Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis.
Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya.
1/ Dikira kepercayaan monoteisme
Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perhatian dan disanjung-sanjung, dst. Buddhisme unik, berpusat pada mengamati dan menyelami diri, untuk menyudahi dukkha. Inilah ajarannya paling fundamental.
2/ Dikira kepercayaan yang berfokus setelah mati
Banyak yang mengira bahwa agama Buddha berfokus pada setelah kematian. Jangankan setelah mati, yang tadi dan nanti adalah iilusi. Dalam arti hanyalah konsep pikiran, tidak nyata sebagaimana adanya. Buddhisme adalah agama laku urip yang menekankan sebelum kematian, artinya bagaimana kita menghidupi kehidupan ini, mengisi dan menjalaninya dengan kebahagiaan dan kebijaksanaan (melepas). Lebih tepatnya, sekarang-kini & di-sini. Mengisinya dengan hal-hal baik, baik untuk diri sendiri dan orang lain. Baik ke diri sendiri terutama pada aspek batiniah, lainnya kehidupan praktis karena kita hidup non-monastik.
Tak mungkin orang mampu memendarkan suasana kebahagiaan kehadirannya dan apalagi menolong orang lain selama ia sendiri batinnya masih menderita.
Waktu (kala) adalah kebenaran konvensi, alias konsep yang kita semua setujui, kebenaran intersubjektif. Apa yang terjadi pada waktu ke depan sebagiannya dipengaruhi karma anda waktu ini, maka fokuslah pada sekarang kini di sini. Mengapa yang nanti anda pusing pikirkan nemen-nemen ketika itu adalah efek rentetan dari sekarang? Demikian agama penyadaran Dharmik, berbeda dengan agama kepercayaan Semitik.
3/ Dikira penyembah dan pemuja sapi
Ada yang mengira bahwa Buddhis menyembah sapi. Tepatnya, Buddhisme mengajarkan untuk mengembangkan kawelasan ke apa saja, bukan saja ke manusia, yang dengan pengamatan mata telanjang saja, kita mudah menebak bahwa mahluk-mahluk itu seperti halnya kita yang bisa merasakan takut, terancam, tertindas, teraniaya, menderita, tersiksa, dst. Inilah karuna.
4/ Dikira mempercayai kekekalan roh dan reinkarnasi
Banyak non-Buddhis mengira bahwa reinkarnasi adalah ajaran Buddhisme. "Reinkarnasi" secara etimologi adalah berpindahnya roh ke wadah atau tubuh baru ketika tubuh lama rusak. Padahal, jangankan roh, "aku" saja dalam doktrin (bukan dogma) Buddhisme hakikinya adalah tak ada. Hanya kebenaran konvensi. Lalu, siapa yang pindah ke wadah atau tubuh baru?
Memang, menjelaskan hal ini tidak mudah bagi siapa saja yang mengira kesadaran eksistensi (istilah mereka disebut "arwah" atau "roh") adalah kekal sekalipun wadah rusak. Ini sulit diterima orang yang nggak familiar dengan Buddhisme tentang maksud anatta (tiada-diri/tiada-aku").
Rebirth, demikian istilah dalam Inggirs digunakan untuk membedakan dengan reincarnation, dipadankan tumimbal lahir dalam istilah Indonesia, yang bisa dipahami dalam dua cara: (i) menggunakan perancah filosofis dan (ii) kebenaran saintifik.
Untuk yang pertama. Kata "lahir" dalam tumimbal lahir beresonansi dengan eksistensialisme, yaitu merujuk "aku ada yang ini dan itu dia atau mereka atau bukan aku" ketika anda terjaga dan melek. Ketika anda tidur tanpa mimpi, anda tidak bereksistensi alias tidak lahir, anda sekedar being (ada). Seperti bayi yang baru saja lahir, belum bereksistensi, sekedar ada sebagai dirinya sendiri. Seperti halnya batu, debu, tonggak kayu, dan kotoran ayam. Buddhisme menyikapi ini dengan mengatakan bahwa kesadaran merasa aku eksis mandiri adalah ilusi. Ini berkaitan paticcasamuppada (kesalingtergantungan, kemunculan bersebab, interbeings, interconectedness), "Ini menjadi ada karena itu ada". Untuk mendalami setidaknya secara ide, bisa dibaca dalam Milinda panna pada bagian dialoog antara Banthe Nagasena dengan Raja Minander I Soter (Milinda) tentang kereta.
Jangankan benar eksis mandiri, kesadaran atau gampangnya kelebatan pikiran itu berubah sepersekian detik. Tadi adalah kelebatan ini, kesadaran sekarang berubah itu. Bagaimana yang selalu berubah adalah aku? Bahkan kita di pikiran orang yang senang ke kita akan berbeda dengan kita di pikiran orang benci kita. Lalu kita itu yang mana?
