Langsung ke konten utama

Tindakan Religius: Ekspresi Budaya, Coping Mechanism, dan Korupsi

Ini buku membuka wawasan lebih jauh mengenai neurosains dan, alih-alih spiritualisme, fenomena tuhan antromorfis. Berjudul 𝘛𝘶𝘩𝘢𝘯 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝘖𝘵𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢. Beliau memakai kata "𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺" pada judul buku. Membincangkan hubungan spiritualitas dengan kesehatan dan kedokteran. Namun rasa-rasanya ada yang belum jernih dikupas beliau mengenai istilah spiritualitas dengan religiusitas.


Penjernihan Istilah

Religiusitas terekpresikan dalam bentuk tindakan religius. Tidak semua tindakan religius ada hubungannya dengan spiritual dan apalagi spiritualisme, yaitu bertalian pertumbuhan batin seseorang menjadi longgar tiada beban dan berangkat dari itu ia berkembang menjadi baik, entah kepada diri sendiri dan efek lanjutannya atau fudhlah-nya kepada sesamanya dan mahluk lain. 

Religiusitas yang terekspresikan dalam tindakan religius sebagian besarnya adalah sekedar ekspresi budaya. Sekedar tradisi.

Kebingungan arti persis religius dan spiritual adalah jawaban mengapa, seperti yang dibingungkan penulis, orang religius tetap terlibat korupsi. Sekalipun dua istilah ini ada irisan, beliau kebingungan membedakan antara religius yang terekspresikan ke pola tindakan religius dengan spiritual.


Religiusitas dan Tuhan-Persepsi

Pada Pendahuluan, Taufiq Pasiak menulis begini.

Jika kita membaca teks tentang Tuhan dalam sebuah kitab suci, maka yang ada di benak kita adalah 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘀𝗶 kita tentang Tuhan. Patut diingat, 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗲𝗽𝘀𝗶 𝗶𝘁𝘂—sepintar apapun kita—𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻𝗹𝗮𝗵 𝗧𝘂𝗵𝗮𝗻 (xxix).

Jika anda masih kesulitan memahami dimaksudkan "persepsi" oleh penulis, gambaran mudahnya begini. 

Umpama kita melihat semisal batu bueeesssaaarr suekali, apa yang muncul di pikiranmu itu bukanlah objek itu sendiri. Jika yang di pikiranmu adalah batu besar itu sendiri, ndasmu pasti cemét, polomu semburat bertebaran kemana-mana di tanah, bukan? 

Atau, seumpama muncul ingatan terhadap sosok seseorang, itu pun bukan orang itu, tetapi sekedar ingatan yang termemori di dalam sinaps otak anda. Begitu juga yang beliau katakan tadi, apapun model yang muncul di pikiranmu tentang tuhan yang begini dan begitu, itu tiada lain sekedar imajinasimu.

Singkatnya, apa pun yang muncul di arus pikiranmu adalah... apalagi kalau bukan... pikiranmu semata? Ini maksud beliau dengan kata "persepsi" tadi.

Aneh. Walau sudah tegas menyatakan begitu, beliau dalam redaksi lain bilang bahwa  beliau termasuk yang percaya tuhan. "Percaya" adalah pernak-pernik pikiran. Untuk begitu butuh objek ataupun pengandaian objek. Percaya, seperti halnya opini dan khayalan, itu kerja pikiran. Pikiran beliau rasa-rasanya belum mampu mengenali dirinya sendiri. 

Secara spiritual, 𝘖𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘥𝘢𝘳 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢. 


Tindakan Religius sebagai Ekspresi Budaya

Religiusitas seseorang terekspresikan dalam tindakan religius; Tidak semua tindakan religius ada hubungan dengan spiritual. Tindakan religius yang dilakukan seseorang kebanyakan semata adalah ekspresi budaya atau tradisi. Tidak terkecuali tindakan religius yang dilakukan oleh koruptor religius.

Salah satu Kata Pengantar-nya adalah Busro Muqoddas, mantan KPK. Ia menyinggung soal perilaku korupsi dan kaitannya dengan struktur otak pelaku. Menanggapi hal itu, Pasiak dalam bab Pendahuluan menulis berikut.

