Kehidupan setiap orang, bersifat unik sehingga tidak ada jawaban preskriptif dapat diberikan kepada siapapun, .... Buku ini sekedar menawarkan refleksi kepada kehidupan Anda.
— Thomas Hidya Tjaya.
BUKU ini berisi tentang pemikiran tokoh filsafat. Membaca buku filsafat laku hidup atau eksistensialisme adalah mengenal pergulatan si tokoh, pikiran dan perasaan dengan dunianya.
Dalam buku ini ada beberapa tema didedah penulis: Kierkegaard dan perjalanan kehidupannya, corak filsafat Hegel dan penyanggahan Kierkegaard, kebenaran akan hakikat atau esensi atau makna sebagai subjektitivas, otentisitas diri, dan relasi terhadap yang transenden.
Topik-topik yang sekiranya mencirikan corak eksistensialisme Kierkegaard, yang termaktub di buku ini, dapat dipadatkan ke sub-sub berikut.
Kierkegaard dalam "Ad Hominem"
Eksistensi individu manusia adalah berhajat pada makna, untuk apa dan bagaimana eksistensi diri selayaknya dijalani dan dihidupi. Karenanya, membacai eksistensialisme Kierkegaard tidak bisa tidak perlu mengenal si filsuf dan kehidupannya. Yang demikian ini untuk memeroleh gambaran mendekati pemahaman jalan pikir kefilsafatannya. Lebih-lebih, eksistensialisme adalah filsafat yang mana individu didudukkan sebagaimana hidupnya sendiri. Karena itu, ad hominem adalah keniscayaan.
Prolog dan bab pertama memiliki benang kesamaan topik: mengenali sosok yang bagaimana Kierkegaard itu perjalanan hidupnya, lingkungan keluarga dan yang lebih luas seperti apa tumbuh dan membentuknya, yang dilibati dengan pikiran dan perasaan-perasaan. Juga dalam prolog, kita disuguhi gambaran umum pokok-pokok yang dibahas lebih seksama di bab dua dan seterusnya.
Pengalaman akan ayahnya dan keputusannya melepas pertunangannya dengan Regina Olsen, perempuan yang ia gambarkan luar biasa, yang ia cintai, yang menerima pinangannya karena iba.
Pengalaman hidupnya dengan ayahnya dan Regina merupakan dua faktor penting yang membuatnya sadar akan pentingnya kejernihan diri dan keotentikan hidup (h. 69).
Masa remaja yang telah kehilangan ibu dan lima saudarinya. Pengalaman-pengalaman hidup yang membekas, yang telah memberi dan membentuk corak kefilsafatannya.
Kierkegaard adalah sosok yang diliputi waswas dan kecemasan, eksistensi dalam keputusaasaannya dan pencari kepastian, dan penanya akan pengalaman-pengalaman eksistensialnya. Hasrat akan kepastian di dunia yang tiada kepastian.
Kerumunan Abstrak vs. Individu Konkrit
Paruh abad ke-19, filsafat Eropa didominasi corak idealisme. Tidak terkecuali Wilhem Frederich Hegel (1770–1831) mengembangkan filsafatnya. Walau begitu, corak filsafatnya menandai titik balik dari Abad Pertengahan. Perhatian pada dunia luar digantikan oleh perhatian pada yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.
Titik balik fokus filsfat dari dunia eksternal dan relasi manusia dengan yang digambarkan adikodrati, berbalik fokus pada manusia sebagai subjek.
Wilhem Frederich Hegel. |
Dialektika merupakan jalan menuju kebenaran, dan bahwa semua prinsip yang bertentangan dalam dunia kehidupan manusia ... pada akhirnya didamaikan dalam sejarah oleh sebuah proses dialektis yang rasional (h. 45).
Dialektika Hegel bertalian proses perkembangan manusia yang mengenal dan menyadari segala sesuatu menyeluruh, merangkum segala sesuatu yang tiada terbatas dan tak dikondisikan apapun. Ia istilahkan Roh absolut. Roh bagi Hegel adalah kesadaran yang berjuang mengenali dirinya sendiri dalam lintasan sejarah. Maka semua pengetahuan menurut Hegel adalah instrumen menggapai Realitas abolut, sebagai upaya pembebasan.
