaksanaan

Pikiran kita penuh dengan segala sesuatu yang kita dapati, baik dari belajar formal dan masyarakat keseharian. Pikiran yang terus mengumpulkan secara aktif. Untuk mengetahui dan merasakan Zen justru untuk melepaskan di setiap waktu. Berkebalikannya. Tahu untuk tidak tahu.

Penting untuk ditekankan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan tidak ada keterhubungan dan persamaan. Pengetahuan adalah tindakan aktif mengumpulkan segala pengetahuan yang dihimpun ke dalam pikiran setiap hari, sementara kebijaksanaan dalam Zen adalah tindakan pasif, maksudnya melepas segala sesuatunya yang bercokol di pikiran setiap hari.

Namun begitu, pengetahuan dan kebijaksanaan saling beririsan pada satu titik, yaitu saat ini di tempat ini. Meskipun ketika dibilang “saat ini”, sejatinya saat ini sudah bukan saat ini, sudah berlalu sepersekian tempo. “Saat ini” adalah kesejatian yang sudah penuh, cukup, dan sempurna atas dirinya sendiri. Jika makan, ya pikiran fokus pada makan, jika mengerjakan sesuatu fokus pada itu, jika menonton berita TV, fokus pada itu dan setelah itu semuanya melepas. Karenanya, kebijaksanaan jika dapat secara positif dirumuskan adalah, sebagaimana pemahaman langsung atas kebenaran itu sendiri.

Nilai tertinggi dalam Zen adalah melatih intuisi dan tindakan spontan yang sepenuhnya alamiah. Hampir mirip otomatis. Di balik semua itu adalah lahirnya sikap tulus dan tak ada muatan kepentingan ego. Semua pertimbangan keterbelahan atau dualistik tak terjadi, sebab pikiran manusia sudah terkondisikan selaras “berpikir” Alam, satu dan sama dengan pikiran alamiah orang lain. Manusia berpikir sudah terlepas dari ego sebagai pribadi kecil, melainkan dari sudut pandang Alam Semesta yang mencakup orang lain, mahluk lain, dan seluruhnya.
Spontanitas dan tindakan otomatis adalah alami, yaitu bertindak terhadap apa yang di depan mata dengan jernih sesuai keadaan, bukan berdasar standar moral abstrak yang sering-seringnya tidak berkesesuaian dengan keadaan. Sesederhana adanya, tetapi sulit disadari dan dibiasakan. Tak ada konsep dan kata karena keduanya hal ini bukanlah alamiah manusia itu sendiri. Orang hanya perlu menjalankan segalanya sebagaimana adanya untuk saat ini dan di sini.
Keadaan Alamiah dan Kesatuan Diri–Alam Semesta
Ada quotes populer yang dilontarkan René Descartes, “Aku berpikir, maka Aku ada”. Namun, siapakah “aku” ini? Apa yang membuat “aku” menjadi ada? “Aku” setelah mati ke mana? Semua pertanyaan ini—dan pertanyaan-pertanyaan filosofis lainnya—adalah yang menggelayut dalam relung batin semua orang. Jika memahami sebenarnya “aku” ini, maka memahami Zen. Paham di sini bukan berarti paham dalam arti intelektual, melainkan pemahaman-langsung atas hidup yang “saat ini” itu.

“Aku” dalam Zen tidak terpisah secara esensi dari Alam Semesta. Satu dan sama dengan Matahari, Bulan, bintang, si A, si B, anjing, kucing, pepohonan, dst. “Aku” ini adalah tiada nama dan tiada sebutan, pikiran kita yang menamai. Kita tak boleh melekat pada penamaan itu. Dalam filsafat Jerman, yang tanpa nama  disebut “yang absolut”. Namun, ketika diucapkan kata “yang absolut” ini, itu juga bukan seperti gambaran pikiran kita, sebab pikiran dan bahasa kita selalu membuat pembedaan. Ketika kita berpikir dan/atau mengatakan “yang absolut”, dengan sendirinya memuat ada “yang tidak absolut”. Inilah bahaya dari bahasa yang diciptakan pikiran kita. Mengecoh. Yang absolut adalah yang sejati. Dengan demikian, yang sejati ini di luar pikiran dan kata. Ia adalah kekosongan, namun juga bukan kekosongan, nihil. Kata “kekosongan” ini juga sekedar bahasa kita. Di situlah letak kesejatian kita.
Zen begitu sederhana, hanya mengajak diri untuk melampaui konsep dan kata, menjalani saat ke saat persis sebagaimana adanya, yang semua biasa-biasa saja.
Sejatinya semua agama dan filsafat mengajak kita untuk melihat segala bentuk pembedaan adalah semu belaka di Alam Semesta ini. Yang ada sejatinya adalah subtansi yang absolut yang melampaui konsep dan kata. Melampaui segala pikiran kita, kembali ke “nol”, kembali kepada keadaan alaminya, yaitu keadaan yang sejatinya tak ada pemisah. Di ranah ini tak ada penderitaan, tak ada kebahagiaan. Karena keduanya sejatinya juga sensasi dan konsep pikiran. Dalam konsep selalu ada kontradiksi di baliknya. Dapat kita renungi, penderitaan dan kebahagiaan berkelindan dan berbatas tipis sekali.

