Langsung ke konten utama

Bedah Buku "Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri"

Kehidupan setiap orang, bersifat unik sehingga tidak ada jawaban preskriptif dapat diberikan kepada siapapun, .... Buku ini sekedar menawarkan refleksi kepada kehidupan Anda.

                               — Thomas Hidya Tjaya.


BUKU ini berisi tentang pemikiran tokoh filsafat. Membaca buku filsafat laku hidup atau eksistensialisme adalah mengenal pergulatan si tokoh, pikiran dan perasaan dengan dunianya. 

Dalam buku ini ada beberapa tema didedah penulis: Kierkegaard dan perjalanan kehidupannya, corak filsafat Hegel dan penyanggahan Kierkegaard, kebenaran akan hakikat atau esensi atau makna sebagai subjektitivas, otentisitas diri, dan relasi terhadap yang transenden.


Topik-topik yang sekiranya mencirikan corak eksistensialisme Kierkegaard, yang termaktub di buku ini, dapat dipadatkan ke sub-sub berikut.


Kierkegaard dalam "Ad Hominem"

Eksistensi individu manusia adalah berhajat pada makna, untuk apa dan bagaimana eksistensi diri selayaknya dijalani dan dihidupi. Karenanya, membacai eksistensialisme Kierkegaard tidak bisa tidak perlu mengenal si filsuf dan kehidupannya. Yang demikian ini untuk memeroleh gambaran mendekati pemahaman jalan pikir kefilsafatannya. Lebih-lebih, eksistensialisme adalah filsafat yang mana individu didudukkan sebagaimana hidupnya sendiri. Karena itu, ad hominem adalah keniscayaan.

Prolog dan bab pertama memiliki benang kesamaan topik: mengenali sosok yang bagaimana Kierkegaard itu perjalanan hidupnya, lingkungan keluarga dan yang lebih luas seperti apa tumbuh dan membentuknya, yang dilibati dengan pikiran dan perasaan-perasaan. Juga dalam prolog, kita disuguhi gambaran umum pokok-pokok yang dibahas lebih seksama di bab dua dan seterusnya.

Pengalaman akan ayahnya dan keputusannya melepas pertunangannya dengan Regina Olsen, perempuan yang ia gambarkan luar biasa, yang ia cintai, yang menerima pinangannya karena iba. 

Pengalaman hidupnya dengan ayahnya dan Regina merupakan dua faktor penting yang membuatnya sadar akan pentingnya kejernihan diri dan keotentikan hidup (h. 69).

Masa remaja yang telah kehilangan ibu dan lima saudarinya. Pengalaman-pengalaman hidup yang membekas, yang telah memberi dan membentuk corak kefilsafatannya.

Kierkegaard adalah sosok yang diliputi waswas dan kecemasan, eksistensi dalam keputusaasaannya dan pencari kepastian, dan penanya akan pengalaman-pengalaman eksistensialnya. Hasrat akan kepastian di dunia yang tiada kepastian.


Kerumunan Abstrak vs. Individu Konkrit

Paruh abad ke-19, filsafat Eropa didominasi corak idealisme. Tidak terkecuali Wilhem Frederich Hegel (1770–1831) mengembangkan filsafatnya. Walau begitu, corak filsafatnya menandai titik balik dari Abad Pertengahan. Perhatian pada dunia luar digantikan oleh perhatian pada yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.

Titik balik fokus filsfat dari dunia eksternal dan relasi manusia dengan yang digambarkan adikodrati, berbalik fokus pada manusia sebagai subjek.

Wilhem Frederich Hegel.
Idealisme adalah filsafat dengan penekanan pada rasionalitas, wujud dunia bergantung pada gagasan yang kita umat manusia bangun melalui akalbudi, hasil kegiatan sadar umat manusia, kesadaran universal, yang sedang berusaha merealisasikan absolut-Geist agar menjadi eksplisit dan final.

Dialektika merupakan jalan menuju kebenaran, dan bahwa semua prinsip yang bertentangan dalam dunia kehidupan manusia ... pada akhirnya didamaikan dalam sejarah oleh sebuah proses dialektis yang rasional (h. 45).

