Langsung ke konten utama

Dualisme & Non-dualisme dalam Mahayana

Dualisme dan non-dualisme (atau non-dualitas) adalah istilah yang sering kali muncul dalam Buddhisme. Berikut ini adalah penjelasan yang sangat mendasar tentang maksud istilah-istilah tadi.

GettyImage


Dualisme adalah anggapan bahwasanya hal-hal—atau segala hal, termasuk realitas itu sendiri—dapat dipilah menjadi dua kategori mendasar dan tidak dapat direduksi lebih lanjut. Dalam filsafat barat, dualisme seringnya merujuk pada pandangan bahwa fenomena adalah mental atau fisik. Tapi, dualisme bisa pula merujuk pada anggapan ke banyak hal lain sebagai pasangan yang berlawanan—pria dan wanita, baik dan jahat, terang dan gelap.

Tidak semua yang berpasangan adalah dualitas. Simbol yin-yang dalam filsosofi Tiongkok mungkin sekilas dualistik, tetapi maksud sebenarnya bukan begitu. Menurut Taoisme, lingkaran melambangkan Tao, "Kemanunggalan yang tiada bisa terpisah dari mana semua keberadaan muncul." Area hitam dan putih dalam simbol tersebut melambangkan energi maskulin dan feminin dari mana semua fenomena itu muncul, baik itu yin maupun yang adalah Tao itu sendiri. Masing-masing bagian merupakan bagian tiada terpisah dengan bagian lainnya dan tidak mungkin ada tanpa ada yang lain.

Dalam tradisi Vedanta yang merupakan dasar bagi sebagian besar Hinduisme modern, dualisme dan non-dualisme mengacu pada hubungan antara Brahman, yaitu realitas ultim, dengan segala sesuatu selain Brahman. Aliran dualistik mengajarkan bahwa realitas Brahman eksistensinya terpisah dari dunia fenomena. Adapun aliran nondualistik mengatakan bahwa Brahman adalah satu-satunya realitas, dan dunia fenomena adalah ilusi yang ditumpangkan pada Brahman. Dan harap diingat, penjelasan ini adalah penyederhanaan dari kompleksitas sistem filsafat ini.


Dualitas dalam Buddhisme Theravada

Bhikkhu Bodhi, seorang bikkhu dan cendekiawan, pernah berkata bahwa Buddhisme Theravada bukanlah dualistik atau nondualistik. "Berbeda dari sistem non-dualistik, pendekatan Buddha tidak bertujuan untuk menemukan prinsip ketunggalan di balik atau di bawah pengalaman dunia kita," tulisnya. Ajaran Sang Buddha bersifat pragmatis, dan tidak didasarkan pada beberapa teori filosofis yang agung dan spekulatif.

Walau begitu, dualisme memang ada dalam Buddhisme Theravada—baik dan jahat, penderitaan dan kebahagiaan, kebijaksanaan dan ketidaktahuan. Dualitas yang paling signifikan adalah antara samsara, 'penderitaan', dan nibbana, 'pembebasan dari penderitaan'. Meski Kanon Pali menggambarkan nibbana sebagai semacam realitas ultim, "tiada ada perbedaan sama sekali bahwa realitas metafisik pada tataran terdalamnya tak bisa dibedakan dari kebalikannya, yang nyata, samsara," tulis Bhikkhu Bodhi.


Non-dualitas dalam Buddhisme Mahayana

Buddhisme Mahayana mengajarkan bahwa fenomena yang inter-eksis ini sesungguhnya kosong akan esensi kediriannya atau karakteristiknya itu adalah inheren. Semua perbedaan yang kita buat antara ini dan itu adalah arbitrer dan hanya terdapat di pikiran kita. Ini bukan berarti tiada eksistensi, tetapi itu tidak eksis seperti halnya yang kita pikirkan.

Jika tidak ada apapun yang terpisah/berdiri mandiri, bagaimana cara kita menghitung sekumpulan fenomena? Dan apakah itu artinya semuanya adalah Ketunggalan? Buddhisme Mahayana sering muncul sebagai bentuk monisme atau suatu ajaran bahwa semua fenomena adalah kemanunggulan substansi atau pada prinsipnya kemenyeluruhan fenomena. Tetapi Nagarjuna mengatakan bahwa fenomena bukanlah satu atau terhitung. Jawaban yang benar untuk "berapa banyak?" adalah "bukan dua."

Buddhisme mengajukan bahwa tiap-tiap fenomena adalah inter-eksis; tidak ada eksistensi yang terpisah berdiri sendiri-sendiri. Semua fenomena selalu mengkondisikan tiap fenomena lainnya. Karena segala sesuatu yang lain adalah apa adanya.

Dualisme yang paling merusak adalah dualisme subjektif, yang membedakan "individu yang mengetahui" dan objek yang diketahui. Atau, dengan kata lain, persepsi tentang "aku" dan "segala hal selain aku".