Cekak kata, sejatinya Pencerahan batin sudah ada dalam diri setiap orang, sudah alaminya, sebelum ia mengenal beragam konsep, yaitu pikiran intelektual. Keadaan sebelum pikiran intelektual ini disebut pula pikiran jernih, pikiran hening, pikiran yang berhenti.  Orang yang sudah memahami ini adalah orang Tercerahkan.

Setelah Paham, Buang!

Buku ini sebenarnya sudah ditulis sedemikian mengalir adanya, dengan bahasa-bahasa sederhana karena, sebagaimana kata penulisnya, memang ditujukan untuk semua kalangan. Umpama disusun lebih sistematis lagi, itu akan terasa mudah lagi dipahami. Dalam satu bab, ada beberapa tema yang seyogyanya dipecah lagi ke beberapa subbab.

Terlebih, penyampaian-penyampaian dalam menjelaskan Zen penuh bahasa pengandaian. Kita butuh sejenak merenung guna menangkap maksud sederhananya. Cukup rumit untuk membangun garis-garis temu imajiner antarbab. Terlebih lagi, memang yang coba dipaparkan adalah apa yang sebelum konsep dan bahasa. Secara keseluruhan buku menghadirkan cara sederhana—yang, seperti pesan penulis, kemudian harus kita buang jauh dari pikiran—bagaimana menemukan kebahagiaan, menjadi “ruang kosong besar”.

Pada akhirnya, kita bisa sederhana sekali merenungi inti Zen, yang digambarkan dari kisah ringkas “Secangkir Teh” antara Profesor dengan seorang Zen master, sebagai berikut:

Seorang Zen Master menerima kunjungan dari profesor. Ia ingin belajar tentang Zen. Zen Master menawarkan teh dengan sopan. Ia menuangkan teh ke dalam cangkir. Ketika cangkirnya penuh, Zen Master tidak berhenti menuangkan teh. Tehnya pun luber. Profesor berkata, “Tidak ada tempat lagi di dalam cangkir. Itu sudah luber.” Zen Master menjawab, “Cangkir ini seperti pikiranmu. Ia sudah penuh dengan pendapat dan kepercayaan. Bagaimana saya bisa mengajarkan Zen, kalau pikiranmu sudah penuh?"

Setelah mendapat gambaran umum mengenai Zen ini, sebagaimana pesan penulis buku, lepaskan segala pemahaman. Buang pikiran dari kemelekatan atas apa yang sudah dibacai. Zen adalah keadaan alamiah hidup yang bergerak dan berpikir untuk saat ini. Saat ke saat. Tempo ke tempo. Dari momen ke momen.

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Harmoni Dengan Segala Kehidupan Karya Eckhart Tolle

Buku ini diperhatikan bab-babnya berisi beberapa topik yang di awal-awal menyampaikan perihal kesaatkinian dan korelasinya adalah pelampuan gagasan yang mana meliputi gagasan waktu dan gagasan keterpisahan perihal ilusi eksistensi atau aku terpisah mutlak dari keberadaan lainnya ( atta ), kemudian topik diakhiri perihal "harmoni dengan segala kehidupan", yang dalam bahasa sederhana saya adalah: yang biasa dikira aku sejatinya adalah elemen tiada terpisah dari alam semesta. Anda adalah alam semesta itu sendiri.  Secara sistematis, bab-bab secara serial mengarahkan pembaca kepada kesadaran—apa yang diistilahkan Tolle sebagai—"ruang internal". Sebab di sanalah sumber keberhidupan dan arah tepat pencarian kebahagiaan, ketenangan batiniah. Itu muncul ketika konsepsi aku padam—tidak membersit pada pikiran Anda. Dengan kata lain, Anda menjalani, melakukan, menghadapi yang saat-kini Anda di situ dengan mode pikiran intuitif. Gaya Kebahasaan Gaya pengungkapan keb...

