Ini buku membuka wawasan lebih jauh mengenai neurosains dan, alih-alih spiritualisme, fenomena tuhan antromorfis. Berjudul 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝘖𝘵𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢. Beliau memakai kata "𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺" pada judul buku. Membincangkan hubungan spiritualitas dengan kesehatan dan kedokteran. Namun rasa-rasanya ada yang belum jernih dikupas beliau mengenai istilah spiritualitas dengan religiusitas.
Penjernihan Istilah
Religiusitas terekpresikan dalam bentuk tindakan religius. Tidak semua tindakan religius ada hubungannya dengan spiritual dan apalagi spiritualisme, yaitu bertalian pertumbuhan batin seseorang menjadi longgar tiada beban dan berangkat dari itu ia berkembang menjadi baik, entah kepada diri sendiri dan efek lanjutannya atau fudhlah-nya kepada sesamanya dan mahluk lain.Religiusitas yang terekspresikan dalam tindakan religius sebagian besarnya adalah sekedar ekspresi budaya. Sekedar tradisi.
Kebingungan arti persis religius dan spiritual adalah jawaban mengapa, seperti yang dibingungkan penulis, orang religius tetap terlibat korupsi. Sekalipun dua istilah ini ada irisan, beliau kebingungan membedakan antara religius yang terekspresikan ke pola tindakan religius dengan spiritual.
Religiusitas dan Tuhan-Persepsi
Pada Pendahuluan, Taufiq Pasiak menulis begini.
Jika kita membaca teks tentang Tuhan dalam sebuah kitab suci, maka yang ada di benak kita adalah 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘀𝗶 kita tentang Tuhan. Patut diingat, 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘀𝗶 𝗶𝘁𝘂—sepintar apapun kita—𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 (xxix).
Jika anda masih kesulitan memahami dimaksudkan "persepsi" oleh penulis, gambaran mudahnya begini.
Umpama kita melihat semisal batu bueeesssaaarr suekali, apa yang muncul di pikiranmu itu bukanlah objek itu sendiri. Jika yang di pikiranmu adalah batu besar itu sendiri, ndasmu pasti cemét, polomu semburat bertebaran kemana-mana di tanah, bukan?
Atau, seumpama muncul ingatan terhadap sosok seseorang, itu pun bukan orang itu, tetapi sekedar ingatan yang termemori di dalam sinaps otak anda. Begitu juga yang beliau katakan tadi, apapun model yang muncul di pikiranmu tentang tuhan yang begini dan begitu, itu tiada lain sekedar imajinasimu.
Singkatnya, apa pun yang muncul di arus pikiranmu adalah... apalagi kalau bukan... pikiranmu semata? Ini maksud beliau dengan kata "persepsi" tadi.
Aneh. Walau sudah tegas menyatakan begitu, beliau dalam redaksi lain bilang bahwa beliau termasuk yang percaya tuhan. "Percaya" adalah pernak-pernik pikiran. Untuk begitu butuh objek ataupun pengandaian objek. Percaya, seperti halnya opini dan khayalan, itu kerja pikiran. Pikiran beliau rasa-rasanya belum mampu mengenali dirinya sendiri.
Secara spiritual, 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢.
Tindakan Religius sebagai Ekspresi Budaya
Religiusitas seseorang terekspresikan dalam tindakan religius; Tidak semua tindakan religius ada hubungan dengan spiritual. Tindakan religius yang dilakukan seseorang kebanyakan semata adalah ekspresi budaya atau tradisi. Tidak terkecuali tindakan religius yang dilakukan oleh koruptor religius.
Salah satu Kata Pengantar-nya adalah Busro Muqoddas, mantan KPK. Ia menyinggung soal perilaku korupsi dan kaitannya dengan struktur otak pelaku. Menanggapi hal itu, Pasiak dalam bab Pendahuluan menulis berikut.
Saya tidak tahu apakah pemeriksaan yang selama ini dilakukan terhadap pejabat-pejabat kita tidak berhasil mengetahui bagaimana mereka memanifestasikan spiritualitas dalam kehidupan mereka. Sehingga, meskipun mereka lolos dalam pemeriksaan yang selama ini dipakai, kemudian terbukti bahwa saat berkuasa, mereka tetap melalukan korupsi dan kejahatan (xxxvi).