Dialektika Hegel bertalian proses perkembangan manusia yang mengenal dan menyadari segala sesuatu menyeluruh, merangkum segala sesuatu yang tiada terbatas dan tak dikondisikan apapun. Ia istilahkan Roh absolut. Roh bagi Hegel adalah kesadaran yang berjuang mengenali dirinya sendiri dalam lintasan sejarah. Maka semua pengetahuan menurut Hegel adalah instrumen menggapai Realitas abolut, sebagai upaya pembebasan.

Dialektikanya adalah resiprokal. Dalam arti, pengetahuan terbangun dan memperbarui dirinya sendiri tidaklah satu arah, subjek yang mengetahui terhadap yang diketahui. Melainkan prosesnya timbal balik dua arah yang saling memengaruhi. Karena itu manusia tidak bisa tidak untuk menggapai kebenaran objektif ini ialah menggunakan pendekatan historis atau perkembangan kesejarahan manusia itu sendiri, yang dalam jalannya sejarah saling berlawanan dan mengoreksi satu sama lain. Itu semua menurut Hegel adalah keniscayaan mencapai pengetahuan absolut. Di titik inilah dialektika berhenti, pengetahuan manusia telah final, bersifat penuh dan menyeluruh. Kadang ia istilahkan sebagai Roh absolut dan Yang Absolut, yang bebas dari bias dan distorsi, tidak terikat konteks atau kondisi, dan tiada pertentangan dan inkonsistensi internal. Gampangnya, selesainya roda dialektika historis umat manusia dalam menemukan hakikat kehidupannya. 

Ia bermaksud menciptakan suatu kerangka konseptual, sehingga masa lalu maupun masa depan dapat dipahami secara filosofis. Bahkan perasaan-perasaan manusia pun, seperti kemarahan, kecemasan, dan penderitaan, dapat dipahami dalam kerangka tersebut (h. 25).

Filsafat yang sistematik. Dengan demikian, sistem filsafat Hegel adalah semacam autobiografi kesadaran kolektif umat manusia mengenal identitasnya menyeluruh dalam jalan sejarah, selesainya pengetahuan umat manusia yang digapai kesadarannya mengenal realitas sesungguhnya.

Dapat dikatakan, Hegel adalah filsuf-pemerhati yang mengamati secara rasional dan mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa di panggung kehidupan, tidak melibatinya.

Bagi Kierkegaard, filsafat idealistik tentang Realitas absolut-nya Hegel, yaitu dialektika kehidupan umat manusia menuju kebenaran objektif, yang memandang keberadaan manusia sebagai anonimitas dan entitas abstrak adalah lelucon (comic), tidak masuk akal, tidak menyentuh pada pergulatan pikiran-dan-batin individu manusia sebagai agen kehidupan, yang dalam eksistensinya (mengada) berhadapan dengan babak-babak kehidupan yang dialami, atau pergulatannya dengan pengalaman-pengalaman personalnya dan pemaknaannya.

Yang ia [individu manusia] butuhkan bukanlah kumpulan pengetahuan sistematik mengenai kebenaran obyektif atau arah gerak ruh dalam sejarah, melainkan bagaimana hidup, membuat pilihan, dan mengambil keputusan yang benar (h. 9).

Hasrat akan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bersinggungan dengan babak-babak kehidupannya, yang dialami dan dilibatinya secara mental dan dorongan-dorongan membuat keputusan-keputusan untuk dipilih atas itu.

Alih-alih menempatkan manusia sebagai komunitas abstrak dan anonim, hakikat kebenaran hidup manusia sebagai agen kehidupan adalah tidak lepas dari suka-duka, ketidakpastian yang selalu menuntut kepastian, kepahitan yang dialami, kecemasan yang acapkali melanda manusia. Karena itu, bagi Kierkegaard, yang dibutuhkan secara konkrit bagi si agen adalah berkaitan apa yang harus dilakukan, bukan apa yang bisa diketahui. Ini artinya kebenaran berkaitan memakna hidup sebagai subjektivitas. 