Dialektikanya adalah resiprokal. Dalam arti, pengetahuan terbangun dan memperbarui dirinya sendiri tidaklah satu arah, subjek yang mengetahui terhadap yang diketahui. Melainkan prosesnya timbal balik dua arah yang saling memengaruhi. Karena itu manusia tidak bisa tidak untuk menggapai kebenaran objektif ini ialah menggunakan pendekatan historis atau perkembangan kesejarahan manusia itu sendiri, yang dalam jalannya sejarah saling berlawanan dan mengoreksi satu sama lain. Itu semua menurut Hegel adalah keniscayaan mencapai pengetahuan absolut. Di titik inilah dialektika berhenti, pengetahuan manusia telah final, bersifat penuh dan menyeluruh. Kadang ia istilahkan sebagai Roh absolut dan Yang Absolut, yang bebas dari bias dan distorsi, tidak terikat konteks atau kondisi, dan tiada pertentangan dan inkonsistensi internal. Gampangnya, selesainya roda dialektika historis umat manusia dalam menemukan hakikat kehidupannya.
Ia bermaksud menciptakan suatu kerangka konseptual, sehingga masa lalu maupun masa depan dapat dipahami secara filosofis. Bahkan perasaan-perasaan manusia pun, seperti kemarahan, kecemasan, dan penderitaan, dapat dipahami dalam kerangka tersebut (h. 25).
Filsafat yang sistematik. Dengan demikian, sistem filsafat Hegel adalah semacam autobiografi kesadaran kolektif umat manusia mengenal identitasnya menyeluruh dalam jalan sejarah, selesainya pengetahuan umat manusia yang digapai kesadarannya mengenal realitas sesungguhnya.
Dapat dikatakan, Hegel adalah filsuf-pemerhati yang mengamati secara rasional dan mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa di panggung kehidupan, tidak melibatinya.
Bagi Kierkegaard, filsafat idealistik tentang Realitas absolut-nya Hegel, yaitu dialektika kehidupan umat manusia menuju kebenaran objektif, yang memandang keberadaan manusia sebagai anonimitas dan entitas abstrak adalah lelucon (comic), tidak masuk akal, tidak menyentuh pada pergulatan pikiran-dan-batin individu manusia sebagai agen kehidupan, yang dalam eksistensinya (mengada) berhadapan dengan babak-babak kehidupan yang dialami, atau pergulatannya dengan pengalaman-pengalaman personalnya dan pemaknaannya.
Yang ia [individu manusia] butuhkan bukanlah kumpulan pengetahuan sistematik mengenai kebenaran obyektif atau arah gerak ruh dalam sejarah, melainkan bagaimana hidup, membuat pilihan, dan mengambil keputusan yang benar (h. 9).
Hasrat akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bersinggungan dengan babak-babak kehidupannya, yang dialami dan dilibatinya secara mental dan dorongan-dorongan membuat keputusan-keputusan untuk dipilih atas itu.
Alih-alih menempatkan manusia sebagai komunitas abstrak dan anonim, hakikat kebenaran hidup manusia sebagai agen kehidupan adalah tidak lepas dari suka-duka, ketidakpastian yang selalu menuntut kepastian, kepahitan yang dialami, kecemasan yang acapkali melanda manusia. Karena itu, bagi Kierkegaard, yang dibutuhkan secara konkrit bagi si agen adalah berkaitan apa yang harus dilakukan, bukan apa yang bisa diketahui. Ini artinya kebenaran berkaitan memakna hidup sebagai subjektivitas.
Kebenaran baginya haruslah yang berbicara dan bermakna bagi hidupnya sebagai manusia .... Kebenaran selalu berkaitan dengan subyek, yakni dengan diri dan yang meyakini kebenaran itu secara pribadi (h. 111–112).
Alih-alih kebenaran objektif atau kebenaran absolut pada dirinya sendiri (bisa) digapai manusia, bagi Kierkegaard kebenaran sebagai subjektivitas.
