Langsung ke konten utama

Kunci-kunci Membaca Filsafat Anti-Natalis Benatar

Buku berjudul Better Never To Have Been—The Harm of Coming to Existence (Oxford Press: 2006), kira-kira, agar mengena, bisa diterjemahkan "Lebih Baik Tak Lahir—Penderitaan Sebab Mengada", adalah buku menarik dan kontroversial. Ia mengusik hasrat alamiah mendasar spesies, mengusik hasrat manusia paling mendasar: memperbanyak diri atau berkembang biak. Buku ini adalah buku kontroversial, tetapi argumen Benatar adalah logis.


Siapa Dia yang Mengusik Naluri Paling Mendasar Kita?

Benatar adalah filsuf abad 21 yang corak filsafat eksistensialnya pesimistik, seperti halnya Arthur Schoupenhauer. Bisa pula dikategorikan nihilisme. Ia bukan saja membentangkan bangunan filosofisnya, tetapi, seperti kebanyakan kefilsafatan kontemporer berdiri sebagai "penafsir data-data saintifik", setelah memaparkan data dan gambaran prediktif, yang secara umum adalah melonjaknya penderitaan sebab meningkatnya populasi, ia juga mengajukan cara bagaimana agar populasi terbebas dari kemengadaan yang dalam dirinya inheren peluang menganga menderita di bab ketiga, apa yang mungkin dapat disebut sebagai strategi punah massal sistematis.

Benatar adalah dosen filsafat di Universitas di Cape Town, Afrika Selatan. Pemikirannya mengusik dan menantang insting paling mendasar kita: reproduksi dan memperbanyak diri. Dalam istilah seorang neurolog yang saya dengar, "mandat DNA". Ringkasnya, corak filsafatnya menantang tabiat alamiah dan insting apa pun yang dikategorikan animalia.

Tak mengagetkan jika subjek kefilsafatannya menjadi perdebatan dan prokontra, dari pakar hingga awam. Sedikit yang setuju dan, tentu saja, banyak yang tidak. Bidasan bersusulan. Ada yang melalui kolom media elektronik dan bahkan ada yang meluangkan waktu khusus, membidasnya dengan menulis buku. Misalnya, Ken Coates dengan Anti-Natalism: Rejectionist Philosophy from Buddhism to Benatar.

Sebenarnya, Benatar sendiri menghindari istilah anti-natalisme dan memilih non-prokreasi, karena satu dan lain sebab. Misalnya, anti-natalisme ada yang berangkat dari ego, tak mau berbagi sumberdaya dan alokasi waktu bagi kehidupan baru di tengah kehidupannya, kadang ada yang berangkat dari alasan lebih menitikberatkan karir. Benatar memilih istilah tersebut memang murni altruisme, bukan berangkat dari alasan egoistik. Didorong semangat altruisme, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa ada kesengsaraan dan penderitaan yang besar bagi siapa saja yang terlahir mengada. Atas pilihan sadar altruistik, demi menghindarkan penderitaan bagi calon potensial relevan, tidak mengajak kehidupan baru adalah pilihan logis. Berdasar pertimbangan rasional dan akal sehat, bukan berdasar dorongan hasrat alamiah.


Bermula Lelucon, Argumennya Dibangun

Sebagaimana pernyataan Benatar, kefilsafatannya dibangun dari pepatah Jewis yang sepintas tampak seperti lelucon garing, silsilah pepatah dikutip dari Robert Nozick (1974) dan Bernard Williams (1973).
Kehidupan itu sangat mengerikan, akan lebih baik tak pernah lahir. Siapa yang  beruntung? Tak seorangpun!

Oleh Freud, pepatah itu pernah diejek sekedar lelucon asal-asalan. Meski ia menyusuli bahwa “yang tidak pernah pernah lahir sama sekali tidak mati, dan tidak ada istilah tepat dan lebih tepat bagi itu”. Freud di sini tampaknya mengantisipasi apa yang disebut aspek non-identitas.

Tiada pernah lahir akan menjadi hal yang paling baik bagi mortalitas seseorang.

Dalam argumennya, Benatar menarik konklusi filosofis bahwa semua yang terlahirkan dirugikan terhitung sejak ia mengada. Oleh karena itu, berkembang biak adalah salah. Konklusi ini sendiri ditarik dari 2 argumen asimetrikal antara hal-hal baik dan buruk, seperti kesenangan dan kesakitan  kebahagiaan dan penderitaan.

  1. Absennya rasa sakit itu baik, meski hal itu juga tidak bisa dinikmati oleh siapa saja yang sama sekali tidak pernah mengada.
  2. Absennya rasa senang bukanlah buruk, kecuali bagi orang yang mengada, yang mereka menganggap tidak dilahirkan mengada sebagai suatu kerugian.

