Langsung ke konten utama

Tindakan Religius: Ekspresi Budaya, Coping Mechanism, dan Korupsi

Ini buku membuka wawasan lebih jauh mengenai neurosains dan, alih-alih spiritualisme, fenomena tuhan antromorfis. Berjudul 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝘖𝘵𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢. Beliau memakai kata "𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺" pada judul buku. Membincangkan hubungan spiritualitas dengan kesehatan dan kedokteran. Namun rasa-rasanya ada yang belum jernih dikupas beliau mengenai istilah spiritualitas dengan religiusitas.


Penjernihan Istilah

Religiusitas terekpresikan dalam bentuk tindakan religius. Tidak semua tindakan religius ada hubungannya dengan spiritual dan apalagi spiritualisme, yaitu bertalian pertumbuhan batin seseorang menjadi longgar tiada beban dan berangkat dari itu ia berkembang menjadi baik, entah kepada diri sendiri dan efek lanjutannya atau fudhlah-nya kepada sesamanya dan mahluk lain. 

Religiusitas yang terekspresikan dalam tindakan religius sebagian besarnya adalah sekedar ekspresi budaya. Sekedar tradisi.

Kebingungan arti persis religius dan spiritual adalah jawaban mengapa, seperti yang dibingungkan penulis, orang religius tetap terlibat korupsi. Sekalipun dua istilah ini ada irisan, beliau kebingungan membedakan antara religius yang terekspresikan ke pola tindakan religius dengan spiritual.


Religiusitas dan Tuhan-Persepsi

Pada Pendahuluan, Taufiq Pasiak menulis begini.

Jika kita membaca teks tentang Tuhan dalam sebuah kitab suci, maka yang ada di benak kita adalah 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘀𝗶 kita tentang Tuhan. Patut diingat, 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘀𝗶 𝗶𝘁𝘂—sepintar apapun kita—𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 (xxix).

Jika anda masih kesulitan memahami dimaksudkan "persepsi" oleh penulis, gambaran mudahnya begini. 

Umpama kita melihat semisal batu bueeesssaaarr suekali, apa yang muncul di pikiranmu itu bukanlah objek itu sendiri. Jika yang di pikiranmu adalah batu besar itu sendiri, ndasmu pasti cemét, polomu semburat bertebaran kemana-mana di tanah, bukan? 

Atau, seumpama muncul ingatan terhadap sosok seseorang, itu pun bukan orang itu, tetapi sekedar ingatan yang termemori di dalam sinaps otak anda. Begitu juga yang beliau katakan tadi, apapun model yang muncul di pikiranmu tentang tuhan yang begini dan begitu, itu tiada lain sekedar imajinasimu.

Singkatnya, apa pun yang muncul di arus pikiranmu adalah... apalagi kalau bukan... pikiranmu semata? Ini maksud beliau dengan kata "persepsi" tadi.

Aneh. Walau sudah tegas menyatakan begitu, beliau dalam redaksi lain bilang bahwa  beliau termasuk yang percaya tuhan. "Percaya" adalah pernak-pernik pikiran. Untuk begitu butuh objek ataupun pengandaian objek. Percaya, seperti halnya opini dan khayalan, itu kerja pikiran. Pikiran beliau rasa-rasanya belum mampu mengenali dirinya sendiri. 

Secara spiritual, 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢. 


Tindakan Religius sebagai Ekspresi Budaya

Religiusitas seseorang terekspresikan dalam tindakan religius; Tidak semua tindakan religius ada hubungan dengan spiritual. Tindakan religius yang dilakukan seseorang kebanyakan semata adalah ekspresi budaya atau tradisi. Tidak terkecuali tindakan religius yang dilakukan oleh koruptor religius.

Salah satu Kata Pengantar-nya adalah Busro Muqoddas, mantan KPK. Ia menyinggung soal perilaku korupsi dan kaitannya dengan struktur otak pelaku. Menanggapi hal itu, Pasiak dalam bab Pendahuluan menulis berikut.