Meski Kierkegaard-pun sadar bahwa manusia selalu berhasrat untuk meraih kebenaran yang menyeluruh serta purna, pengetahuan yang final; mengetahui hakikat dunianya sebagaimana mengadanya. Dan, bisa jadi juga tentang kebenaran objektif dan pemastian tentang setelah kehidupan dan keilahian.
Penekanannya adalah relasi individu manusia dengan aprioritas kebenaran yang dipilih. Bukan hakikat kebenaran itu sendiri.
Titik tolak filsafat dalam mendudukkan diri manusia parsial, sebagai lawan manusia sebagai kerumunan abstrak dan anonimitas ala Hegel, inilah yang menjadi pembeda. Jelaslah bagi Kierkegaard, eksistensi otentik adalah kebenaran sebagai subjektivitas, dan karenanya diri dengan kediriannya tiada kepalsuan. Yang batin kongruen dengan penampakan lahir.
Dalam kaitan mendudukkan manusia sebagai agen kehidupan,
Sistem filsafat Hegel yang didasarkan pada Rasio yang bersifat abstrak dan spekulatif sangat tidak memadai untuk memahami pergulatan eksistensial manusia, khususnya dalam menentukan pilihan-pilihan konkret dalam hidup.... Pemuliaan Rasio atau Logika dalam filsafat Hegel justru mengingkari dimensi hakiki eksistensi manusia, yakni kebebasan (h. 85).
Bagi Kierkegaard selama kehidupan berjalan, tidak ada realitas final. Untuk alasan itu, Kierkegaard berpaling pada subjektivitas. Hanya dalam subjektivitas ini eksistensi otentik bisa dicapai, karena digulati dan dipeluk dan tidak berada di luar diri.
Eksistensi Otentik dan Kepalsuan Kerumunan (Publik)
Kerumunan (publik) menurut Kierkegaard menghilangkan identitas konkrit individu. Manusia dalam kerumunan mengabaikan otentisitasnya demi konformitas. Individu tidak mencurahkan komitmen pada keotentikan dirinya. Padahal yang konkrit adalah individu, bukan kerumunan.
Bagi Kierkegaard memperjuangkan eksistensi otentik pertama-tama ... melawan segala bentuk kepalsuan hidup (83).
Yang dimaksud oleh Kierkergaard melalui kata kerumunan di sini adalah masyarakat atau publik Eropa Barat secara umum dan masyarakat Kristen Denmark, yang juga menjadi agama resmi negara Denmark pada abad ke-19. Tentu, praktis semua orang beragama Kristen.
Lahir dari keluarga Kristen, dibesarkan menjadi orang Kristen tanpa pernah memutuskan untuk menjadi orang Kristen, melakukan ritual Kristen seperti seharusnya, dan sebagainya. Orang nenyebut dirinya Kristen tanpa pernah memutuskan untuk menjadi Kristen atau bahkan berpikir apa artinya menjadi seorang Kristen (h. 76).
SΓΈren Aabye Kierkegaard. |
Kerumunan kuat menuntut konformitas. Komitmen eksistensi individu akan otentisitas, menurut Kierkegaard, hanya dapat diperjuangkan bagi individu hanya bila mampu membebaskan dirinya dari kerumunan.
Individu manusia adalah penentu nilai dan pengambil keputusan mengenai babak-babak pengalaman kehidupannya, ketika sudah menyangkut kepenuhan hidup dan identitas diri di dunia tanpa kepastian. Dan, ini adalah subjektivitas, memilih makna hidupnya untuk dihidupi.
Relasi dengan Yang Tiada Terbatas
Kierkegaad lahir dalam keluarga religius. Ayahnya, mendidiknya secara keras dan serius dalam hal agama. Semua peraturan agama harus ia jalani dengan patuh, walau apa yang harus dikerjakan dengan patuh dan setia itu dirasakannya sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya, tiada menghadirkan makna dan kepenuhan batin bagi keberadaan dirinya. Juga orang yang lahir di tengah masyarakat di zaman di mana keagamaan masih kuat sebagai tradisi komunal masyarakatnya, Denmark.
