Langsung ke konten utama

Apa Itu 4 Kebenaran Hakiki dalam Buddhisme?

Awal-awal ceramah Guru Gautama setelah pencerahannya berkisar di seputar Empat Kebenaran Hakiki, yang merupakan dasar dari Buddhisme. Salah satu cara untuk memahaminya adalah dengan memandang Kebenaran-Kebenaran tersebut sebagai hipotesis dan Buddhisme sebagai proses pemverifikasiannya untuk menjadi tesis, atau merealisasi hakikat akan Kebenaran-Kebenaran itu.


Empat Kebenaran Hakiki

Umumnya, arti Kebenaran ini ditangkap secara serampangan. Kebenaran tersebut memberi tahu kita bahwa hidup adalah penderitaan. Penderitaan disebabkan oleh loba (ketamakan), dosa (kualitas-kualitas psikiis mengganggu semisal amarah dan ras frustasi), dan moha (pandangan deluaif). Penderitaan berakhir ketika kita terbebas dari 3 kotoram batim tadi. Caranya dengan mempraktikkan apa yang disebut 4 Kebenaran Beruas Delapan.

Secara urutan formalnya, Kebenaran tersebut bunyinya berikut:
  1. Benar ada penderitaan atau rasa ridak puas (dukkha)
  2. Benar ada sumber munculnya penderitaan atau tasa tidak puas (samudaya)
  3. Benar ada akhir dari penderitaan atau rasa tidak puas (nirhodha)
  4. Benar ada jalan yang membebaskan dari penderitaan atau tasa tidak puas (magga)
Kacaunya, orang memahami cuma terhenti pada "hidup adalah penderitaan" dan Buddhisme tak layak untuknya. Bagaimanapun jika kamu meluangkan waktu sejenak untuk memberi apresiasi terhadap Empat Kebenaran Hakiki sebenarnya tentang apa sih, hal-hal lain dalam Buddhisme akan menampak lebih jelas. Mari menengoknya sekali lagi.

Kebenaran Hakiki Pertama

Kebenaran Pertama dari Kebenaran Hakiki seringnya diterjemahkan sebagai "hidup adalah penderitaan". Ini tak seburuk kedengarannya. Justru sebenarnya sebaliknya, itulah sebabnya bisa membingungkan.

Terjadinya banyak kebingungan karena terjemahan dari kata Pali/Sansekerta dukkha sebagai "penderitaan." Menurut Ajahn Sumedho, bikkhu dan cendekiawan Theravada, kata itu sebenarnya merujuk pengertian "tidaklah memuaskan" atau "tidaklah bertanggungjawab atau tudak dapat dibebani apapun." Cendekiawan lain mengganti "penderitaan" dengan "rasa tertekan/stres."

Dukkha juga merujuk ke apa saja yang temporer, kondisional, atau apa saja yang tersusun dari hal-hal. Bahkan sesuatu yang bermakna dan memberi kenikmatan juga masih dukkha, karena akan segera berlalu.

Lebih jauh, Guru Gautama juga tidak mengatakan jika segala hal dalam kehidupan ini sangat mengerikan. Di kesempatan ceramah-ceramahnya yang lain, beliau memberi tahu betapa banyaknya jenis-jenis kebahagiaan indrawi, seperti kebahagiaan ketika hidup berkeluarga. Walau begitu, ketika melihat dukkha lebih dekat lagi, kita akan mendapati jika dukkha itu tiada terpisah dari segala hal dalam hidup kita, termasuk ketika dalam keberuntungan dan saat-saat kita dalam sensasi bahagia.

Di antara ceramah-ceramahnya tadi, Guru Gautama mengajarkan pula bahwa skandha adalah dukkha. Skandha adalah komponen manusia: materi, indera pencerap, ide atai formasi mental, kesukaan, dan kesadaran. Dengan kata lain, mengkhayalkan bahwa tubuh yang kamu identifikasi sebagai dirimu adalah termasuk dukkha karena memang tidak kekal dan pada akhirnya akan berlalu.


Kebenaran Hakiki Kedua

Kebenaran Hakiki Kedua mengajarkan bahwa penyebab atau sumber penderitaan adalah loba. Kata sebenarnya adalah tanha, yang lebih akurat bila dipadankan sebagai "dahaga" atau "hasrat kuat mengingini."