Saya tidak tahu apakah pemeriksaan yang selama ini dilakukan terhadap pejabat-pejabat kita tidak berhasil mengetahui bagaimana mereka memanifestasikan spiritualitas dalam kehidupan mereka. Sehingga, meskipun mereka lolos dalam pemeriksaan yang selama ini dipakai, kemudian terbukti bahwa saat berkuasa, mereka tetap melalukan korupsi dan kejahatan (xxxvi).

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan mengapa orang religius tetap saja korupsi, sebagaimana kebingungan penulis buku, kita pertama-tama seyogyanya tahu apa itu religiusitas yang dikenali dalam pengekspresiannya melalui tindakan religius dan apa itu spiritual.

Religiusitas utamanya dicirikan tindakan-tindakan formal bersifat baku dan dilakukan ajeg berkala semisal njlengkat-njlengkit 5 waktu, puasa Ramadan, jlengkat-jlengklit tarawih, muter kecik disunduki benang sambil merapal kata-kata berulang dalam jumlah tertentu, genjrang-genjreng nyanyiin lagu yang kamu sebut kidung pujian, pergi ke masjid atau vihara atau gereja yang sifatnya rutinan seminggu sekali, ataupun tindakan-tindakan lain sejenis dari orang-orang yang mengasosiasikan diri kepada itu. Bahkan perayaan Natal, Idul Fitri, Waisak, dan hari-hari penting keagamaan hanyalah bagian dari kebudayaan. Tiada beda dengan memperingati hari berdirinya negara atau mengenang peristiwa tertentu.

Pahami ini. Tidak semua tindakan-tindakan religius berdimensi atau ada hubungannya dengan spiritualisme, yaitu metode bagaimana ruhaniah atau kejiwaan atau batiniah  benar-benar terbebas keluar dari tegangan sepenuhnya purna, bukan sekedar temporer. Kebanyakannya hanyalah ekspresi budaya.

Gambaran mudahnya begini. Saya dulu sering pergi Jum'atan ya tak ada efek apa-apa setelah pulang, hambar. 

Mengapa begitu? Ya karena anda menjalani tindakan religius ini sekedar dalam term "budaya" atau "tradisi". Anda dari kecil dibiasakan itu. Itu sekedar rutinitas yang menjadi tradisi. Apa yang saya lakukan itu tak ubahnya anak keluarga Kristen dilatih disiplin ke gereja tiap minggu sekali. Atau anak keluarga Yudaisme rutin mingguan ke sinagog.


Tindakan Religius sebagai Sarana Pelarian dari Tegangan Psikis

Spiritual adalah semua hal yang berkaitan spirit/psikis/mental/ruhani/jiwa/batin. Secara meluas bisa diartikan sebagai sebuah dorongan instingtif psikologis atau mental atau ruhani atau spirit atau batin mengelola dirinya sendiri dan keluar dari tekanan dan tegangan ketika anda dihadapkan kenyataan tertentu kehidupan yang mana kenyataan itu menghadirkan (i) gangguan berupa tekanan dan ketegangan psikis.

Sebagai contoh. Saya punya kawan dan  tetangga di Jawa dulu, usia hampir sebaya. Ia sukses sebagai pemborong proyek bangunan. Rumah, mobil, uang ada, dan kesenangan lain semisal mangku purel bisa diakses dengan sumberdaya ia miliki. Artinya, akses terhadap kebutuhan dasar (basic needs) telah terakses dan—perhatikan kalimat berikut ini—hasrat keinginan sensorik bisa ia akses karena adanya sumberdaya riil.

Singkat cerita roda berputar. Ia yang dulu sebut saja hedon ujug-ujug tanpa ada yang menyulap berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang yang gemar menyambangi patokan kuburan wong mati (orang awam menyebut kuburan wali dan sejenis), ke pengajian gedek-gedek ora jelas, dan tindakan religius lain. 

Mengapa demikian? Tindakan religius adalah sarana menciptakan kompensasi psikologis dalam dirinya, sebagai sarana pelarian psikologis yang tertekan yang muncul karena total hasrat tidak berkorelasi dengan jumlah ketersediaan sumber daya penebusnya.