Kamu hanya mengada dalam pikiran, bukan ada sebagai kenyataan apa adanya.
Untuk yang kedua. Secara saintifik sudah terbukti bahwa tubuh (rupa) hanyalah siklus dan proses organis. Anda makan daging kambing, terus asupan itu menjadi zat-zat penyusun rupa anda. Ini namanya mekanisme organis. Gampangnya, dapat diucapkan kambing sekarang menjadi kamu, menjadi penyusunmu. Tinjamu keluar, dimakan lele. Lele digoreng dan dimakan orang, kepalanya dibuang dan dimakan kucing. Semua hanyalah siklus. Tiada roh, tiada aku, semata siklus. Apakah yang demikian adalah keyakinan atau kerpercayaan?
5/ Dikira Guru Sakyamuni adalah Tuhannya Buddhis
Banyak yang mengira Sang Buddha adalah Tuhan. Buddhisme tak mengenal Tuhan Personal dengan deskripsi begini dan begitu, yang kita gambarkan bisa marah-marah dan tersipu-sipu jika diperhatikan dan disanjung-sanjung via ritual. Apa saja yang bisa dideskripsikan bukanlah mutlak. "Mutlak" sendiri adalah istilah yang kita pakai, jika tidak hati-hati kita bisa terjebak paradoksnya, terjebak konsepsi.
Apa yang Buddhis sebut "tuhan" atau "gusti" adalah tak terdefinsikan, tan kena kinereka tan kena kinaya ngapa. Gampangnya, apapun gambaran di pikiran kita, bukan. Tak bisa disebut ia, kamu, aku, ini, atauoun itu. Mutlak, demikian kita istilahkan secara bahasa. Alasan mengapa Buddhis ditekankan untuk berlindung pada karma sendiri. Menjadikan karma sebagai penolong. Inilah pelindung dan penolong hakiki masing-masing dari kita.
6/ Dikira ekspansioner merekrut massa sebanyaknya—bukan, Buddhisme āgama laku sunyi
Buddhisme karena berfokus pada bagaimana seseorang menjalani hidup dalam kesekarangan nan bahagia dan penuh kebijaksanaan, dengan sendirinya menjadikan āgama ini bukan ekspansioner dan tidak agresif menarik sebanyak-banyak orang menjadi massa pengikut. Secara sosial adalah pasif.
Ibarat obat, Buddha Dharma (sebutan lain ajaran Sang Buddha) tak memaksa anda meminumnya sekalipun anda sakit, jika tak tergerak oleh diri anda sendiri.
Anda tidak perlu khawatir kehilangan pengikut. Ini bukan ajaran mudah. Bahkan seorang romo halus menolak saya untuk menjadi siswa Guru Buddha Sakyamuni secara administratif, mengubah kolom KTP.
Apalah guna menjadi siswa Guru Buddha Sakyamuni jika tidak menemukan nektar ajarannya? Apalah guna menarik pengikut jika hanya menjadikan mereka merusak sesuatu yang mulia dan mereka tidak menemukan Kebahagiaan Sejati untuk dirinya sendiri, untuk mengarungi kehidupan ini.
Dari perspektif Buddhis, setiap orang seyogyanya mencari dharma-nya sendiri, kebahagiaannya sendiri. Malah tidak disarankan menjadi pengikut buta asal percaya, ngelmu jaré. Hingga menemukannya yang pas. "Yang pas" sudah pasti membuat anda tak dibingungkan suka-duka, senang-sedih, cinta-benci, pengeluan-penolakan, dll., dalam kehidupan ini. Anda berdiri di atas dualitas emosional.
Kamu bertanggungjawab atas kebahagiaan hakikimu sendiri, kamu-lah satu-satunya yang harus menemukan untuk dirimu sendiri, tiada pihak lain, termasuk yang pikiran anda imajinasikan si maha pemberi, bisa memberimu nyoh.
Memilih Buddhisme adalah menjadi pencari (the seeker), bukan menjadi penganut (the followers) buta begitu saja.
Penutup
Masih banyak lagi kesalahpahaman, yang ketika menulis ini, aku lupa. Mempelajari hal baru memang tidak bisa menggunakan perspekktif tunggal atau kacamata kuda, misalnya memotretnya dengan apa yang ada di pikiran anda sekarang dan harus. Anda harus menanggalkannya sejenak agar ada ruang menelaah, mempelajari hal baru. Dengan kata lain, demikianlah yang disebut berani berpikir terbuka. Semoga menjadi sedikit gambaran.