Kita selalu mengingini hal-hal di luar diri dengan harapan kita bisa bahagia sepenuhnya langgeng. Namun, tidak peduli betapa suksesnya kita meraih dan mendapatkan serta menggenggamnya, tidak pernah kita terpuaskan. Kebenaran Kedua tidak bermaksud mengatakan ke kita bahwa kita harus meninggalkan semua yang kita sukai dan cintai supaya menemukan kebahagiaan. Yang dimaksud sebenarnya di sini lebih subtil, yaitu kemelekatan kuat kita pada apa yang kita ingini akan menenggelamkan kita ke dalam jurang masalah psikis tanpa mampu keluar terbebas darinya.

Guru Gautama mengajarkan bahwa dahaga muncul dari kebodohan batin. Kita menjalani hidup dengan meraih satu demi satu hal demi memperoleh rasa aman dan kenyamanan bagi diri kita. Kita tidak hanya melekati pada benda-benda yang diraih, tetapi juga pada ide dan pendapat kita dan ide-ide akan dunia di sekitar kita. Kemudian kita jatuh terperosok dalam kubangan frustrasi manakala dunia tidak berjalan sesuai keinginan di hasrat pikiran kita dan kenyataan hidup kita tidak berjalan sesuai dengan yang diingini.

Praktik Buddhis membawa perubahan radikal dalam cara pandang. Mengubah kecenderungan cara pandang kita yang memecah-mecah keberadaan semesta menjadi "aku" dan "hal-hal selain aku", menjadi padam. Seiring waktu, pempraktik ajaran Guru Gautama akan lebih bisa menikmati dalam mengalami hidup tanpa menilai, tiada bias, manipulasi, atau hambatan-hambatan lain bagi mental yang selama ini kita bangun di antara diri kita dan apa saja yang nyata.

Ajaran Guru Gautama tentang karma dan tumimbal lahir berkaitan erat sekali dengan Kebenaran Hakiki Kedua ini.


Kebenaran Hakiki Ketiga

Ajaran Guru Gautama tentang Empat Kebenaran Hakiki kadang dibanding-bandingkan dengan seorang dokter yang mendiagnosis penyakit dan memberi resep obat. Kebenaran yang pertama memberi tahu kita apa penyakitnya itu dan kebenaran kedua memberi tahu kita apa yang menyebabkan penyakit. Kebenaran Hakiki Ketiga menawarkan harapan akan kesembuhan.

Solusi bagi dukkha adalah berhenti menempel dan melekat. Namun, bagaimana kita melakukan itu? Faktanya, hal itu tak bisa dicapai dengan menindakkan dari adanya kehendak. Tidak mungkin cuma bersumpah ke diri sendiri, "mulai sekarang aku tak akan mengingini apapun". Cara seperti ini tidak mungkin berhasil, sebab masih tetap terkungkung hasrat keinginan.

Kebenaran Hakiki Kedua tadi memberi tahu kita bahwa jika kita kuat berdiam pada hal-hal yang kita yakini, kita akan bahagia atau membuat kita aman dan nyaman selalu. Menggenggam satu demi satu hal temporer tidak akan pernah memberi kepuasan batin kita (munculnua rasa syukur) karena semuanya itu temporer. Hanya ketika kita masuk ke dalam diri kita sendiri, kita dapat berhenti melekati hal-hal di luar diri. Ketika kita melihat masuk ke dalam diri, melepas itu mudah. Keinginan akan padam dengan sendirinya.

Guru Gautama mengajarkan bahwa melalui latihan yang istikamah, kita bisa mudah memadamkan ketika muncul nafsu hasrat keinginan. Berakhirnya pengejaran roda hamster kepuasan adalah pencerahan (bodhi, "terbangun"). Yang tekah tercerahkan adalah hang telah merealisasi apa yang diistilahkan nibbana (Pali) atau nirvana (Sanskrit).


Kebenaran Hakiki Keempat

Guru Gautama menghabiskan sekitar 45 tahun sisa umurnya untuk menyampaikan ceramah tentang aspek Empat Kebenaran Hakiki. Sebagian besarnya mengenai Kebenaran Keempat ini: praktik laku (magga).

Dalam Kebenaran Hakiki Keempat, Guru Gautama layaknya seorang tabib memberi resep obat untuk penyakit kita, yaitu Jalan Berunsur Delapan. Pum tidak seperti di banyak agama atau laku spiritual lainnya, Buddhisme tidak menyatakan bahwa ada kemanfaatan bisa dipetik cuma dengan percaya doktrinnya begitu saja. Sebaliknya, penekanannya justru realisasi ajaran dan menapaki dan mempraktikkan laku (magga).