Kebenaran baginya haruslah yang berbicara dan bermakna bagi hidupnya sebagai manusia .... Kebenaran selalu berkaitan dengan subyek, yakni dengan diri dan yang meyakini kebenaran itu secara pribadi (h. 111–112).

Alih-alih kebenaran objektif atau kebenaran absolut pada dirinya sendiri (bisa) digapai manusia, bagi Kierkegaard kebenaran sebagai subjektivitas.

Meski Kierkegaard-pun sadar bahwa manusia selalu berhasrat untuk meraih kebenaran yang menyeluruh serta purna, pengetahuan yang final; mengetahui hakikat dunianya sebagaimana mengadanya. Dan, bisa jadi juga tentang kebenaran objektif dan pemastian tentang setelah kehidupan dan keilahian.

Penekanannya adalah relasi individu manusia dengan  aprioritas kebenaran yang dipilih. Bukan hakikat kebenaran itu sendiri.

Titik tolak filsafat dalam mendudukkan diri manusia parsial, sebagai lawan manusia sebagai kerumunan abstrak dan anonimitas ala Hegel, inilah yang menjadi pembeda. Jelaslah bagi Kierkegaard, eksistensi otentik adalah kebenaran sebagai subjektivitas, dan karenanya diri dengan kediriannya tiada kepalsuan. Yang batin kongruen dengan penampakan lahir.

Dalam kaitan mendudukkan manusia sebagai agen kehidupan, 

Sistem filsafat Hegel yang didasarkan pada Rasio yang bersifat abstrak dan spekulatif sangat tidak memadai untuk memahami pergulatan eksistensial manusia, khususnya dalam menentukan pilihan-pilihan konkret dalam hidup.... Pemuliaan Rasio atau Logika dalam filsafat Hegel justru mengingkari dimensi hakiki eksistensi manusia, yakni kebebasan (h. 85).

Bagi Kierkegaard selama kehidupan berjalan, tidak ada realitas final. Untuk alasan itu, Kierkegaard berpaling pada subjektivitas. Hanya dalam subjektivitas ini eksistensi otentik bisa dicapai, karena digulati dan dipeluk dan tidak berada di luar diri. 


Eksistensi Otentik dan Kepalsuan Kerumunan (Publik)

Kerumunan (publik) menurut Kierkegaard menghilangkan identitas konkrit individu. Manusia dalam kerumunan mengabaikan otentisitasnya demi konformitas. Individu tidak mencurahkan komitmen pada keotentikan dirinya. Padahal yang konkrit adalah individu, bukan kerumunan.

Bagi Kierkegaard memperjuangkan eksistensi otentik pertama-tama ... melawan segala bentuk kepalsuan hidup (83).

Yang dimaksud oleh Kierkergaard melalui kata kerumunan di sini adalah masyarakat atau publik Eropa Barat secara umum dan masyarakat Kristen Denmark, yang juga menjadi agama resmi negara Denmark pada abad ke-19. Tentu, praktis semua orang beragama Kristen.

Lahir dari keluarga Kristen, dibesarkan menjadi orang Kristen tanpa pernah memutuskan untuk menjadi orang Kristen, melakukan ritual Kristen seperti seharusnya, dan sebagainya. Orang nenyebut dirinya Kristen tanpa pernah memutuskan untuk menjadi Kristen atau bahkan berpikir apa artinya menjadi seorang Kristen (h. 76).

SΓΈren Aabye Kierkegaard.
Dalam pandangannya, kerumunan telah menghilangkan otentisitas individu, digantikan abstraksi kerumunan. Individu yang di tengah kerumunan akan mengalami kedangkalan diri dan formalisme. Tanpa makna bagi eksistensi konkritnya tersebut. Ini yang disebutnya sebagai keputusasaan atau kegagalan bereksistensi, menurut Kierkegaard.


Kerumunan kuat menuntut konformitas. Komitmen eksistensi individu akan otentisitas, menurut Kierkegaard, hanya dapat diperjuangkan bagi individu hanya bila mampu membebaskan dirinya dari kerumunan. 

Individu manusia adalah penentu nilai dan pengambil keputusan mengenai babak-babak pengalaman kehidupannya, ketika sudah menyangkut kepenuhan hidup dan identitas diri di dunia tanpa kepastian. Dan, ini adalah subjektivitas, memilih makna hidupnya untuk dihidupi.