Juga pandangan bias manusia terhadap peluang kehidupannya sendiri yang tidak dapat diandalkan saking biasnya—yaitu hasrat imajinatif yang sejak berkecambah dalam pikiran maka sejak itu pula menghasilkan kegelisahan—hal-hal bias untuk direngkuh di masa depan.

Dalam gaya semantik yang menarik, Benatar juga menjawab penyangkalan filsuf-filsuf kontemporer yang kebingungan: bagaimana mungkin tiada-mengada bisa dikatakan lebih baik? Sanggah mereka, tidak ada kebaikan/keberuntungan bagi yang tiada-mengada, tidak masuk akal.


"Iceberg of Suffering"

Kefilsafatan adalah dunia kompleks semantik. Filsuf menggunakan bahasa sebagai jembatan mentransmisikan gagasannya hadir ke pikiran orang lain, terlepas setuju atau tidak.

Menjawab sanggahan filsuf-filsuf tadi, Benatar menyatakan, tentu saja tak ada kenikmatan bisa diraih bagi yang tiada-mengada, tapi juga tak akan ada penderitaan relevan yang akan menimpa yang tiada-mengada, seperti halnya yang mengada. Dalam mengada inheren penderitaan.

Setiap yang hidup menanggung hal-hal yang begitu buruk—bahkan lebih buruk dari yang pernah terbayangkan.

Sarannya, satu-satunya cara untuk memberi garansi akan masa depan calon mengada potensial agar tidak menderita adalah dengan memastikannya tidak hadir di kehidupan.


Walau begitu, Benatar sadar, menyadari ini-pun, tidak mudah melakukannya—menentang insting alamiah kita, hasrat mendasar. Mereka, yang sadar akan potensi penderitaan bagi si calon mengada potensial untuk dihadirkan, membatasi jumlah produksi. Pada gilirannya, setiap silsilah generasi melakukan hal sama. Karenanya, setiap pasangan prokreasi dapat dikatakan dirinya sebagai orang yang ditindih gunung es penderitaan (iceberg of suffering) antargenerasi. Terlebih mengingat meningkatnya populasi, yang artinya akan dengan sendirinya meningkatkan persaingan akses sumber daya.


Pesimisme-Nihilistik dalam Istilah Lain

Dari pepatah dan (sepintas) lelucon tadi, ia merumuskan dua klaim atas alur bangun filsafatnya: (i) lebih baik tidak lahir, dan (ii) begitu beruntung bagi siapapun yang tidak lahir. Susulnya, dalam posisi ini dapatlah dirumuskan klaim bahwa betapa masuk akalnya untuk mengatakan lebih baik tak pernah lahir. Ini sebagai cara tidak langsung untuk mengatakan bahwa datang ke kehidupan lebih banyak penderitaan ketimbang sebaliknya. Sekalipun sering kita sangkal dari kesadaran kita dan berpura-pura. Sebaliknya, membantah balik filsuf-filsuf kontemporer tadi, Benatar dengan gaya semantik yang jitu menyatakan:
... tidak bisa dikatakan masuk akal ketika ada klaim yang mengatakan bahwa tak seorangpun dapat meraih keberuntungan jika tidak pernah lahir. Sebaliknya, lebih (begitu) masuk akal. ketika ada klaim yang menyatakan  bahwa ada orang yang beruntung karena tidak pernah lahir.

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha...

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suññata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, arti...

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa...

Hidup dalam Kesaatkinian dan Manfaatnya oleh Ajahn Buddhadāsa

Ini adalah seri nomor tiga dari satu set Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami oleh Ajahn Buddhadāsa (1906–1993). Diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharma pada 2024. Berdimensi 12,5 cm x 18,5 cm dan berketebalam 44 halaman. Buku ini membahas tentang pentingnya hidup dalam kesaatkinian, karena dalam ajaran Buddhisme hanya, yang oleh bahasa diistilahkan,  saat kini  yang benar-benar nyata, yang demikian adanya. Sebagai kebenaran non-konvensi. Kehidupan manusia dan semua mahluk bertalian erat dengan pencarian kebahagiaan. Hidup sendiri adalah nyata adanya pada kesaatkinian terus menerus. Anda bernafas pada saat kini terus menerus, bukan tadi ataupun nanti. Maka kebahagiaan bukan ditemukan pada—apa yang dikonsepsikan pikiran sebagai—masa lalu ataupun masa depan, dalam bentuk mengembangkan harap damba kuat. Mengapa Saat-Kini ? Manusia awam mengabaikan absurditas kehidupan dengan mengembangkan hasrat harapan. Munculnya hasrat harapan erat kaitannya dengan hidup kita yang r...

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga...