Jalan laku terdiri dari delapan bidang praktik yang luas yang bersinggungan dengan setiap aspek kehidupan kita. Mulai dari belajar hingga berperilaku etis, hingga apa yang kamu lakukan ketika mencari nafkah penghidupan, hingga meatih pikiran untuk hadir sepenuhnya dari momen ke momen yang kita hadapi atau kerjakan atau libati. Setiap tindakan tubuh, ucapan, dan pikiran diarahkan oleh jalan laku. Ini adalah jalan laku eksploratif dan disiplin yang harus dilalui sendiri oleh seseorang dalam hidupnya.

Tanpa jalan laku, ketiga Kebenaran Hakiki sebelumnya tadi hanya akan menjadi sekumpulan teori. Praktik Jalan Berunsur Delapan membawa dhamma (atau "dharma", Sanskrit) ke dalam hidup seseorang dan membuatnya mengembangkan kondisi mental/batin/spiritnya.


Memahami Butuh Waktu

Jika Anda tetap bingung akan Empat Kebenaran Hakiki ini, sabar. Ini memang tidak sederhana dan mudah diterima. Untuk bisa mengapresiasi sepenuhnya akan apa Kebenaran Hakiki ini bisa memakan waktu bertahun-tahun. Dalam kenyataannya, di berbagai aliran pengajaran, melalui pemahaman menyeluruh tentang Empat Kebenaran Hakiki inilah yang akan menghantarkan pada pencerahan dan ketergugahan batin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha...

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suññata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, arti...

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa...

Hidup dalam Kesaatkinian dan Manfaatnya oleh Ajahn Buddhadāsa

Ini adalah seri nomor tiga dari satu set Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami oleh Ajahn Buddhadāsa (1906–1993). Diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharma pada 2024. Berdimensi 12,5 cm x 18,5 cm dan berketebalam 44 halaman. Buku ini membahas tentang pentingnya hidup dalam kesaatkinian, karena dalam ajaran Buddhisme hanya, yang oleh bahasa diistilahkan,  saat kini  yang benar-benar nyata, yang demikian adanya. Sebagai kebenaran non-konvensi. Kehidupan manusia dan semua mahluk bertalian erat dengan pencarian kebahagiaan. Hidup sendiri adalah nyata adanya pada kesaatkinian terus menerus. Anda bernafas pada saat kini terus menerus, bukan tadi ataupun nanti. Maka kebahagiaan bukan ditemukan pada—apa yang dikonsepsikan pikiran sebagai—masa lalu ataupun masa depan, dalam bentuk mengembangkan harap damba kuat. Mengapa Saat-Kini ? Manusia awam mengabaikan absurditas kehidupan dengan mengembangkan hasrat harapan. Munculnya hasrat harapan erat kaitannya dengan hidup kita yang r...

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga...

6 Tokoh Berpengaruh Mazhab Frankfurt

Teori Kritis adalah istilah yang cakupannya relatif luas, luasnya cakupan bisa dilacak kembali ke asal-usulnya. Ringkasnya, ini adalah bidang filsafat yang bertalian dengan sosiologi dan studi tentang kemasyarakatan secara umum Asal-usulnya merujuk kepada sekelompok ahli teori filsafat Jerman yang membedakan Teori Kritis dari teori sosiologi umum atau yang lebih tradisional, mengingat tujuan dan terapannya. Dikenal sebagai Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School ). Ini adalah sekumpulan para intelektual dan cendekia yang hidup pada periode antara dua perang di Jerman. Setidaknya itu adalah periode bergejolak. Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis Sebutan resmi Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School) adalah Institut Penelitian Sosial. Di kemudian waktu institut ini menjadi musuh dari fasisme Jerman yang bangkit. Sebagian besar cendekianya terpaksa pergi ke luar Jerman. Sekalipun keadaan tersebut tidak menguntungkan mereka, karya yang dihasilkan oleh para aktor mazhab Frankfurt ini masih memiliki ...