Pola perilaku demikian terjadi pula pada diri orang yang (ii) dalam dirinya muncul ketidaknyamanan disebabkan kenyataan dijumpai tak bersesuaian hasrat. Misalnya, ibu saya yang tiba-tiba rajin melalukan tindakan religius, yang umumnya kita menyebut "berdoa", ketika saya bilang keceplosan bahwa saya tak peduli allah ada atau tidak, tak ada gunanya bagi kenyataan hidup saya. "Tidak ada gunanya" dengan kata lain, bahagia (ayem batin) atau tidak, bahkan perihal tercukupi kebutuhan dasar atau tidak, tak ada hubungannya dengan allah—atau tuhan antromorfis. ("Atta hi attano nato atta hi attano gati").

Perubahan perilaku menjadi religius ini yang dipicu oleh gap antara hasrat dengan kenyataan, berlaku pula pada orang yang terhimpit kebutuhan material dasar. Mereka seringnya kita jumpai juga berperilaku begitu, dicirikan meningkatnya intensitas melakukan tindakan religius. Tentu saja kebutuhan dasar kita tidak jatuh dari langit hanya dengan merapal kata-kata, melainkan dengan memahami kerja-kerja jaring ekonomi yang secara tak kasat mata kita tidak lepas dari jaring itu dan kemudian bergerak menolong diri sendiri. Berdoa itu sendiri adalah sarana pelarian psikologis bagi orang terhimpit kebutuhan hidup. Tak ada tantangan atau persoalan praktis hidup yang selesai dengan berdoa.

Tindakan religius pada momen yang saya contohkan tadi berdimensi atau ada hubungannya dengan spiritual—atau persisnya sebagai "mekanisme pelarian psikologis" atau "cara menciptakan kompensasi psikologis" walau sifatnya temporer. Hanya soal tentang bagaimana batin/ruhani/psikis/spirit melepaskan diri dari tekanan dan tegangan mengganggu. Ini dikenal dengan istilah coping mechanism. 

Tindakan religius yang dilakukan orang ketika menghadapi kondisi demikian ada hubungannya dengan spiritual, walau sifatnya temporer dan tidak lebih menipu diri.


Tindakan Religius Menjadikan Orang Baik?

Selain berdimensi budaya, religiusitas yang terekspresikan dalam tindakan religius memiliki dimensi spiritual, memang. Persisnya sebagai sarana pelarian psikologis ketika hasrat muncul tak terjembatani terhadap kenyataan. Pelarian yang sifatnya temporer.

Isu korupsi adalah isu pelik dan multidimensi, bisa dikaji dari banyak aspek. Perilaku koruptif pasti ada korelasinya dengan budaya. Kebudayaan paling inti adalah cara pandang yang  membentuk alam bawah sadar kolektif sekelompok orang dalam lingkaran kebudayaan itu. Cara pandang atau kadang disebut falsafah hidup bertalian kualitas spirit dan spiritualitas individu-individu dalam kelompok kebudayaan itu secara general. 

Ditinjau dari sini, secara kejiwaan/spirit/batin fenomena koruptor—dan bahkan kita sebagai orang yang berbagi kualitas spirit dengan para koruptor yang juga besar kemungkinan akan melakukan hal sama jika ada kesempatan dan karena habitat sistemik berisi orang-orang dengan kualitas spirit tadi tidak dipungkiri akan menyeretmu karena tak kuasa dilawan dan apalagi kamu tak mengenali hasratmu maka kamu lebih rentan melakukan itu—tidak bisa lepas dari kebudayaan.

Terkait kebingungan penulis, sampai sini dapat kita pahami, mengapa orang religius kok tetap korupsi. Jawabannya adalah, religiusitas tak ada hubungannya dengan bagaimana seseorang bertumbuh dan berkembang menjadi baik. Tetapi, sebagaimana kesalahan berpikir penulis buku yang saya baca ini, semata sarana pelarian psikologis ketika ada gap antara hasrat diri dengan kenyataan.

