Ini adalah seri nomor tiga dari satu set Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami oleh Ajahn Buddhadāsa (1906–1993). Diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharma pada 2024. Berdimensi 12,5 cm x 18,5 cm dan berketebalam 44 halaman.
Buku ini membahas tentang pentingnya hidup dalam kesaatkinian, karena dalam ajaran Buddhisme hanya, yang oleh bahasa diistilahkan, saat kini yang benar-benar nyata, yang demikian adanya. Sebagai kebenaran non-konvensi.Kehidupan manusia dan semua mahluk bertalian erat dengan pencarian kebahagiaan. Hidup sendiri adalah nyata adanya pada kesaatkinian terus menerus. Anda bernafas pada saat kini terus menerus, bukan tadi ataupun nanti. Maka kebahagiaan bukan ditemukan pada—apa yang dikonsepsikan pikiran sebagai—masa lalu ataupun masa depan, dalam bentuk mengembangkan harap damba kuat.
Mengapa Saat-Kini?
Manusia awam mengabaikan absurditas kehidupan dengan mengembangkan hasrat harapan. Munculnya hasrat harapan erat kaitannya dengan hidup kita yang rentan. Kerentanan psikis kita muncul bermula dari mekelekati anggapan si-aku adalah nyata ada riil mandiri.
Kegelisahan dan semua jenis emosional kita adalah problem purba, bermula karena si-aku tadi. Bahkan fenomena mental demikian sudah dirasakan manusia sebelum Sang Buddha keluar dari rahim ibundanya. Secara emosional, hidup pada akhirnya mirip orang di lautan lepas dihempas ombak kian kemari, sesekali mampu menyembulkan lubang hidung ke atas air dan seringnya tenggelam lama. Sesaat menyembulkan lubang hidung ke permukaan kembali, kemudian tenggelam lagi untuk beberapa lama. Ini terjadi pada awam hingga ajal.
Sejak kecil kita dididik di rumah maupun di sekolah untuk memancang hasrat harapan untuk dicapai, digenggam, diraih dan direngkuh di masa depan, yang diyakini sebagai segel kebahagiaan. Bahkan diindoktrinasi untuk meraih sesuatu setelah mati, berupa imajinasi yang mudah kita lihat hanyalah alter ego hasrat terdalam kita semisal kesenangan seks, kesenangan atas makanan dan minuman, dan tempat nyaman, dan imajinasi-imajinasi hasratiah hedonistik lain, sebagaimana ditawarkan narasi-narasi keimanan.
Ironisnya, kehidupan yang kita alami seringnya menggencet psikis, karena tak bersesuaian dengan hasrat manusia menghadapi silih ganti kondisi dan peristiwa yang kebanyakannya dipersepsikan tidak enak secara emosional, menghimpit, tidak sesuai angan. Semuanya ini diterima pikiran ataupun batin dengan mengembangkan harapan-harapan di masa depan. Hasrat menjumpai diri pada "hidup di masa depan" seringnya mendatangkan problem psikologis oleh adanya gap kenyataan dengan apa yang diidamkan hasrat pikiran. Dikatakan oleh Ajahn Buddhadāsa:
Memberikan perhatian pada momen kekinian adalah cara benar untuk hidup (h. 2).
Manfaat Praktis Hidup dalam Kesaatkinian
Tak ada yang salah dengan keinginan sebagai manusia, terlebih sebagai non-monastik. Akan tetapi seringnya kita terjerembab ke dalam ketidakbahagiaan disebabkan oleh hal-hal demikian. Bahkan setelah kita meraihnya, muncul kepuasan atau kesenangan sesaat untuk kemudian rasa itu berubah yang tak urung malah menderitakam batin, ringan ataupun malah akut. Ini karena kita tidak mengenali cara kerja pikiran kita senagai mahluk hasrat.
Manfaat melatih pikiran untuk hadir sepenuhnya (mindful) terhadap apa saja yang kita lakukan atau dimana tubuh kita berada di sekitar suatu tempat adalah apa yang disebut praktik hidup pada kesaatkinian—saat kini & di sini.
Hidup pada kesaatkinian sendiri erat kaitannya dengan praktik laku hidup yang samādhi (Jawa: urip samadhio). Nibbana sesekali yang bisa ditembusi di kehidupan ini hanya dimungkinkan terjadi bukan di masa lalu ataupun masa depan.Penutup
Hidup nyata hanya tersedia pada saat kini di sini, begitu pula kebahagiaan yang Sejati, kokoh, dan langgeng. Kesaatkinian adalah praktik memgarahkam pikiran untuk hadir pada setiap pekerjaan atau momen dimana tubuh berada di situ, untuk tidak tersesat mengembara dari yang sejati nyata. Demikian cara pikir laku kebijaksanaan hidup masyarakat Asia bagian timur. Aaing bagi siapa saja yang sedari kecil telah mwngadopsi gaya filsafat Barat, umumnya gagal membedakan mana nyata dan mana hanya konsepsi pikiran.