Ditanya, Apakah Buddhisme melarang memakan hewan? Dan apakah memakan hewan itu berpengaruh ke spiritual kita? Saya pribadi bukan Buddhis kultural. Saya memperlakukan ajaran bukan sebagai identitas sosial tetapi kebutuhan personal bagaimana hidup di dunia ini saat ini, mengambil yang dibutuhkan dan "membiarkan" sisanya. Saya mengadaptasinya untuk kebutuhan spirit personal. Apa yang tertulis setelah ini hanya opini pribadi. Jika ada yang baik, ambillah. Jika tak ada, ya anggap angin lalu.
Kenyataan Kerja Alam
Amati dan perhatikan kenyataan sekitar. Fakta telanjang adalah kehidupan di Bumi ini terdesain saling memakan untuk mendapatkan energi. Mengapa demikian, itu dimungkinkan karena kesamaan moyang, the last universal common ancestor (LUCA). Dari pemahaman ini pula kita menyadari bahwa kita tiada beda dengan apa pun, apa pun. Bahkan jika diselami lebih jauh, semua yang dipersepsikan kita seolah berbeda dan terpisah satu sama lain sejatinya bersumber pada hal sama. Anggapan bahwa semuanya disediakan oleh sosok ajaib untuk manusia—yang sebenarnya hanya gema dari watak ilusif antroposen—adalah anggapan orang mengidap delusi. Maaf.Anggapan ilusional antroposentrisme (beresonansi terhadap ajaran Buddhisme tentang delusi akan keakuan/ego atau "atta" atau keterpisahan hal-hal) adalah satu dari sekian sebab abai terhadap keberlangsungan keseimbangan ekosistem dan munculnya watak loba—hasrat keinginan kuat akan sesuatu karena mengira itu satu-satunya cara menciptakan rasa aman nyaman dan damai batin.
Manusia purba moyang kita dulu bukan top level dalam rantai atau piramida makanan. Baru ketika mampu mendomestikasi api, perlahan berkembang. Termasuk skil berburu dan kemampuan menciptakan alat-alat penunjang hidup dari batu kemudian logam. Dan sekarang teknologi. Dengannya, kehidupan yang mengisi samudera pun bisa dikeruk. Ini alenia penting bagian ini tentang watak ilusif antroposen dan ilusi atta.
Veganisme dan Welas Asih
Sekalipun dulu saya pernah vegan alamiah hingga usia 20 tahun, setahu saya tak ada nasihat menjadi vegan oleh Guru Gautama. Beliau, sependek saya memahami, mengajarkan cinta kasih (metta) dan welas asih (karuna) bukan sebatas ke kelompok saya semisal yang seagama, sesuku, seras, senegara, dan seidentitas-seidentitas konvensional lain. Bukan saja sebatas sesama spesies kita yaitu manusia, bahkan melampaui itu. Welas asih ke semua yang bisa merasakan takut, menderita, tertekan emosional, tertindas, terancam, teraniaya. Inilah dukkha.Bertumbuhnya kualitas empati dan simpati seseorang ini didahului oleh diri menyadari diri terlebih dahulu. Sebab Buddhisme, hemat saya, bukan ajaran berkutat pada perintah otoritas ektsernal: kamu harus begini, kamu jangan berbuat begitu, kamu harus menjalankan ini, melakukan ini kamu diganjar demikian. Tidak ada moralitas dalam hal demikian, tidak ada nilai pendidikan dalam hal demikian, sekedar kepatuhan buta. Anda harus menjadi manusia yang berkembang dalam hal budi. Anda harus tahu dan sadar alasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bersumber dari kesadaran internal. Ajaran Guru, saya kira, dimulai dengan menggugah seseorang untuk menyadari dirinya dan dari sana moral intrinsik otomatis bangkit dan berkembang.
Jika diperhatikan dan direnungkan semua yang dalam dirinya memiliki kesadaran meski levelnya berbeda-beda tidak ingin mengalami rasa takut, cemas, teraniaya, terancam, tertindas, dsb. Menyadari hal ini tak ingin terjadi pada diri Anda adalah modal terasahnya empati dan simpati kita. Tak perlu perintah otoritas eksternal—karena Anda bukan anak kecil lagi untuk berbuat sesuatu atau tidak harus dikasih iming-iming—untuk menaruh kewelasan pada mahluk apa pun: manusia atau hewan lainnya.
Konklusi
Jadi, nilai spiritualitasnya terletak bukan perihal membunuh dan memakan hewan apakah mengganggu pertumbuhan spiritualitas atau tidak. Sebaliknya, dengan bangkitnya batin dari ilusi antroposen otomatis akan disusul timbulnya cinta kasih dan kawelasan dalam diri ke apa saja yang sejauh kita tahu dapat merasakan dukkha. Semua mahluk dicirikan kesamaan ini.
Walau begitu, menurut saya, Anda tak perlu memaksa orang lain melakukan apa yang telah menjadi level kesadaran Anda karena tingkat kesadaran, empati dan simpati, cinta kasih dan kawelasan, itu berbeda. Demikianlah. Pun keniscayaan kehidupan di Bumi berjalan saling memakan untuk mendapat energi. Artinya, Anda di sini berlatih menyeimbangkan dua kutub yang kontradiksi: keniscayaan jalannya alam yang demikian versus moralitas intrinsik yang tumbuh berkembang dalam diri Anda. Di titik silang inilah sifat bijaksana.