6 Tokoh Berpengaruh Mazhab Frankfurt

Teori Kritis adalah istilah yang cakupannya relatif luas, luasnya cakupan bisa dilacak kembali ke asal-usulnya. Ringkasnya, ini adalah bidang filsafat yang bertalian dengan sosiologi dan studi tentang kemasyarakatan secara umum Asal-usulnya merujuk kepada sekelompok ahli teori filsafat Jerman yang membedakan Teori Kritis dari teori sosiologi umum atau yang lebih tradisional, mengingat tujuan dan terapannya. Dikenal sebagai Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School ). Ini adalah sekumpulan para intelektual dan cendekia yang hidup pada periode antara dua perang di Jerman. Setidaknya itu adalah periode bergejolak. Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis Sebutan resmi Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School) adalah Institut Penelitian Sosial. Di kemudian waktu institut ini menjadi musuh dari fasisme Jerman yang bangkit. Sebagian besar cendekianya terpaksa pergi ke luar Jerman. Sekalipun keadaan tersebut tidak menguntungkan mereka, karya yang dihasilkan oleh para aktor mazhab Frankfurt ini masih memiliki ...

Paling Pokok dalam Ajaran Buddhisme & Prinsip-prinsip Umum

Buddhisme adalah āgama (Sanskrit) atau praktik laku hidup yang didasarkan pada ajaran Siddhartha pada abad ke-5 SM di wilayah yang sekarang disebut Nepal dan India utara. Ia disebut "Buddha", yang artinya "yang terbangun". Kadang juga diartikan "yang tercerahkan". Diistilahkan  bodhi  dalam Sanskrit. Setelah ia mengalami ketergugahan Kesadaran mendalam—atau Kecerahan batin—akan hakikat kehidupan, kematian, dan kebetadaan Selama sisa hidupnya setelah merealisasi Kecerahan, Sang Buddha berkelana dan mengajar. Namun ia tidak menyampaikan ke orang-orang tentang apa yang ia sadari ketika telah tercerahkan atau tergugah. Sebaliknya, ia mengajarkan ke orang-orang bagaimana cara atau jalan merealisasi kecerahan bagi diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa kecerahan ataupun terbangun/tergugah (dari ilusi) dilakukan oleh sendiri dan muncul dari dalam diri Anda sendiri yang mengalami-langsung, bukan melalui jalan mempercayai dogma. Pada saat mangkat Sang Buddha, Buddhism...

Intisari Buku Mengenai Kelahiran Karya Ajahn Buddhadāsa

Sekalipun bukan perihal tujuan paling subtansial dari ajaran Buddhisme, menurut saya, kelahiran kembali adalah topik debateable dalam khasanah intelektual Buddhisme. Sebagai khasanah intelektual, karenanya kelahiran kembali atau kadang dipergunakan istilah "tumimbal lahir" lebih kentara penjelasannya sebagai proposisi filsafat, sekalipun Ajahn Buddhadāsa menerangkan dalam bahasa keseharian awam. Ajahn Buddhadāsa dalam seri nomor empat dari satu set buku Seri-seri Dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami ini menerangkan bahwa yang dimaksud kelahiran adalah "kelahiran mental", atau dalam istilah saya adalah keterusmenerusan bereksistensi (mengada), suatu rasa sadar bahwa ini aku dan selainnya bukan aku . Intisari Buku Dari pembacaan buku, berikut kiranya dapat disarikan dari pembacaan buku ini dalam sajian poin-poin paragraf. Pertama . Dari sudut historis dan kultural, Ajahn Buddhadāsa di awal buku menerangkan bagaimana pandangan spekulatif filosofis dan kultural orang...

8 Alasan Orang Memegang Agama-Kepercayaan

Ada banyak yang tak disadari seseorang yang percaya pada kepercayaan agama. Dalam mempraktikkan agamanya, banyak orang menemukan kenyamanan dan pelipur dari kenyataan hidup yang tak pasti. Ada alasan lain mengapa mereka tertarik pada keyakinan yang mereka praktikkan. Bagi kebanyakannya, kepercayaan adalah bagian dari pola asuh yang didapat seseorang di masa kecil dan mereka ketika dewasa melanjutkan tradisi yang diwarisi dari keluarganya itu. Kepercayaan memainkan peran penting pula dalam budaya karena berbagai alasan. Diindoktrinasi ke dalam Agama Tertentu Kuatnya dan terus menerusnya seseorang diindoktrinasi ke dalam agama tertentu menunjukkan bahwa orang mempercayai agamanya karena itulah yang terjadi pada mereka umumnya. Terutama oleh lingkungan keluarganya. Ini pula alasan mengapa anak dari keluarga beragama A mayoritasnya akan tetap pada agama A dewasanya, begitu juga yang beragama B. Diperkuat pula oleh lingkungan sekitar dari yang agak dekat hingga lingkungan umum di mana ia be...