Saya tidak tahu apakah pemeriksaan yang selama ini dilakukan terhadap pejabat-pejabat kita tidak berhasil mengetahui bagaimana mereka memanifestasikan spiritualitas dalam kehidupan mereka. Sehingga, meskipun mereka lolos dalam pemeriksaan yang selama ini dipakai, kemudian terbukti bahwa saat berkuasa, mereka tetap melalukan korupsi dan kejahatan (xxxvi).

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan mengapa orang religius tetap saja korupsi, sebagaimana kebingungan penulis buku, kita pertama-tama seyogyanya tahu apa itu religiusitas yang dikenali dalam pengekspresiannya melalui tindakan religius dan apa itu spiritual.

Religiusitas utamanya dicirikan tindakan-tindakan formal bersifat baku dan dilakukan ajeg berkala semisal njlengkat-njlengkit 5 waktu, puasa Ramadan, jlengkat-jlengklit tarawih, muter kecik disunduki benang sambil merapal kata-kata berulang dalam jumlah tertentu, genjrang-genjreng nyanyiin lagu yang kamu sebut kidung pujian, pergi ke masjid atau vihara atau gereja yang sifatnya rutinan seminggu sekali, ataupun tindakan-tindakan lain sejenis dari orang-orang yang mengasosiasikan diri kepada itu. Bahkan perayaan Natal, Idul Fitri, Waisak, dan hari-hari penting keagamaan hanyalah bagian dari kebudayaan. Tiada beda dengan memperingati hari berdirinya negara atau mengenang peristiwa tertentu.

Pahami ini. Tidak semua tindakan-tindakan religius berdimensi atau ada hubungannya dengan spiritualisme, yaitu metode bagaimana ruhaniah atau kejiwaan atau batiniah  benar-benar terbebas keluar dari tegangan sepenuhnya purna, bukan sekedar temporer. Kebanyakannya hanyalah ekspresi budaya.

Gambaran mudahnya begini. Saya dulu sering pergi Jum'atan ya tak ada efek apa-apa setelah pulang, hambar. 

Mengapa begitu? Ya karena anda menjalani tindakan religius ini sekedar dalam term "budaya" atau "tradisi". Anda dari kecil dibiasakan itu. Itu sekedar rutinitas yang menjadi tradisi. Apa yang saya lakukan itu tak ubahnya anak keluarga Kristen dilatih disiplin ke gereja tiap minggu sekali. Atau anak keluarga Yudaisme rutin mingguan ke sinagog.


Tindakan Religius sebagai Sarana Pelarian dari Tegangan Psikis

Spiritual adalah semua hal yang berkaitan spirit/psikis/mental/ruhani/jiwa/batin. Secara meluas bisa diartikan sebagai sebuah dorongan instingtif psikologis atau mental atau ruhani atau spirit atau batin mengelola dirinya sendiri dan keluar dari tekanan dan tegangan ketika anda dihadapkan kenyataan tertentu kehidupan yang mana kenyataan itu menghadirkan (i) gangguan berupa tekanan dan ketegangan psikis.

Sebagai contoh. Saya punya kawan dan  tetangga di Jawa dulu, usia hampir sebaya. Ia sukses sebagai pemborong proyek bangunan. Rumah, mobil, uang ada, dan kesenangan lain semisal mangku purel bisa diakses dengan sumberdaya ia miliki. Artinya, akses terhadap kebutuhan dasar (basic needs) telah terakses dan—perhatikan kalimat berikut ini—hasrat keinginan sensorik bisa ia akses karena adanya sumberdaya riil.

Singkat cerita roda berputar. Ia yang dulu sebut saja hedon ujug-ujug tanpa ada yang menyulap berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang yang gemar menyambangi patokan kuburan wong mati (orang awam menyebut kuburan wali dan sejenis), ke pengajian gedek-gedek ora jelas, dan tindakan religius lain. 