Michael Pedersen, ayah Kierkegaard, adalah sosok baik dan saleh di mata anak-anaknya. Keterkejutan Keirkegaard muda mengetahui ayahnya yang saleh ini tinggal serumah dengan ibunya, yang dulu sebagai pembantunya. Tidak sampai di situ, sisi religiusme Kierkegaard digoyahkan lagi ketika ayahnya mengutuki Tuhan karena keputusasaan. Ketidakotentikan kehidupan ayahnya, atau kepalsuan hidupnya, adalah sekian pemantik jalan kefilsafatannya. Kepalsuan adalah tidak kongruennya antara yang batin dengan penampakan lahir.
Tidak mengherankan bila penghayatan akan agamanya menggelora dan di beberapa tulisannya mengkritik pada keagamaan—yaitu relasi dengan Yang Tiada Terbatas—yang dangkal. Kritik dan telaahnya terhadap kegagalan bereksistensi (memakna hidup) publik Denmark, yang Kristiani, adalah hal menarik.
Orang hanya menjalani ritual dan apa yang biasa dilakukan atau diharapkan oleh orang lain tanpa penghayatan pribadi pada apa yang dilakukan (h. 77).
Perlu digarisbawahi, yang Kierkegaard kehendaki dengan kebenaran sebagai subjektivitas bukan kebenaran ilmu pengetahuan/sains, melainkan kebenaran nilai yang dirumuskan diri seseorang. Itu berkaitan moral dan religiusitas, yakni menyangkut cara menghayati kehidupannya, nilai-nilai yang dilibati dan dipeluk, keputusan-keputusan diambil, dst. Itu melingkupi pula keimanan, yang merupakan manifestasi ketadikpastian objektif kehidupan manusia yang dipeluk erat-erat oleh hasrat batin.
Keimanan dalam arti ini adalah kebenaran apriori. Dalam arti, dipeluk dan dilingkupi sebagai kebenaran dalam memakna diri, apa yang diputuskan dan dipilih sebagai kebenaran, untuk kepenuhan hidup diri. Sebagai kebenaran subjektif, iman oleh Kierkegaard didefinisikan,
kontradiksi antara hasrat tak terbatas batin sang individu dan ketidakpastian obyektif (h. 128).
Pendeknya, iman adalah ketidakpastian objektif eksistensi individu yang mewaktu (terbatas/temporal) dan hasrat melampaui keterbatasannya.
Kalau manusia mendaku dapat mengenal Allah secara obyektif, pendakuan seperti ini justru harus dipertanyakan karena bagaimanapun Yang Tak Terbatas tidak dapat dikenali sepenuhnya oleh yang terbatas (h. 127).
Penutup
Tulisan ini, sebagai pemadatan tema-tema buku diulas, meski dirasa kurang komprehensif, harapannya bisa membantu memberi kunci-kunci pembacaan buku, tentu bagi yang berkenan atau tergerak membacanya. Menyederhanakan hal kompleks adalah usaha memahami. Walau begitu, buku-buku tema filsafat laku hidup, eksistensialisme, adalah bacaan yang tidak mudah dipahami. Lebih-lebih, sistematikanya tak seteratur filsafat analitik yang menekankan struktur dan pemahaman praktis.
Buku-buku kefilsafatan yang disusun oleh orang ketiga, yang saya istilahkan "buku perantara", sangat membantu bagi siapa saja sebelum membaca langsung ke naskah-naskah yang ditulis si tokoh fiksuf. Karena, meski tema-temanya dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, bagaimanapun membacai tulisan dan istilah-istilah yang mereka gunakan acapkali seperti memanjat menara gading. Cerminan pemikiran mereka yang kompleks.
Pada akhirnya sebagaimana saya pahami, gagasan inti eksistensialisme adalah tentang bagaimana diri selaku subjek pelaku kehidupan, terlepas salah atau benar keputusan diambil bagi hidupnya, mampu dan bahagia dalam mengalami setiap babak kehidupan dialami yang silih berganti. Usaha setiap yang mengada menghidupi kehidupannya, memaknainya, dan perjuangan mengusahakan kepenuhan batin.[*]