Risalah kepada Novatus, kakaknya Seneca, yang meminta nasihat kepadanya. 𝘏𝘰𝘸 𝘛𝘰 𝘒𝘦𝘦𝘱 𝘠𝘰𝘶𝘳 𝘊𝘰𝘰𝘭, secara slang dapat kita translasikan "Gimana sih biar tetep tenang santuy". Total halaman vii + 143 tanpa bab-bab layaknya transkip khotbah yang panjang. Pembahasannya dapat diklasifikasikan ke dalam dua subjek.
Pertama-tama Seneca membahas apa itu amarah, ciri-ciri dan sifat, dan (sebagai tambahan sekunder) membuat komparasi dengan sensasi psikis—atau diistilahkan Seneca sebagai "gairah"—lain semisal iri dan tamak. Kemudian ia memberi tips-tips bagaimana amarah dapat dieliminir, dijinakkan, dan dikelola.𝗗𝗲𝗳𝗶𝗻𝗶𝘀𝗶, 𝗖𝗶𝗿𝗶, 𝗦𝗶𝗳𝗮𝘁
Ada beberapa definisi dibuat oleh Seneca tentang amarah. Pertama, kegilaan sesaat, karena ekspresi wajah dan 𝘨𝘦𝘴𝘵𝘶𝘳𝘦 tubuh yang agresif tidak beda dengan orang gila. Kedua, hasrat untuk menghukum terhadap apa yang dianggapnya keliru, yang memunculkan rasa sakit enosional dalam dirinya.
Amarah oleh Seneca dikategorikan wabah mental yang sifatnya paling destruktif melebihi lainnya, misalnya tamak, dan iri serta dengki. Iri atau dengki hanya sejauh mengharapkan kesulitan dan kesukaran kepada pihak lain. Perasaan senang bila objek yang memunculkan iri hancur. Namun, amarah secara aktif benar-benar bertindak agresif kepada objeknya agar hancur.
𝗧𝗲𝗸𝗻𝗶𝘀 𝗣𝗿𝗮𝗸𝘁𝗶𝗸𝗮𝗹
Pada pembahasan ini, ada beberapa tips yang disodorkan Seneca, demikian saya catat, bagaimana mengelola, menjinakkan, dan memadamkan amarah.
𝘗𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢. Periksai keinginan-keinginan kita. Acap kali kita memiliki keinginan yang tanpa kita periksai dengan jernih bahwa itu di luar jangkauan, di luar kapasitas kita pikul, dan besar kans tak mampu kita selesaikan. Hal-hal semacam ini adalah pemantik munculnya amarah, diawali kelelahan emosional dan frustasi.
𝘒𝘦𝘥𝘶𝘢. Kenali sifat asli kita. Dengan mengenali diri kita sendiri, seperti temperamen atau tidak, membantu kita untuk menyadari munculnya bibit amarah dan menghindarkan kita dari hal-hal dan suasana-suasana yang jika kita berada di situ lebih mudah terpancing, atau "batin tercemari" dan berubah dari sifat asalinya yang tenang netral dalam ungkapan Ajaran Dharma.
𝘒𝘦𝘵𝘪𝘨𝘢. Carilah lingkungan sosial dan 𝘤𝘪𝘳𝘤𝘭𝘦 pertemanan yang diisi orang jiwa tenang dan stabil yang dapat membantumu berkembang lebih positif secara emosional.
Kita harus menghabiskan waktu bersama mereka yang paling tenang, paling santai, dan paling tidak cemas dan tertekan, sebab kita akan tertular oleh sifat rekan-rekan kita; sebagaimana penyakit yang menjangkiti mereka yang kita sentuh, demikian pula pikiran akan menulari mereka yang terdekat dengan kita dengan keburukan-keburukannya. (h. 83-84).
Berupayalah untuk hidup di lingkungan sosial dan pergaulan yang sehat layak demi pertumbuhan kesejahteraan psikismu.
𝘒𝘦𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵. Kurangi dan batasi interaksi berlebihan dengan orang dengan banyak beban psikis yang dipikulnya. Seneca menasihati untuk menghindari orang dengan 3 kualitas dalam kutipan berikut.
Pertengkaran dicari oleh mereka yang berbeban berat, juga oleh mereka yang lapar dan haus dan oleh setiap orang yang mendambakan sesuatu (h. 90).
𝘒𝘦𝘭𝘪𝘮𝘢. Luangkan waktu menyendiri lebih cukup dan ceburkan diri pada aktivitas yang mana kita dapat meciptakan suasana batin menjadi rileks. Intensitas organ sensorik kita berjumpa banyak orang serta peristiwa seringnya sumber pemicu kekesalan dan amarah. Aktivitas memyenangkan dapat mengendurkan impuls otak.
𝘒𝘦𝘦𝘯𝘢𝘮. Memberi jeda setiap kali bibit amarah muncul, atau dalam teknis Stoik modern diakronimkan S.T.A.R (𝘚𝘵𝘰𝘱, 𝘛𝘩𝘪𝘯𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘥 𝘙𝘦𝘢𝘤𝘵). Seneca mengajarkan kepada kita untuk tidak bereaksi langsung terhadap apa saja yang memicu api amarah dalam diri kita. Kita perlu memberi jeda untuk menimang dan menimbang, bisa saja kita-lah yang salah menangkap dan menpersepsikan peristiwa. Di samping itu, agar kondisi batin kita kembali ke keadaan alamiahnya, yaitu stabil dan tenang. Dengan begitu Kamu bisa memberi reaksi tepat: mengabaikan, meluruskan permasalahan, atau menjatuhkan hukuman (kalau Anda hakim atau kaisar seperti zaman Seneca).
𝘒𝘦𝘵𝘶𝘫𝘶𝘩. Menjadikan tiap hal yang memantik bibit amarah menjadi banyolan. Dengan kemampuan ini, kita mampu menjadikan hal-hal yang umumnya dianggap serius berubah menjadi bahan banyolan atau lelucon. Amarah lebih mudah dikendalikan dan bibitnya terbonsai jika kita mampu menjadikan lelucon—dan ini alasan mengapa orang-orang cerdas gemar melempar 𝘥𝘢𝘳𝘬 𝘫𝘰𝘬𝘦𝘴, yaitu menjadikan apa saja yang dianggap tabu dan ngilu perasaan oleh umumnya ketika dibicarakan sebagai objek candaan dan lelucon.