Mengapa demikian? Tindakan religius adalah sarana menciptakan kompensasi psikologis dalam dirinya, sebagai sarana pelarian psikologis yang tertekan yang muncul karena total hasrat tidak berkorelasi dengan jumlah ketersediaan sumber daya penebusnya.

Pola perilaku demikian terjadi pula pada diri orang yang (ii) dalam dirinya muncul ketidaknyamanan disebabkan kenyataan dijumpai tak bersesuaian hasrat. Misalnya, ibu saya yang tiba-tiba rajin melalukan tindakan religius, yang umumnya kita menyebut "berdoa", ketika saya bilang keceplosan bahwa saya tak peduli allah ada atau tidak, tak ada gunanya bagi kenyataan hidup saya. "Tidak ada gunanya" dengan kata lain, bahagia (ayem batin) atau tidak, bahkan perihal tercukupi kebutuhan dasar atau tidak, tak ada hubungannya dengan allah—atau tuhan antromorfis. ("Atta hi attano nato atta hi attano gati").

Perubahan perilaku menjadi religius ini yang dipicu oleh gap antara hasrat dengan kenyataan, berlaku pula pada orang yang terhimpit kebutuhan material dasar. Mereka seringnya kita jumpai juga berperilaku begitu, dicirikan meningkatnya intensitas melakukan tindakan religius. Tentu saja kebutuhan dasar kita tidak jatuh dari langit hanya dengan merapal kata-kata, melainkan dengan memahami kerja-kerja jaring ekonomi yang secara tak kasat mata kita tidak lepas dari jaring itu dan kemudian bergerak menolong diri sendiri. Berdoa itu sendiri adalah sarana pelarian psikologis bagi orang terhimpit kebutuhan hidup. Tak ada tantangan atau persoalan praktis hidup yang selesai dengan berdoa.

Tindakan religius pada momen yang saya contohkan tadi berdimensi atau ada hubungannya dengan spiritual—atau persisnya sebagai "mekanisme pelarian psikologis" atau "cara menciptakan kompensasi psikologis" walau sifatnya temporer. Hanya soal tentang bagaimana batin/ruhani/psikis/spirit melepaskan diri dari tekanan dan tegangan mengganggu. Ini dikenal dengan istilah coping mechanism. 

Tindakan religius yang dilakukan orang ketika menghadapi kondisi demikian ada hubungannya dengan spiritual, walau sifatnya temporer dan tidak lebih menipu diri.


Tindakan Religius Menjadikan Orang Baik?

Selain berdimensi budaya, religiusitas yang terekspresikan dalam tindakan religius memiliki dimensi spiritual, memang. Persisnya sebagai sarana pelarian psikologis ketika hasrat muncul tak terjembatani terhadap kenyataan. Pelarian yang sifatnya temporer.

Isu korupsi adalah isu pelik dan multidimensi, bisa dikaji dari banyak aspek. Perilaku koruptif pasti ada korelasinya dengan budaya. Kebudayaan paling inti adalah cara pandang yang  membentuk alam bawah sadar kolektif sekelompok orang dalam lingkaran kebudayaan itu. Cara pandang atau kadang disebut falsafah hidup bertalian kualitas spirit dan spiritualitas individu-individu dalam kelompok kebudayaan itu secara general. 

Ditinjau dari sini, secara kejiwaan/spirit/batin fenomena koruptor—dan bahkan kita sebagai orang yang berbagi kualitas spirit dengan para koruptor yang juga besar kemungkinan akan melakukan hal sama jika ada kesempatan dan karena habitat sistemik berisi orang-orang dengan kualitas spirit tadi tidak dipungkiri akan menyeretmu karena tak kuasa dilawan dan apalagi kamu tak mengenali hasratmu maka kamu lebih rentan melakukan itu—tidak bisa lepas dari kebudayaan.

Terkait kebingungan penulis, sampai sini dapat kita pahami, mengapa orang religius kok tetap korupsi. Jawabannya adalah, religiusitas tak ada hubungannya dengan bagaimana seseorang bertumbuh dan berkembang menjadi baik. Tetapi, sebagaimana kesalahan berpikir penulis buku yang saya baca ini, semata sarana pelarian psikologis ketika ada gap antara hasrat diri dengan kenyataan.