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan mengapa orang religius tetap saja korupsi, sebagaimana kebingungan penulis buku, kita pertama-tama seyogyanya tahu apa itu religiusitas yang dikenali dalam pengekspresiannya melalui tindakan religius dan apa itu spiritual.
Religiusitas utamanya dicirikan tindakan-tindakan formal bersifat baku dan dilakukan ajeg berkala semisal njlengkat-njlengkit 5 waktu, puasa Ramadan, jlengkat-jlengklit tarawih, muter kecik disunduki benang sambil merapal kata-kata berulang dalam jumlah tertentu, genjrang-genjreng nyanyiin lagu yang kamu sebut kidung pujian, pergi ke masjid atau vihara atau gereja yang sifatnya rutinan seminggu sekali, ataupun tindakan-tindakan lain sejenis dari orang-orang yang mengasosiasikan diri kepada itu. Bahkan perayaan Natal, Idul Fitri, Waisak, dan hari-hari penting keagamaan hanyalah bagian dari kebudayaan. Tiada beda dengan memperingati hari berdirinya negara atau mengenang peristiwa tertentu.
Pahami ini. Tidak semua tindakan-tindakan religius berdimensi atau ada hubungannya dengan spiritualisme, yaitu metode bagaimana ruhaniah atau kejiwaan atau batiniah benar-benar terbebas keluar dari tegangan sepenuhnya purna, bukan sekedar temporer. Kebanyakannya hanyalah ekspresi budaya.
Gambaran mudahnya begini. Saya dulu sering pergi Jum'atan ya tak ada efek apa-apa setelah pulang, hambar.
Mengapa begitu? Ya karena anda menjalani tindakan religius ini sekedar dalam term "budaya" atau "tradisi". Anda dari kecil dibiasakan itu. Itu sekedar rutinitas yang menjadi tradisi. Apa yang saya lakukan itu tak ubahnya anak keluarga Kristen dilatih disiplin ke gereja tiap minggu sekali. Atau anak keluarga Yudaisme rutin mingguan ke sinagog.
Tindakan Religius sebagai Sarana Pelarian dari Tegangan Psikis
Spiritual adalah semua hal yang berkaitan spirit/psikis/mental/ruhani/jiwa/batin. Secara meluas bisa diartikan sebagai sebuah dorongan instingtif psikologis atau mental atau ruhani atau spirit atau batin mengelola dirinya sendiri dan keluar dari tekanan dan tegangan ketika anda dihadapkan kenyataan tertentu kehidupan yang mana kenyataan itu menghadirkan (i) gangguan berupa tekanan dan ketegangan psikis.
Sebagai contoh. Saya punya kawan dan tetangga di Jawa dulu, usia hampir sebaya. Ia sukses sebagai pemborong proyek bangunan. Rumah, mobil, uang ada, dan kesenangan lain semisal mangku purel bisa diakses dengan sumberdaya ia miliki. Artinya, akses terhadap kebutuhan dasar (basic needs) telah terakses dan—perhatikan kalimat berikut ini—hasrat keinginan sensorik bisa ia akses karena adanya sumberdaya riil.
Singkat cerita roda berputar. Ia yang dulu sebut saja hedon ujug-ujug tanpa ada yang menyulap berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang yang gemar menyambangi patokan kuburan wong mati (orang awam menyebut kuburan wali dan sejenis), ke pengajian gedek-gedek ora jelas, dan tindakan religius lain.
Mengapa demikian? Tindakan religius adalah sarana menciptakan kompensasi psikologis dalam dirinya, sebagai sarana pelarian psikologis yang tertekan yang muncul karena total hasrat tidak berkorelasi dengan jumlah ketersediaan sumber daya penebusnya.