Relasi dengan Yang Tiada Terbatas

Kierkegaad lahir dalam keluarga religius. Ayahnya, mendidiknya secara keras dan serius dalam hal agama. Semua peraturan agama harus ia jalani dengan patuh, walau apa yang harus dikerjakan dengan patuh dan setia itu dirasakannya sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya, tiada menghadirkan makna dan kepenuhan batin bagi keberadaan dirinya. Juga orang yang lahir di tengah masyarakat di zaman di mana keagamaan masih kuat sebagai tradisi komunal masyarakatnya, Denmark. 

Michael Pedersen, ayah Kierkegaard, adalah sosok baik dan saleh di mata anak-anaknya. Keterkejutan Keirkegaard muda mengetahui ayahnya yang saleh ini tinggal serumah dengan ibunya, yang dulu sebagai pembantunya. Tidak sampai di situ, sisi religiusme Kierkegaard digoyahkan lagi ketika ayahnya mengutuki Tuhan karena keputusasaan. Ketidakotentikan kehidupan ayahnya, atau kepalsuan hidupnya, adalah sekian pemantik jalan kefilsafatannya. Kepalsuan adalah tidak kongruennya antara yang batin dengan penampakan lahir.

Tidak mengherankan bila penghayatan akan agamanya menggelora dan di beberapa tulisannya mengkritik pada keagamaan—yaitu relasi dengan Yang Tiada Terbatas—yang dangkal. Kritik dan telaahnya terhadap kegagalan bereksistensi (memakna hidup) publik Denmark, yang Kristiani, adalah hal menarik.

Orang hanya menjalani ritual dan apa yang biasa dilakukan atau diharapkan oleh orang lain tanpa penghayatan pribadi pada apa yang dilakukan (h. 77).

Perlu digarisbawahi, yang Kierkegaard kehendaki dengan kebenaran sebagai subjektivitas bukan kebenaran ilmu pengetahuan/sains, melainkan kebenaran nilai yang dirumuskan diri seseorang. Itu berkaitan moral dan religiusitas, yakni menyangkut cara menghayati kehidupannya, nilai-nilai yang dilibati dan dipeluk, keputusan-keputusan diambil, dst. Itu melingkupi pula keimanan, yang merupakan manifestasi ketadikpastian objektif kehidupan manusia yang dipeluk erat-erat oleh hasrat batin.

Keimanan dalam arti ini adalah kebenaran apriori. Dalam arti, dipeluk dan dilingkupi sebagai kebenaran dalam memakna diri, apa yang diputuskan dan dipilih sebagai kebenaran, untuk kepenuhan hidup diri. Sebagai kebenaran subjektif, iman oleh Kierkegaard didefinisikan,

kontradiksi antara hasrat tak terbatas batin sang individu dan ketidakpastian obyektif (h. 128).

Pendeknya, iman adalah ketidakpastian objektif eksistensi individu yang mewaktu (terbatas/temporal) dan hasrat melampaui keterbatasannya.

Kalau manusia mendaku dapat mengenal Allah secara obyektif, pendakuan seperti ini justru harus dipertanyakan karena bagaimanapun Yang Tak Terbatas tidak dapat dikenali sepenuhnya oleh yang terbatas (h. 127).


Penutup

Tulisan ini, sebagai pemadatan tema-tema buku diulas, meski dirasa kurang komprehensif, harapannya bisa membantu memberi kunci-kunci pembacaan buku, tentu bagi yang berkenan atau tergerak membacanya. Menyederhanakan hal kompleks adalah usaha memahami. Walau begitu, buku-buku tema filsafat laku hidup, eksistensialisme, adalah bacaan yang tidak mudah dipahami. Lebih-lebih, sistematikanya tak seteratur filsafat analitik yang menekankan struktur dan pemahaman praktis.