Orang Ewe dan Agama Kepercayaan Tradisionalnya

Orang Ewe bisa dijumpai di  Ghana, Togo, dan Benin. Semuanya adalah negara-negara di bagian barat benua Afrika. Populasi terbesar mendiami Ghana. Tradisi dan kepercayaanya banyak dipengaruhi kebudayaan orang Akan dan Yoruba. Bahasa ibu orang Ewe termasuk rumpun Gbe. Orang Ewe terbagi menjadi klan-klan, tetapi menurut cerita lisan dikatakan berakar pada garis leluhur yang sama. Sistem kepemilikan properti adalah komunal, tidak menganut kepemilikan properti secara individu. Asesedwa , kesenian kayu menyerupai bangku, sangat esensial dalam tradisi Ewe. Karenanya, hal itu dibuat dan diukir sangat hati-hati. Dalam ukiran benda tersebut kaya narasi mengenai klan bersangkutan. Dalam ritual, Asesedwa merupakan media yang berfungsi sebagai tempat memanggi roh leluhur. Asesedwa. Menurut cerita turun temurun, asal-usul mereka berasal dari Kotu/Ketu atau Amedzowe, terletak di sebelah timur Sungai Niger. Kira-kira pada 1500, leluhur mereka bermigrasi ke Notsie, Togo. Pada mulamya, migrasi merek...

Dua Kelahiran (Sebuah Esai Kontemplatif)

Kita kerap disuguhkan bahwa lahir, menua, kemerosotan fisik atau sakit/penyakitan, dan kemudian kematian adalah Penderitaan ( dukkha ). Bahasa sehari-harinya, kita sering kali tidak rela ketiga peristiwa akibat dari dilahirkan tadi menimpa kita dan orang-orang terdekat. Keempat fenomena alam tadi masuk klasifikasi penderitaan disebakan jasmani.  Ada klasifikasi penderitaan lainnya: bersama yang tak disenangi/dicintai, berpisah ataupun kehilangan yang disenangi/dicintai, dan terakhirnya adalah tidak memeroleh apa yang dihasratingini/dinafsui. Saya istilahkan penderitaan disebabkan oleh kemampuan mengada yang darinya muncul kemampuan mengingini (mengidealkan dunia kita alami). Mohon diingat. Ini adalah tulisan bersifat kontemplatif dan ini rasa-rasanya tak ada dalam pengajaran naratif Buddhisme arus utama. Sekedar hasil perenungan dan proses memperjelas istilah yang bagi penulis cukup membingungkan mulanya   Mengapa Kita kerap Alami Suasana Batin Tak Nyaman Kita secara emos...

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga...

Refleksi Novel Buddha Sebuah Novel-nya Deepak Chopra

Ini adalah novel berjudul sama kedua aku beli, untuk koleksi. Kadang, saya membacai ulang bagian yang menyimpan pesan ajaran, yang perlu kita bacai seksama dan mengontemplasikannya. Salah satu novel yang berkontribusi kepada diriku tentang, setidaknya secara pemahaman, apa yang dikehendaki dari tiada aku ( anatta ), atau aku ( atta ) yang sekedar ilusi alias tidak hakiki atau bukan sejatinya aku. Si  aku  hanya konsepsi bentukan mental. Dok. Pribadi. Anatta adalah satu dari tiga Ciri Universal Keberadaan ( Tilakkhana ). Dua lainnya adalah impermanesi atau dalam pemahamanku bahwa semua hal mengalami perubahan tanpa ujung (anicca) dan berikutnya adalah penderitaan atau tidak memuaskan (dukkha) yang dalam pemahaman sederhanaku adalah semua susunan yang memiliki atribut mental mengalami ketidakpuasan dan penderitaan (dukkha). Pengalamanku, menyadari anatta adalah poin krusial dalam ajaran Sang Buddha. Secara alamiah untuk terjadinya transformasi psikis yang setelahnya kelegaan yan...

𝙀𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙡𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙨𝙥𝙖𝙙𝙝𝙖, 𝗔𝗽𝗮 𝙨𝙞𝙝 𝗠𝗮𝗸𝘀𝘂𝗱𝗻𝘆𝗮?