Masalah korupsi berakar pada budaya. Budaya fondasinya adalah alam bawah sadar kolektif. Kualitas general alam bawah sadar kolektif itu berkaitan kualitas spirit. Artinya, harus ada koreksi kebudayaan, revolusi kebudayaan. Tanpa koreksi kebudayaan, sampai mampus 1000 kali pun sekelompok manusia yang terikat kebudayaan sama, atau kadang disebut bangsa, itu ya tak akan berubah. Selamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha...

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suññata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, arti...

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa...

Hidup dalam Kesaatkinian dan Manfaatnya oleh Ajahn Buddhadāsa

Ini adalah seri nomor tiga dari satu set Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami oleh Ajahn Buddhadāsa (1906–1993). Diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharma pada 2024. Berdimensi 12,5 cm x 18,5 cm dan berketebalam 44 halaman. Buku ini membahas tentang pentingnya hidup dalam kesaatkinian, karena dalam ajaran Buddhisme hanya, yang oleh bahasa diistilahkan,  saat kini  yang benar-benar nyata, yang demikian adanya. Sebagai kebenaran non-konvensi. Kehidupan manusia dan semua mahluk bertalian erat dengan pencarian kebahagiaan. Hidup sendiri adalah nyata adanya pada kesaatkinian terus menerus. Anda bernafas pada saat kini terus menerus, bukan tadi ataupun nanti. Maka kebahagiaan bukan ditemukan pada—apa yang dikonsepsikan pikiran sebagai—masa lalu ataupun masa depan, dalam bentuk mengembangkan harap damba kuat. Mengapa Saat-Kini ? Manusia awam mengabaikan absurditas kehidupan dengan mengembangkan hasrat harapan. Munculnya hasrat harapan erat kaitannya dengan hidup kita yang r...

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga...

6 Tokoh Berpengaruh Mazhab Frankfurt

Teori Kritis adalah istilah yang cakupannya relatif luas, luasnya cakupan bisa dilacak kembali ke asal-usulnya. Ringkasnya, ini adalah bidang filsafat yang bertalian dengan sosiologi dan studi tentang kemasyarakatan secara umum Asal-usulnya merujuk kepada sekelompok ahli teori filsafat Jerman yang membedakan Teori Kritis dari teori sosiologi umum atau yang lebih tradisional, mengingat tujuan dan terapannya. Dikenal sebagai Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School ). Ini adalah sekumpulan para intelektual dan cendekia yang hidup pada periode antara dua perang di Jerman. Setidaknya itu adalah periode bergejolak. Mazhab Frankfurt dan Teori Kritis Sebutan resmi Mazhab Frankfurt ( Frankfurt School) adalah Institut Penelitian Sosial. Di kemudian waktu institut ini menjadi musuh dari fasisme Jerman yang bangkit. Sebagian besar cendekianya terpaksa pergi ke luar Jerman. Sekalipun keadaan tersebut tidak menguntungkan mereka, karya yang dihasilkan oleh para aktor mazhab Frankfurt ini masih memiliki ...

Paling Pokok dalam Ajaran Buddhisme & Prinsip-prinsip Umum

Buddhisme adalah āgama (Sanskrit) atau praktik laku hidup yang didasarkan pada ajaran Siddhartha pada abad ke-5 SM di wilayah yang sekarang disebut Nepal dan India utara. Ia disebut "Buddha", yang artinya "yang terbangun". Kadang juga diartikan "yang tercerahkan". Diistilahkan  bodhi  dalam Sanskrit. Setelah ia mengalami ketergugahan Kesadaran mendalam—atau Kecerahan batin—akan hakikat kehidupan, kematian, dan kebetadaan Selama sisa hidupnya setelah merealisasi Kecerahan, Sang Buddha berkelana dan mengajar. Namun ia tidak menyampaikan ke orang-orang tentang apa yang ia sadari ketika telah tercerahkan atau tergugah. Sebaliknya, ia mengajarkan ke orang-orang bagaimana cara atau jalan merealisasi kecerahan bagi diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa kecerahan ataupun terbangun/tergugah (dari ilusi) dilakukan oleh sendiri dan muncul dari dalam diri Anda sendiri yang mengalami-langsung, bukan melalui jalan mempercayai dogma. Pada saat mangkat Sang Buddha, Buddhism...