Buku-buku kefilsafatan yang disusun oleh orang ketiga, yang saya istilahkan "buku perantara", sangat membantu bagi siapa saja sebelum membaca langsung ke naskah-naskah yang ditulis si tokoh fiksuf. Karena, meski tema-temanya dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, bagaimanapun membacai tulisan dan istilah-istilah yang mereka gunakan acapkali seperti memanjat menara gading. Cerminan pemikiran mereka yang kompleks.

Pada akhirnya sebagaimana saya pahami, gagasan inti eksistensialisme adalah tentang bagaimana diri selaku subjek pelaku kehidupan, terlepas salah atau benar keputusan diambil bagi hidupnya, mampu dan bahagia dalam mengalami setiap babak kehidupan dialami yang silih berganti. Usaha setiap yang mengada menghidupi kehidupannya, memaknainya, dan perjuangan mengusahakan kepenuhan batin.[*]


Postingan populer dari blog ini

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha

The Wisdom of Insecurity: Berbahagia di Tengah Jalannya Kehidupan Tak Pasti

Sejarah umat manusia dari generasi ke generasi ditandai oleh kecemasan dan ketidakamanan/ketidaknyamanan ( insecure ), yang diistilahkan dukkha dalam literatur Buddhisme. Bersama bagaimana cara terbebas dari itu, ini adalah poin pokok buku.  Sampul buku. Kecemasan melanda psikis manusia karena ketidaktahuan mereka terhadap kecenderungan mental dan penyangkalan terhadap sifat dunia ini yang selalu berubah dan tidak pasti. Pembebasan manusia dari kecemasan dan perasaan insecure hanya bisa dilakukan melalui pelepasan pandangan ego-diri, atau kesadaran bahwa aku tak terpisah dari bukan-aku, keterpisahan hanyalah eksis di pikiran bukan pada kemyataan itu sendiri, atau terbebas dari ilusi pandangan atta , dan hidup yang, dalam ungkapan eksentrik Watts,  here and now . Dalam buku ini Watts dengan cerdik memberi tahu pembacanya bagaimana mengatasi fenomena psikologis purba itu tanpa mengasosiasikan pendekatannya dengan Zen Buddhisme sama sekali. Watts sepertinya menghindari kecenderungan anti

Veganisme dan Welas Asih

Ditanya, Apakah Buddhisme melarang memakan hewan? Dan apakah memakan hewan itu berpengaruh ke spiritual kita? Saya pribadi bukan Buddhis kultural. Saya memperlakukan ajaran bukan sebagai identitas sosial tetapi kebutuhan personal bagaimana hidup di dunia ini saat ini, mengambil yang dibutuhkan dan "membiarkan" sisanya. Saya mengadaptasinya untuk kebutuhan spirit personal. Apa yang tertulis setelah ini hanya opini pribadi. Jika ada yang baik, ambillah. Jika tak ada,  ya anggap angin lalu. Kenyataan Kerja Alam Amati dan perhatikan kenyataan sekitar. Fakta telanjang adalah kehidupan di Bumi ini terdesain saling memakan untuk mendapatkan energi. Mengapa demikian, itu dimungkinkan karena kesamaan moyang, the last universal common ancestor (LUCA). Dari pemahaman ini pula kita menyadari bahwa kita tiada beda dengan apa pun, apa pun. Bahkan jika diselami lebih jauh, semua yang dipersepsikan kita seolah berbeda dan terpisah satu sama lain sejatinya bersumber pada hal sama. Anggapan

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa

5 Ide Filsuf tentang Kematian

Kepastian dari dilahirkan adalah mati. Kematian adalah keniscayaan tidak dapat disingkiri oleh perjalanan setiap yang disebut hidup. Entah kita mengartikan sebagai kelegaan membebaskan atau ancaman menakutkan tergantung bagaimana kita mempersepsikannya. Pemakaman di Desa Trunyan, Kintamani, Kab. Bangli, di Bali. Ironi eksistensi adalah bahwa kita dilahirkan untuk mengalami proses perubahan: menua, sakit, dan mati. Kita mengerti pada akhirnya hidup ini akan berakhir dan kesadaran eksistensial ini berhenti. Meski kita juga tidak tahu persisnya kapan dan bagaimana proses atau cara kematian kita itu. Pun kita buta tentang apa yang terjadi setelah kita mati. Kematian menjadi subjek penting dalam perenungan lintas generasi manusia. Banyak ide tentang kematian kita dengar, baik yang disampaikan oleh para klerik agama, terdengar dalam balutan mitologi di setiap lingkaran kebudayaan, ataupun para filsuf. Kematian  menjadi subjek penting kefilsafatan. Tulisan ini menyuguhkan beberapa ide para fi