Masalah korupsi berakar pada budaya. Budaya fondasinya adalah alam bawah sadar kolektif. Kualitas general alam bawah sadar kolektif itu berkaitan kualitas spirit. Artinya, harus ada koreksi kebudayaan, revolusi kebudayaan. Tanpa koreksi kebudayaan, sampai mampus 1000 kali pun sekelompok manusia yang terikat kebudayaan sama, atau kadang disebut bangsa, itu ya tak akan berubah. Selamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Harmoni Dengan Segala Kehidupan Karya Eckhart Tolle

Buku ini diperhatikan bab-babnya berisi beberapa topik yang di awal-awal menyampaikan perihal kesaatkinian dan korelasinya adalah pelampuan gagasan yang mana meliputi gagasan waktu dan gagasan keterpisahan perihal ilusi eksistensi atau aku terpisah mutlak dari keberadaan lainnya ( atta ), kemudian topik diakhiri perihal "harmoni dengan segala kehidupan", yang dalam bahasa sederhana saya adalah: yang biasa dikira aku sejatinya adalah elemen tiada terpisah dari alam semesta. Anda adalah alam semesta itu sendiri.  Secara sistematis, bab-bab secara serial mengarahkan pembaca kepada kesadaran—apa yang diistilahkan Tolle sebagai—"ruang internal". Sebab di sanalah sumber keberhidupan dan arah tepat pencarian kebahagiaan, ketenangan batiniah. Itu muncul ketika konsepsi aku padam—tidak membersit pada pikiran Anda. Dengan kata lain, Anda menjalani, melakukan, menghadapi yang saat-kini Anda di situ dengan mode pikiran intuitif. Gaya Kebahasaan Gaya pengungkapan keb...

Orang Ewe dan Agama Kepercayaan Tradisionalnya

Orang Ewe bisa dijumpai di  Ghana, Togo, dan Benin. Semuanya adalah negara-negara di bagian barat benua Afrika. Populasi terbesar mendiami Ghana. Tradisi dan kepercayaanya banyak dipengaruhi kebudayaan orang Akan dan Yoruba. Bahasa ibu orang Ewe termasuk rumpun Gbe. Orang Ewe terbagi menjadi klan-klan, tetapi menurut cerita lisan dikatakan berakar pada garis leluhur yang sama. Sistem kepemilikan properti adalah komunal, tidak menganut kepemilikan properti secara individu. Asesedwa , kesenian kayu menyerupai bangku, sangat esensial dalam tradisi Ewe. Karenanya, hal itu dibuat dan diukir sangat hati-hati. Dalam ukiran benda tersebut kaya narasi mengenai klan bersangkutan. Dalam ritual, Asesedwa merupakan media yang berfungsi sebagai tempat memanggi roh leluhur. Asesedwa. Menurut cerita turun temurun, asal-usul mereka berasal dari Kotu/Ketu atau Amedzowe, terletak di sebelah timur Sungai Niger. Kira-kira pada 1500, leluhur mereka bermigrasi ke Notsie, Togo. Pada mulamya, migrasi merek...

Dua Kelahiran (Sebuah Esai Kontemplatif)

Kita kerap disuguhkan bahwa lahir, menua, kemerosotan fisik atau sakit/penyakitan, dan kemudian kematian adalah Penderitaan ( dukkha ). Bahasa sehari-harinya, kita sering kali tidak rela ketiga peristiwa akibat dari dilahirkan tadi menimpa kita dan orang-orang terdekat. Keempat fenomena alam tadi masuk klasifikasi penderitaan disebakan jasmani.  Ada klasifikasi penderitaan lainnya: bersama yang tak disenangi/dicintai, berpisah ataupun kehilangan yang disenangi/dicintai, dan terakhirnya adalah tidak memeroleh apa yang dihasratingini/dinafsui. Saya istilahkan penderitaan disebabkan oleh kemampuan mengada yang darinya muncul kemampuan mengingini (mengidealkan dunia kita alami). Mohon diingat. Ini adalah tulisan bersifat kontemplatif dan ini rasa-rasanya tak ada dalam pengajaran naratif Buddhisme arus utama. Sekedar hasil perenungan dan proses memperjelas istilah yang bagi penulis cukup membingungkan mulanya   Mengapa Kita kerap Alami Suasana Batin Tak Nyaman Kita secara emos...