Paling Pokok dalam Ajaran Buddhisme & Prinsip-prinsip Umum

Buddhisme adalah āgama (Sanskrit) atau praktik laku hidup yang didasarkan pada ajaran Siddhartha pada abad ke-5 SM di wilayah yang sekarang disebut Nepal dan India utara. Ia disebut "Buddha", yang artinya "yang terbangun". Kadang juga diartikan "yang tercerahkan". Diistilahkan  bodhi  dalam Sanskrit. Setelah ia mengalami ketergugahan Kesadaran mendalam—atau Kecerahan batin—akan hakikat kehidupan, kematian, dan kebetadaan Selama sisa hidupnya setelah merealisasi Kecerahan, Sang Buddha berkelana dan mengajar. Namun ia tidak menyampaikan ke orang-orang tentang apa yang ia sadari ketika telah tercerahkan atau tergugah. Sebaliknya, ia mengajarkan ke orang-orang bagaimana cara atau jalan merealisasi kecerahan bagi diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa kecerahan ataupun terbangun/tergugah (dari ilusi) dilakukan oleh sendiri dan muncul dari dalam diri Anda sendiri yang mengalami-langsung, bukan melalui jalan mempercayai dogma. Pada saat mangkat Sang Buddha, Buddhism...

Intisari Buku Mengenai Kelahiran Karya Ajahn Buddhadāsa

Sekalipun bukan perihal tujuan paling subtansial dari ajaran Buddhisme, menurut saya, kelahiran kembali adalah topik debateable dalam khasanah intelektual Buddhisme. Sebagai khasanah intelektual, karenanya kelahiran kembali atau kadang dipergunakan istilah "tumimbal lahir" lebih kentara penjelasannya sebagai proposisi filsafat, sekalipun Ajahn Buddhadāsa menerangkan dalam bahasa keseharian awam. Ajahn Buddhadāsa dalam seri nomor empat dari satu set buku Seri-seri Dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami ini menerangkan bahwa yang dimaksud kelahiran adalah "kelahiran mental", atau dalam istilah saya adalah keterusmenerusan bereksistensi (mengada), suatu rasa sadar bahwa ini aku dan selainnya bukan aku . Intisari Buku Dari pembacaan buku, berikut kiranya dapat disarikan dari pembacaan buku ini dalam sajian poin-poin paragraf. Pertama . Dari sudut historis dan kultural, Ajahn Buddhadāsa di awal buku menerangkan bagaimana pandangan spekulatif filosofis dan kultural orang...

8 Alasan Orang Memegang Agama-Kepercayaan

Ada banyak yang tak disadari seseorang yang percaya pada kepercayaan agama. Dalam mempraktikkan agamanya, banyak orang menemukan kenyamanan dan pelipur dari kenyataan hidup yang tak pasti. Ada alasan lain mengapa mereka tertarik pada keyakinan yang mereka praktikkan. Bagi kebanyakannya, kepercayaan adalah bagian dari pola asuh yang didapat seseorang di masa kecil dan mereka ketika dewasa melanjutkan tradisi yang diwarisi dari keluarganya itu. Kepercayaan memainkan peran penting pula dalam budaya karena berbagai alasan. Diindoktrinasi ke dalam Agama Tertentu Kuatnya dan terus menerusnya seseorang diindoktrinasi ke dalam agama tertentu menunjukkan bahwa orang mempercayai agamanya karena itulah yang terjadi pada mereka umumnya. Terutama oleh lingkungan keluarganya. Ini pula alasan mengapa anak dari keluarga beragama A mayoritasnya akan tetap pada agama A dewasanya, begitu juga yang beragama B. Diperkuat pula oleh lingkungan sekitar dari yang agak dekat hingga lingkungan umum di mana ia be...

Kunci-kunci Membaca Filsafat Anti-Natalis Benatar

Buku berjudul  Better Never To Have Been—The Harm of Coming to Existence (Oxford Press: 2006), kira-kira, agar mengena, bisa diterjemahkan "Lebih Baik Tak Lahir—Penderitaan Sebab Mengada", adalah buku menarik dan kontroversial. Ia mengusik hasrat alamiah mendasar spesies, mengusik hasrat manusia paling mendasar: memperbanyak diri atau berkembang biak. Buku ini adalah buku kontroversial, tetapi argumen Benatar adalah logis. Siapa Dia yang Mengusik Naluri Paling Mendasar Kita? Benatar adalah filsuf abad 21 yang corak filsafat eksistensialnya pesimistik, seperti halnya Arthur Schoupenhauer. Bisa pula dikategorikan nihilisme. Ia bukan saja membentangkan bangunan filosofisnya, tetapi, seperti kebanyakan kefilsafatan kontemporer berdiri sebagai "penafsir data-data saintifik", setelah memaparkan data dan gambaran prediktif, yang secara umum adalah melonjaknya penderitaan sebab meningkatnya populasi, ia juga mengajukan cara bagaimana agar populasi terbebas dari kemengadaan...