Resensi Zen Mind Beginner's Mind Karya Shunryu Suzuki

Buku versi bahasa Indonesia karya Shunryu Suzuki ini adalah langka. Naskah mentah buku adalah ceramah-ceramah berkala Suzuki-roshi kepada kelompok meditasi  Los Altos Zen , California .  S ecara umum tentang teknik-teknik zazen , yang ajeg direkam salah satu muridnya bernama Marian Derby. Walau disampaikan sebagai gambaran teknis, ada pesan-pesan segar terselip. Zazen adalah semacam duduk untuk duduk. Meski begitu, ini adalah sarana penting untuk merealisasi Zen, istilah teknis yang bersinonim pikiran murni atau kebuddhaan, sebagaimana saya tangkap dalam pesan naskah buku ini.  Tak seperti buku D.T. Suzuki yang bagi orang yang pertama kali berkenalan dengan Zen sepintas tampak provokatif dan vulgar, buku ini disuguhkan dengan gaya penyampaian agak datar. Meski di beberapa bagian, Suzuki-roshi memberi gambaran yang menurut persepsi awam kita juga vulgar, misalnya: Seorang guru Zen berkata, 'Bunuh Buddha!' Bunuh Buddha jika Γ¬a ada di sebuah tempat. Bunuh Buddha, sebab Anda harus

10 Falasafah Hidup Orang Jepang yang Dapat Dicontoh

Jepang adalah bangsa tua yang kaya akan budaya, inovasi teknologi, dan kuliner. Dari bangsa Jepang, kita bisa memetik falsafah hidup. Ide-ide fundamental yang menjadi landasan mendalam bagaimana individunya menjalani eksitensinya. Kita bisa belajar singkat di sini nilai-nilai itu dengan harapan membuat cara kita hidup lebih bermakna, entah itu tentang diri atau relasi sesama. 1/ Ikigai Ikigai adalah berkenaan menemukan ke dalam diri alasan mengapa diri saya layak melanjutkan kehidupan ini dan bagaimana hidup saya harus saya maknai. Setiap individu mencari esensi dari eksistensi ini ke dalam  diri. Inti falsafah ini ada jalinan antara apa yang ingin dituju, nurani memanggilku ke mana, dan profesi apa yang sekiranya memberi “alasan bereksistensi”. Ikigai mengajak kita untuk mengeksplorasi titik keseimbangan antara apa yang kita sukai, apa yang kita kuasai, apa yang diperlukan dunia ini dari saya, dan apa yang dapat menopang diri secara finansial. Berakar pada pandangan dunia secara holi

Proselitisme dan Buddhisme

Terlepas ia mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormati para klerik dan para pengikut agama mana saja, Sang Buddha secara terbuka tak setuju dengan banyak aspek cara pengajaran yang disampaikan para Brahmin, Jain, juga dari agama lain. Memang tak disangkal ada sebagian Buddhis secara agresif menganjurkan proselitisme. Proselitisme keagamaan adalah berdakwah atau pengabaran ke kelompok luar dengan tujuan menarik mereka masuk ke dalam kelompoknya.  Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diperjelas di sini bahwa proselitisme tidak sama dengan sekadar berbagi pengetahuan tentang keagamaan dimana kita tanpa maksud dalam batin menarik dan apalagi memaksa serta dengan tipu daya mempersulit orang lain yang berbeda agama agar masuk ke dalam laku spiritual hidup kita, Buddhisme. Kita semua mafhum jika beberapa agama sangat menganjurkan dan begitu agresif mencari pengikut sebanyak mungkin agar bergabung ke dalam kelompok agamanya, karena satu dan lain alasan. Jika kita melacak ke masa

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suΓ±Γ±ata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, artinya "beba