Dalam Sutta Vimalakirti, Vimalakirti mengatakan bahwa kebijaksanaan adalah "lenyapnya ke-aku-an dan rasa memilikinya. Apa itu lenyapnya ke-aku-an dan rasa memilikinya? Itu dalah terbebas dari dualisme. Apa itu terbebas dari dualisme? Itu adalah lenyapnya pandangan entah itu eksternal ataupun internal. ... Subjek-internal dan objek-eksternal tidak dianggap dualistik." Ketika dualisme subjektif "yang mengetahui" dan objek "yang diketahui" tiada eksis lagi, yang tersisa adalah kemengadaan sebagaimana adanya atau kesadaran apa adanya.

Bagaimana dengan dualitas antara yang baik dan yang jahat, samsara dan nibbana? Dalam bukunya Nonduality: A Study in Comparative Philosophy (Humanity Books, 1996), guru Zen David Loy menulis,

Pada pokoknya Buddhisme Madhyamika, bahwasanya samsara adalah nibbana, memang sulit dimengerti dengan cara apapun kecuali dengan menyatakan akan adanya dua persepsi yang berlainan, yaitu dualitas dan non-dualitas. Persepsi dualistik adalah anggapan jika objek-objek dunia ini terpisah satu sama lain (yang salah satunya itu adalah aku) yang telah menciptakan dan menghancurkan samsara. Ketika persepsi dualistik lenyap, niscayalah nirbbana. Dengan kata lain, nibbana adalah 'sifat sejati' nondualitas dari samsara.


Dua Kebenaran

Mungkin belumlah jernih mengapa jawaban bagi "berapa banyak" adalah "bukan dua". Mahayana mengajukan bahwa segala sesuatu eksis dalam cara yang absolut dan relatif atau konvensional. Secara absolut, semua fenomen adalah satu, tetapi secara relatif, ada banyak fenomen yang berbeda-beda. ​​

Dalam pengertian seperti itu, fenomena adalah kemanunggalan sekaligus yang berbilang. Kita tidak bisa mengatakan hanya ada satu; kita tidak bisa mengatakan ada lebih dari satu. Jadi, kita mengatakan, "bukan dua".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha...

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suññata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, arti...

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa...

Hidup dalam Kesaatkinian dan Manfaatnya oleh Ajahn Buddhadāsa

Ini adalah seri nomor tiga dari satu set Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami oleh Ajahn Buddhadāsa (1906–1993). Diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharma pada 2024. Berdimensi 12,5 cm x 18,5 cm dan berketebalam 44 halaman. Buku ini membahas tentang pentingnya hidup dalam kesaatkinian, karena dalam ajaran Buddhisme hanya, yang oleh bahasa diistilahkan,  saat kini  yang benar-benar nyata, yang demikian adanya. Sebagai kebenaran non-konvensi. Kehidupan manusia dan semua mahluk bertalian erat dengan pencarian kebahagiaan. Hidup sendiri adalah nyata adanya pada kesaatkinian terus menerus. Anda bernafas pada saat kini terus menerus, bukan tadi ataupun nanti. Maka kebahagiaan bukan ditemukan pada—apa yang dikonsepsikan pikiran sebagai—masa lalu ataupun masa depan, dalam bentuk mengembangkan harap damba kuat. Mengapa Saat-Kini ? Manusia awam mengabaikan absurditas kehidupan dengan mengembangkan hasrat harapan. Munculnya hasrat harapan erat kaitannya dengan hidup kita yang r...

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga...

6 Tokoh Berpengaruh Mazhab Frankfurt

Teori Kritis adalah istilah yang cakupannya relatif luas, luasnya cakupan bisa dilacak kembali ke asal-usulnya. Ringkasnya, ini adalah bidang filsafat yang bertalian dengan sosiologi dan studi tentang kemasyarakatan secara umum Asal-usulnya merujuk kepada sekelompok ahli teori filsafat Jerman yang membedakan Teori Kritis dari teori sosiologi umum atau yang lebih tradisional, mengingat tujuan dan terapannya. Dikenal sebagai Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School ). Ini adalah sekumpulan para intelektual dan cendekia yang hidup pada periode antara dua perang di Jerman. Setidaknya itu adalah periode bergejolak. Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis Sebutan resmi Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School) adalah Institut Penelitian Sosial. Di kemudian waktu institut ini menjadi musuh dari fasisme Jerman yang bangkit. Sebagian besar cendekianya terpaksa pergi ke luar Jerman. Sekalipun keadaan tersebut tidak menguntungkan mereka, karya yang dihasilkan oleh para aktor mazhab Frankfurt ini masih memiliki ...