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga...

Refleksi Novel Buddha Sebuah Novel-nya Deepak Chopra

Ini adalah novel berjudul sama kedua aku beli, untuk koleksi. Kadang, saya membacai ulang bagian yang menyimpan pesan ajaran, yang perlu kita bacai seksama dan mengontemplasikannya. Salah satu novel yang berkontribusi kepada diriku tentang, setidaknya secara pemahaman, apa yang dikehendaki dari tiada aku ( anatta ), atau aku ( atta ) yang sekedar ilusi alias tidak hakiki atau bukan sejatinya aku. Si  aku  hanya konsepsi bentukan mental. Dok. Pribadi. Anatta adalah satu dari tiga Ciri Universal Keberadaan ( Tilakkhana ). Dua lainnya adalah impermanesi atau dalam pemahamanku bahwa semua hal mengalami perubahan tanpa ujung (anicca) dan berikutnya adalah penderitaan atau tidak memuaskan (dukkha) yang dalam pemahaman sederhanaku adalah semua susunan yang memiliki atribut mental mengalami ketidakpuasan dan penderitaan (dukkha). Pengalamanku, menyadari anatta adalah poin krusial dalam ajaran Sang Buddha. Secara alamiah untuk terjadinya transformasi psikis yang setelahnya kelegaan yan...

𝙀𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙡𝙖𝙣 𝙒𝙖𝙨𝙥𝙖𝙙𝙝𝙖, 𝗔𝗽𝗮 𝙨𝙞𝙝 𝗠𝗮𝗸𝘀𝘂𝗱𝗻𝘆𝗮?

Leluhur mewariskan kita ajian tentang bagaimana menjalani hidup yang damai dalam diri, dituangkan dalam 𝘴𝘢𝘯é𝘱𝘢. Dengan itu kita diminta membuka kitab kita sendiri. Kitab itu adalah batin kita masing-masing untuk 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘢𝘰𝘯𝘪 dan 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘵𝘢𝘯𝘪. Orang Sunda dan orang Kenekes (Badui di Lebak, Banten) menyebut "ngaji diri". 𝘌𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘴𝘱𝘢𝘥𝘩𝘢 (baca: 𝘸𝘢𝘴𝘱𝘰𝘥𝘩𝘰) adalah ajaran bagaimana mergondisikan batin tiada gangguan agar kembali tenang, tiadanya semacam lubang dalam ruhani atau psikis atau batin, batin puas dengan yang ada, batin bening dan suci sebagaimana sifat asalinya, atau psikis bagaimana mengalami rasa syukur yang sebenar-benarnya syukur (bukan syukur 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘮𝘣é) apapun sedang dijumpai. 𝙒𝙖𝙨𝙥𝙖𝙙𝙝𝙖 "Waspadha" (baca: waspodho) atau 𝘯𝘺𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢'𝘯é adalah hadirnya pikiran pada saat-kini, pada momen yang berlangsung. Kita sering makan tetapi kita tak sepenuhnya benar-benar makan, tidak a𝘸𝘢𝘳𝘦 denga...

How To Die, Nasihat Seneca tentang Kematian

Tentang kematian. Buku ini berisi petuah-petuah Seneca ke kawan dan orang-orang dekat yang butuh nasihat penghiburan. Yah, topik yang tabu bagi kebanyakan awam tetapi mendapat posisi penting dalam banyak perenungan para filsuf. Terdiri lima bab, enam bersama epilog, buku How To Die (Sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal) yang entah editornya siapa ini adalah potongan-potongan petuah dalam surat-surat Seneca ke kawan dan kenalan, yang disusun sistematis sedemikian rupa. Ada beberapa hal penting bisa kita tarik sebagai kesimpulan penting dari buku dengan total halaman ix + 157 ini. Pertama . Seneca memberi nasihat kepada kita akan pentingnya merenungkan kematian agar kita siap kapan saja ia datang. Keterlemparan ke dunia ini dipungkasi kematian, kita harus bersiap diri secara mental dengan harapan kita mampu melewati fase itu dengan tidak banyak gangguan. ... bayi, anak kecil, atau orang-orang yang pikirannya terganggu tidak ada yang takut pada kematian; sangat menyedihkan apabila nalar ...

