Tentang kematian. Buku ini berisi petuah-petuah Seneca ke kawan dan orang-orang dekat yang butuh nasihat penghiburan. Yah, topik yang tabu bagi kebanyakan awam tetapi mendapat posisi penting dalam banyak perenungan para filsuf.
Terdiri lima bab, enam bersama epilog, buku How To Die (Sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal) yang entah editornya siapa ini adalah potongan-potongan petuah dalam surat-surat Seneca ke kawan dan kenalan, yang disusun sistematis sedemikian rupa.
Ada beberapa hal penting bisa kita tarik sebagai kesimpulan penting dari buku dengan total halaman ix + 157 ini.
Pertama. Seneca memberi nasihat kepada kita akan pentingnya merenungkan kematian agar kita siap kapan saja ia datang. Keterlemparan ke dunia ini dipungkasi kematian, kita harus bersiap diri secara mental dengan harapan kita mampu melewati fase itu dengan tidak banyak gangguan.
... bayi, anak kecil, atau orang-orang yang pikirannya terganggu tidak ada yang takut pada kematian; sangat menyedihkan apabila nalar tidak memberi kita rasa damai yang sama seperti dibuahkan oleh kebodohan (h. 7).
Kedua. Memandang positif kematian. Kebanyakan orang menakutkan kematian. Tak lebih sebagai proses alamiah, kematian tak dipungkiri menyandang predikat buruk dari kebanyakan manusia lintas zaman. Tidak dipungkiri sebagaimana kita jumpai bahkan sampai hari ini karena saking banyaknya para pembual tentang kematian dan setelah kematian bahwa itu menakutkan, yang mereka sendiri belum pernah mengalami.
Satu ketololan apabila mati karena takut akan kematian (h. 100).
Ketiga. Nilai kemuliaan terletak pada sikap bagaimana menghadapi kematian. Seperti halnya peristiwa alamiah kehidupan semisal kelahiran, mati itu adalah peristiwa alamiah yang sifatnya netral. Nilai mulia atau tidaknya terletak pada bagaimana kita menghadapi masa-masa menuju dan menjelang sekarat itu.
Bukan kematian yang mulia, tetapi menghadapi sakaratulmaut dengan berani.... Tidak ada yang mengagumi kematian; tetapi, kita kagum pada orang yang jiwanya terenggut sebelum terkacaukan (h. 34).
Keempat. Kematian adalah siklus materi. Sebagaimana disampaikan Seneca yang dikutip di awal dan akhir buku. Partikel atau materi yang tergabung dan menyusun bentuk atau rupa mengalami deformasi dan masing-masing partikel membentuk rupa-rupa baru, terlahir kembali.
Sesungguhnya segala hal yang tidak lagi tampak, dan yang telah kembali ke alam semesta tempat semua berasal (dan kemudian akan dilahirkan kembali), bukan berarti lenyap selama-lamanya (h. 5-6).
Kelima. Tidak perlu menyesali orang-orang dekat yang mati terlebih dahulu. Sebagaimana nasihatnya kepada putri sahabatnya, Marcia, yang anak remajanya telah mati karena penyakit dideritanya, kematian telah membebaskan kesengsaraan fisik yang telah ia tanggung. Kematian adalah satu-satunya jalan kebebasan bagi yang kesulitan menikmati hidup semisal orang berpenyakitan fisik dan mengalami penurunan fisik karena usia.
Seneca mengajarkan kepada kita bagaimana kita memandang peristiwa kematian yang terjadi pada orang terdekat sekitar menentukan kerelaan kita atau justru menyesalinya.
Keenam. Setiap manusia memiliki kebebasan memilih untuk hidup atau menjemput kematian.
Apa kau bahagia? Hiduplah jika memang demikian. Apa kau tidak bahagia? Kau boleh kembali ke tempatmu berasal jika memang demikian (h. 102).
Pada posisi ini, pandangan Seneca akan pilihan manusia berhadapan terhadap kematian mengandung dilema moral antara pro-choice atau pro-life.
Secara keseluruhan buku ini menurut saya adalah bacaan lumayan berat. Berat dalam arti, kematian memang bukan topik menyenangkan dibicarakan. Umumnya kita menabukannya. Tidak seperti yang mungkin dibayangkan bagi kebanyakan prokopton pemula, yang pertama mengenal Stoikisme.
Ketidaknyamanan menyeruak muncul dalam diri kita karena saking kuatnya, dalam istilah Seneca, "kecintaan kuat akan hidup". Atau dalam istilah biologi evolusioner, karena dalam diri kita memang ada dorongan untuk bertahan hidup selama mungkin, survival insting. Kadang disebut pula animal insting.