Leluhur mewariskan kita ajian tentang bagaimana menjalani hidup yang damai dalam diri, dituangkan dalam 𝘴𝘢𝘯é𝘱𝘢. Dengan itu kita diminta membuka kitab kita sendiri. Kitab itu adalah batin kita masing-masing untuk 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘢𝘰𝘯𝘪 dan 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪. Orang Sunda dan orang Kenekes (Badui di Lebak, Banten) menyebut "ngaji diri". 𝘌𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘴𝘱𝘢𝘥𝘩𝘢 (baca: 𝘸𝘢𝘴𝘱𝘰𝘥𝘩𝘰) adalah ajaran bagaimana mergondisikan batin tiada gangguan agar kembali tenang, tiadanya semacam lubang dalam ruhani atau psikis atau batin, batin puas dengan yang ada, batin bening dan suci sebagaimana sifat asalinya, atau psikis bagaimana mengalami rasa syukur yang sebenar-benarnya syukur (bukan syukur 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘮𝘣é) apapun sedang dijumpai. 𝙒𝙖𝙨𝙥𝙖𝙙𝙝𝙖 "Waspadha" (baca: waspodho) atau 𝘯𝘺𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢'𝘯é adalah hadirnya pikiran pada saat-kini, pada momen yang berlangsung. Kita sering makan tetapi kita tak sepenuhnya benar-benar makan, tidak a𝘸𝘢𝘳𝘦 denga...

How To Die, Nasihat Seneca tentang Kematian

Tentang kematian. Buku ini berisi petuah-petuah Seneca ke kawan dan orang-orang dekat yang butuh nasihat penghiburan. Yah, topik yang tabu bagi kebanyakan awam tetapi mendapat posisi penting dalam banyak perenungan para filsuf. Terdiri lima bab, enam bersama epilog, buku How To Die (Sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal) yang entah editornya siapa ini adalah potongan-potongan petuah dalam surat-surat Seneca ke kawan dan kenalan, yang disusun sistematis sedemikian rupa. Ada beberapa hal penting bisa kita tarik sebagai kesimpulan penting dari buku dengan total halaman ix + 157 ini. Pertama . Seneca memberi nasihat kepada kita akan pentingnya merenungkan kematian agar kita siap kapan saja ia datang. Keterlemparan ke dunia ini dipungkasi kematian, kita harus bersiap diri secara mental dengan harapan kita mampu melewati fase itu dengan tidak banyak gangguan. ... bayi, anak kecil, atau orang-orang yang pikirannya terganggu tidak ada yang takut pada kematian; sangat menyedihkan apabila nalar ...

Mengapa Banyak Orang Amerika Menganggap Buddhisme Sekedar Filsafat?

Di Asia timur, Buddhis merayakan mangkatnya Buddha dan datangnya pencerahan di akhir bulan Februari. Akan tetapi di kuil  Zen  lokal saya di North Carolina, pencerahan Buddha diperingati selama musim liburan bulan Desember, diisi dengan ceramah singkat bagi anak-anak, penyalaan lilin, dan makan malam ala kadarnya di akhir acara. Selamat datang di Buddhisme, gaya Amerika. Pengaruh Awal Pengaruh Buddhisme dalam kesadaran budaya masyarakat Amerika muncul di akhir-akhir abad ke-19. Zaman ketika gagasan romantis tentang mistisisme Timur nan eksotis memantik imajinasi filsuf dan penyair Amerika, penikmat seni, dan angkatan awal para penstudi religi-religi global. Penyair dengan kecenderungan gaya transendentalis seperti Henry David Thoreau dan Ralph Waldo Emerson mempelajari filsafat Hindu dan Buddha secara mendalam. Juga ada Henry Steel Olcott, yang rela pergi ke Sri Lanka pada 1880, yang melakukan konversi ke Buddhisme dan mendirikan aliran filosofi mistik yang terkena...

Kesejajaran Stoikisme & Buddhisme

Terlepas ada banyak ajaran menawarkan cara berbahagia, terlepas seberapa kokoh dan efektif untuk seseorang atau tidak, terlepas tawaran metode itu memperkenalkan seseorang akan apa sejatinya dirinya atau tidak, spiritualisme adalah sarana kultivasi batin atau kesadaran, seni berbahagia dalam kehidupan. Tulisan ini menghadirkan beberapa kesamaan ajaran Stoikisme dan Buddhisme. 1/ Titik Berangkat Lahir dari rahim kebudayaan berbeda dan berjauhan, meski pada zaman itu telah ada hubungan kebudayaan dan politik. Buddhisme berdiri di wilayah yang saat ini masuk Nepal dan India utara pada sekitar 500 SM dan Stoikisme dimulai di Athena, Yunani, sekitar 300 SM.  Stoikisme dinisbatkan ke Zeno sebagai pendiri. Setelah selamat dari peristiwa kapal yang ditumpangi dan berisi barang dagangannya berupa pewarna ungu, bahan pewarna paling mahal dan langka di zamannya, ia terdampar di Athena. Suatu hari ia menyambangi toko buku dan tertarik  Memorabilia  Xenophon. Terkesan dengan isi ...