Pola perilaku demikian terjadi pula pada diri orang yang (ii) dalam dirinya muncul ketidaknyamanan disebabkan kenyataan dijumpai tak bersesuaian hasrat. Misalnya, ibu saya yang tiba-tiba rajin melalukan tindakan religius, yang umumnya kita menyebut "berdoa", ketika saya bilang keceplosan bahwa saya tak peduli allah ada atau tidak, tak ada gunanya bagi kenyataan hidup saya. "Tidak ada gunanya" dengan kata lain, bahagia (ayem batin) atau tidak, bahkan perihal tercukupi kebutuhan dasar atau tidak, tak ada hubungannya dengan allah—atau tuhan antromorfis. ("Atta hi attano nato atta hi attano gati").
Perubahan perilaku menjadi religius ini yang dipicu oleh gap antara hasrat dengan kenyataan, berlaku pula pada orang yang terhimpit kebutuhan material dasar. Mereka seringnya kita jumpai juga berperilaku begitu, dicirikan meningkatnya intensitas melakukan tindakan religius. Tentu saja kebutuhan dasar kita tidak jatuh dari langit hanya dengan merapal kata-kata, melainkan dengan memahami kerja-kerja jaring ekonomi yang secara tak kasat mata kita tidak lepas dari jaring itu dan kemudian bergerak menolong diri sendiri. Berdoa itu sendiri adalah sarana pelarian psikologis bagi orang terhimpit kebutuhan hidup. Tak ada tantangan atau persoalan praktis hidup yang selesai dengan berdoa.
Tindakan religius pada momen yang saya contohkan tadi berdimensi atau ada hubungannya dengan spiritual—atau persisnya sebagai "mekanisme pelarian psikologis" atau "cara menciptakan kompensasi psikologis" walau sifatnya temporer. Hanya soal tentang bagaimana batin/ruhani/psikis/spirit melepaskan diri dari tekanan dan tegangan mengganggu. Ini dikenal dengan istilah coping mechanism.
Tindakan religius yang dilakukan orang ketika menghadapi kondisi demikian ada hubungannya dengan spiritual, walau sifatnya temporer dan tidak lebih menipu diri.
Tindakan Religius Menjadikan Orang Baik?
Selain berdimensi budaya, religiusitas yang terekspresikan dalam tindakan religius memiliki dimensi spiritual, memang. Persisnya sebagai sarana pelarian psikologis ketika hasrat muncul tak terjembatani terhadap kenyataan. Pelarian yang sifatnya temporer.
Isu korupsi adalah isu pelik dan multidimensi, bisa dikaji dari banyak aspek. Perilaku koruptif pasti ada korelasinya dengan budaya. Kebudayaan paling inti adalah cara pandang yang membentuk alam bawah sadar kolektif sekelompok orang dalam lingkaran kebudayaan itu. Cara pandang atau kadang disebut falsafah hidup bertalian kualitas spirit dan spiritualitas individu-individu dalam kelompok kebudayaan itu secara general.
Ditinjau dari sini, secara kejiwaan/spirit/batin fenomena koruptor—dan bahkan kita sebagai orang yang berbagi kualitas spirit dengan para koruptor yang juga besar kemungkinan akan melakukan hal sama jika ada kesempatan dan karena habitat sistemik berisi orang-orang dengan kualitas spirit tadi tidak dipungkiri akan menyeretmu karena tak kuasa dilawan dan apalagi kamu tak mengenali hasratmu maka kamu lebih rentan melakukan itu—tidak bisa lepas dari kebudayaan.
Terkait kebingungan penulis, sampai sini dapat kita pahami, mengapa orang religius kok tetap korupsi. Jawabannya adalah, religiusitas tak ada hubungannya dengan bagaimana seseorang bertumbuh dan berkembang menjadi baik. Tetapi, sebagaimana kesalahan berpikir penulis buku yang saya baca ini, semata sarana pelarian psikologis ketika ada gap antara hasrat diri dengan kenyataan.
Masalah korupsi berakar pada budaya. Budaya fondasinya adalah alam bawah sadar kolektif. Kualitas general alam bawah sadar kolektif itu berkaitan kualitas spirit. Artinya, harus ada koreksi kebudayaan, revolusi kebudayaan. Tanpa koreksi kebudayaan, sampai mampus 1000 kali pun sekelompok manusia yang terikat kebudayaan sama, atau kadang disebut bangsa, itu ya tak akan berubah. Selamanya.
Komentar
Posting Komentar