Ngulik Buku "Dengarkanlah Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan"

Buku ini, sebagaimana pengakuan penulis, berangkat dari pengalaman pribadi yang pernah dilanda tekanan hidup berat, depresi, di masa-masa menempuh program doktoral di Jerman bersamaan dengan krisis yang terjadi dalam rumah tangga dan keluarganya. Pada akhirnya semua itu mengantarkan pribadinya mengenal, mendalami, dan mempraktikkan  Zen  (Meditasi).  Depresi dapat dirumuskan kesedihan yang berkelanjutan. Kesedihan adalah penderitaan. Penderitaan muncul karena ketidaksesuaian kenyataan dengan yang dipikirkan. Semua bermula pada pikiran. Buku ini sebenarnya sepaket dengan buku Mencari Ke Dalam: Zen dan Hidup yang Meditatif , ditulis Reza A. A Wattimena. Diterbitkan oleh penerbit Karaniya (2018). Dimensi 14 cm x 21 cm, dan jumlah halamannya adalah 220 (xviii+202 hlm). Buku terdiri dari 8 bab, selain bab-bab lain seperti halnya buku-buku yang kita acap jumpai dan prolog. Jika kita bacai seksama, maka secara imajiner dapat dikelompokkan menjadi 2 topik pembahasan kemudian: (i)...

Mengapa Banyak Orang Amerika Menganggap Buddhisme Sekedar Filsafat?

Di Asia timur, Buddhis merayakan mangkatnya Buddha dan datangnya pencerahan di akhir bulan Februari. Akan tetapi di kuil  Zen  lokal saya di North Carolina, pencerahan Buddha diperingati selama musim liburan bulan Desember, diisi dengan ceramah singkat bagi anak-anak, penyalaan lilin, dan makan malam ala kadarnya di akhir acara. Selamat datang di Buddhisme, gaya Amerika. Pengaruh Awal Pengaruh Buddhisme dalam kesadaran budaya masyarakat Amerika muncul di akhir-akhir abad ke-19. Zaman ketika gagasan romantis tentang mistisisme Timur nan eksotis memantik imajinasi filsuf dan penyair Amerika, penikmat seni, dan angkatan awal para penstudi religi-religi global. Penyair dengan kecenderungan gaya transendentalis seperti Henry David Thoreau dan Ralph Waldo Emerson mempelajari filsafat Hindu dan Buddha secara mendalam. Juga ada Henry Steel Olcott, yang rela pergi ke Sri Lanka pada 1880, yang melakukan konversi ke Buddhisme dan mendirikan aliran filosofi mistik yang terkena...

Kesejajaran Stoikisme & Buddhisme

Terlepas ada banyak ajaran menawarkan cara berbahagia, terlepas seberapa kokoh dan efektif untuk seseorang atau tidak, terlepas tawaran metode itu memperkenalkan seseorang akan apa sejatinya dirinya atau tidak, spiritualisme adalah sarana kultivasi batin atau kesadaran, seni berbahagia dalam kehidupan. Tulisan ini menghadirkan beberapa kesamaan ajaran Stoikisme dan Buddhisme. 1/ Titik Berangkat Lahir dari rahim kebudayaan berbeda dan berjauhan, meski pada zaman itu telah ada hubungan kebudayaan dan politik. Buddhisme berdiri di wilayah yang saat ini masuk Nepal dan India utara pada sekitar 500 SM dan Stoikisme dimulai di Athena, Yunani, sekitar 300 SM.  Stoikisme dinisbatkan ke Zeno sebagai pendiri. Setelah selamat dari peristiwa kapal yang ditumpangi dan berisi barang dagangannya berupa pewarna ungu, bahan pewarna paling mahal dan langka di zamannya, ia terdampar di Athena. Suatu hari ia menyambangi toko buku dan tertarik  Memorabilia  Xenophon. Terkesan dengan isi ...