Sekalipun bukan perihal tujuan paling subtansial dari ajaran Buddhisme, menurut saya, kelahiran kembali adalah topik debateable dalam khasanah intelektual Buddhisme. Sebagai khasanah intelektual, karenanya kelahiran kembali atau kadang dipergunakan istilah "tumimbal lahir" lebih kentara penjelasannya sebagai proposisi filsafat, sekalipun Ajahn Buddhadāsa menerangkan dalam bahasa keseharian awam.
Ajahn Buddhadāsa dalam seri nomor empat dari satu set buku Seri-seri Dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami ini menerangkan bahwa yang dimaksud kelahiran adalah "kelahiran mental", atau dalam istilah saya adalah keterusmenerusan bereksistensi (mengada), suatu rasa sadar bahwa ini aku dan selainnya bukan aku.Intisari Buku
Dari pembacaan buku, berikut kiranya dapat disarikan dari pembacaan buku ini dalam sajian poin-poin paragraf.
Pertama. Dari sudut historis dan kultural, Ajahn Buddhadāsa di awal buku menerangkan bagaimana pandangan spekulatif filosofis dan kultural orang India kuno yang mempercayai kekekalan roh/arwah/jiwa, yaitu ide berupa ketika wadah atau tubuh lama rusak, maka roh akan berganti wadah atau tubuh baru. Jamak dikenal "reinkarnasi". Reinkarnasi menyiratkan ide akan kekekalan roh/arwah/jiwa. Hal demikian bukan ajaran Buddhisme. Secara mendasar bertentangan dengan salah satu dari 3 Sifat Universal Keberadaan atau tilakkhana, yaitu tiada-diri (anatta). Reinkarnasi mengandung gagasan akan adanya diri (atta) yang kekal.
Walau begitu, beliau menimpali bahwa bila perihal ide kelahiran kembali (dalam arti sebagaimana awam bayangkan) dapat mendorong orang berbuat kebaikan atau karma baik, maka tiada salah mengatakan begitu.
Bagi orang-orang itu [awam: red], doktrin kelahiran berulang adalah pilihan yang baik karena itu mencegah perbuatan salah dan mendorong yang sebaliknya, meskipun itu bukan kebenaran (h. 8-9).
Ajahn Buddhadāsa. |
Ketiga. Dari perspektif filosofis, yang dimaksud "kelahiran"—dan kadang digunakan istilah "kelahiran berulang", "kelahiran kembali", ataupun "tumimbal lahir"—dalam ajaran Buddhis merujuk pada bahwa kesadaran merasa aku ada yang ini serta bukan yang itu atau ide keterpisahan antara aku dan bukan-aku. Ini adalah pangkal dari penderitaan yang muncul atau kita rasakan secara mental. Oleh Ajahn Buddhadāsa disebut "kelahiran mental". Kelahiran mental, yang distumulus oleh kontak indra-indra tubuh kita, adalah penyebab utama munculnya kotoran batin (kilesa) yang mengganggu.
Agama Buddha hanya berurusan dengan enam kesadaran indra (h. 6).
Dalam ungkapan lain, memgingat 3 Sifat Universal Keberadaan tadi, dapat dikatakan sebagai berikut.
Bahwa tidak ada mahluk atau orang, hanya proses pembentukan, penggabingan yang selalu berubah, tanpa ada siapapun yang terlobat di dalamnya (h. 10).
Roh yang kekal sekalipun jasmani rusak dan hancur, yang berganti wadah baru (reinkarnasi) atau menuju tempat terakhir dan abadi adalah bukan ajaran Buddhisme.
Keempat. Kelahiran mental—atau istilah saya gunakan adalah kelahiran lagi dan lagi si-aku pada setiap detik dan momen—erat kaitannya dengan penderitaan, dimulai dengan menyembulnya kotoran batin. Kotoran batin ringkasnya dicirikan rasa haus yang begitu kuat ingin memiliki yang disenangi dan menolal sekuat-kuatnya terhadap apa yang sebaliknya.
Kelima. Untuk terbebas dari kelahiran mental (kepadaman; heningnya batin) yang menjadi sumber utama penderitaan, ketidakpuasaan, rasa haus, atau hasrat mengingini dan menolak sesuatu, tiada jalan lain selain pemadaman kelahiran mental. Dalam istilah lebih kekinian, dapat bisa kita sebut pemadaman eksistensi (padamnya pikiran dualistik aku & bukan-aku). Ini erat dengan hidup dalam kesaatkinian (mindfulnes).
Penutup
Seri terakhir dari 4 buku dalam paket Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami ini memberi kita gambaran bahwa kita terlahir (bereksistensi) dari momen ke momen. Artinya, kita mengulangi kelahiran lagi dan lagi sebanyak batin kita yang terkondisi melalui panca khanda (indera pencerap).
Walau penguasaan ontologis tema-tema dalam Buddhisme tidak otomatis menghantarkan keterbebasam batin, secara sosiologis di sini kita menangkap kemampuan dialektis Buddha Sakyamuni dalam memahami masyarakat sekitarnya dan kejelian mendifusikan istilah-istilah yang mewakili pandangan spekulatif filosofis masyarakatnya dengan mendifusikan pemaknaannya. Sekalipun ini tidak mudah ditangkap oleh kebanyakan.