Paling Pokok dalam Ajaran Buddhisme & Prinsip-prinsip Umum

Buddhisme adalah āgama (Sanskrit) atau praktik laku hidup yang didasarkan pada ajaran Siddhartha pada abad ke-5 SM di wilayah yang sekarang disebut Nepal dan India utara. Ia disebut "Buddha", yang artinya "yang terbangun". Kadang juga diartikan "yang tercerahkan". Diistilahkan  bodhi  dalam Sanskrit. Setelah ia mengalami ketergugahan Kesadaran mendalam—atau Kecerahan batin—akan hakikat kehidupan, kematian, dan kebetadaan Selama sisa hidupnya setelah merealisasi Kecerahan, Sang Buddha berkelana dan mengajar. Namun ia tidak menyampaikan ke orang-orang tentang apa yang ia sadari ketika telah tercerahkan atau tergugah. Sebaliknya, ia mengajarkan ke orang-orang bagaimana cara atau jalan merealisasi kecerahan bagi diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa kecerahan ataupun terbangun/tergugah (dari ilusi) dilakukan oleh sendiri dan muncul dari dalam diri Anda sendiri yang mengalami-langsung, bukan melalui jalan mempercayai dogma. Pada saat mangkat Sang Buddha, Buddhism...

Intisari Buku Mengenai Kelahiran Karya Ajahn Buddhadāsa

Sekalipun bukan perihal tujuan paling subtansial dari ajaran Buddhisme, menurut saya, kelahiran kembali adalah topik debateable dalam khasanah intelektual Buddhisme. Sebagai khasanah intelektual, karenanya kelahiran kembali atau kadang dipergunakan istilah "tumimbal lahir" lebih kentara penjelasannya sebagai proposisi filsafat, sekalipun Ajahn Buddhadāsa menerangkan dalam bahasa keseharian awam. Ajahn Buddhadāsa dalam seri nomor empat dari satu set buku Seri-seri Dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami ini menerangkan bahwa yang dimaksud kelahiran adalah "kelahiran mental", atau dalam istilah saya adalah keterusmenerusan bereksistensi (mengada), suatu rasa sadar bahwa ini aku dan selainnya bukan aku . Intisari Buku Dari pembacaan buku, berikut kiranya dapat disarikan dari pembacaan buku ini dalam sajian poin-poin paragraf. Pertama . Dari sudut historis dan kultural, Ajahn Buddhadāsa di awal buku menerangkan bagaimana pandangan spekulatif filosofis dan kultural orang...

8 Alasan Orang Memegang Agama-Kepercayaan

Ada banyak yang tak disadari seseorang yang percaya pada kepercayaan agama. Dalam mempraktikkan agamanya, banyak orang menemukan kenyamanan dan pelipur dari kenyataan hidup yang tak pasti. Ada alasan lain mengapa mereka tertarik pada keyakinan yang mereka praktikkan. Bagi kebanyakannya, kepercayaan adalah bagian dari pola asuh yang didapat seseorang di masa kecil dan mereka ketika dewasa melanjutkan tradisi yang diwarisi dari keluarganya itu. Kepercayaan memainkan peran penting pula dalam budaya karena berbagai alasan. Diindoktrinasi ke dalam Agama Tertentu Kuatnya dan terus menerusnya seseorang diindoktrinasi ke dalam agama tertentu menunjukkan bahwa orang mempercayai agamanya karena itulah yang terjadi pada mereka umumnya. Terutama oleh lingkungan keluarganya. Ini pula alasan mengapa anak dari keluarga beragama A mayoritasnya akan tetap pada agama A dewasanya, begitu juga yang beragama B. Diperkuat pula oleh lingkungan sekitar dari yang agak dekat hingga lingkungan umum di mana ia be...

Kunci-kunci Membaca Filsafat Anti-Natalis Benatar

Buku berjudul  Better Never To Have Been—The Harm of Coming to Existence (Oxford Press: 2006), kira-kira, agar mengena, bisa diterjemahkan "Lebih Baik Tak Lahir—Penderitaan Sebab Mengada", adalah buku menarik dan kontroversial. Ia mengusik hasrat alamiah mendasar spesies, mengusik hasrat manusia paling mendasar: memperbanyak diri atau berkembang biak. Buku ini adalah buku kontroversial, tetapi argumen Benatar adalah logis. Siapa Dia yang Mengusik Naluri Paling Mendasar Kita? Benatar adalah filsuf abad 21 yang corak filsafat eksistensialnya pesimistik, seperti halnya Arthur Schoupenhauer. Bisa pula dikategorikan nihilisme. Ia bukan saja membentangkan bangunan filosofisnya, tetapi, seperti kebanyakan kefilsafatan kontemporer berdiri sebagai "penafsir data-data saintifik", setelah memaparkan data dan gambaran prediktif, yang secara umum adalah melonjaknya penderitaan sebab meningkatnya populasi, ia juga mengajukan cara bagaimana agar populasi terbebas dari kemengadaan...