Intisari Buku Mengenai Kelahiran Karya Ajahn Buddhadāsa

Sekalipun bukan perihal tujuan paling subtansial dari ajaran Buddhisme, menurut saya, kelahiran kembali adalah topik debateable dalam khasanah intelektual Buddhisme. Sebagai khasanah intelektual, karenanya kelahiran kembali atau kadang dipergunakan istilah "tumimbal lahir" lebih kentara penjelasannya sebagai proposisi filsafat, sekalipun Ajahn Buddhadāsa menerangkan dalam bahasa keseharian awam. Ajahn Buddhadāsa dalam seri nomor empat dari satu set buku Seri-seri Dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami ini menerangkan bahwa yang dimaksud kelahiran adalah "kelahiran mental", atau dalam istilah saya adalah keterusmenerusan bereksistensi (mengada), suatu rasa sadar bahwa ini aku dan selainnya bukan aku . Intisari Buku Dari pembacaan buku, berikut kiranya dapat disarikan dari pembacaan buku ini dalam sajian poin-poin paragraf. Pertama . Dari sudut historis dan kultural, Ajahn Buddhadāsa di awal buku menerangkan bagaimana pandangan spekulatif filosofis dan kultural orang...

8 Alasan Orang Memegang Agama-Kepercayaan

Ada banyak yang tak disadari seseorang yang percaya pada kepercayaan agama. Dalam mempraktikkan agamanya, banyak orang menemukan kenyamanan dan pelipur dari kenyataan hidup yang tak pasti. Ada alasan lain mengapa mereka tertarik pada keyakinan yang mereka praktikkan. Bagi kebanyakannya, kepercayaan adalah bagian dari pola asuh yang didapat seseorang di masa kecil dan mereka ketika dewasa melanjutkan tradisi yang diwarisi dari keluarganya itu. Kepercayaan memainkan peran penting pula dalam budaya karena berbagai alasan. Diindoktrinasi ke dalam Agama Tertentu Kuatnya dan terus menerusnya seseorang diindoktrinasi ke dalam agama tertentu menunjukkan bahwa orang mempercayai agamanya karena itulah yang terjadi pada mereka umumnya. Terutama oleh lingkungan keluarganya. Ini pula alasan mengapa anak dari keluarga beragama A mayoritasnya akan tetap pada agama A dewasanya, begitu juga yang beragama B. Diperkuat pula oleh lingkungan sekitar dari yang agak dekat hingga lingkungan umum di mana ia be...

Kunci-kunci Membaca Filsafat Anti-Natalis Benatar

Buku berjudul  Better Never To Have Been—The Harm of Coming to Existence (Oxford Press: 2006), kira-kira, agar mengena, bisa diterjemahkan "Lebih Baik Tak Lahir—Penderitaan Sebab Mengada", adalah buku menarik dan kontroversial. Ia mengusik hasrat alamiah mendasar spesies, mengusik hasrat manusia paling mendasar: memperbanyak diri atau berkembang biak. Buku ini adalah buku kontroversial, tetapi argumen Benatar adalah logis. Siapa Dia yang Mengusik Naluri Paling Mendasar Kita? Benatar adalah filsuf abad 21 yang corak filsafat eksistensialnya pesimistik, seperti halnya Arthur Schoupenhauer. Bisa pula dikategorikan nihilisme. Ia bukan saja membentangkan bangunan filosofisnya, tetapi, seperti kebanyakan kefilsafatan kontemporer berdiri sebagai "penafsir data-data saintifik", setelah memaparkan data dan gambaran prediktif, yang secara umum adalah melonjaknya penderitaan sebab meningkatnya populasi, ia juga mengajukan cara bagaimana agar populasi terbebas dari kemengadaan...