Sejarah umat manusia dari generasi ke generasi ditandai oleh kecemasan dan ketidakamanan/ketidaknyamanan (insecure), yang diistilahkan dukkha dalam literatur Buddhisme. Bersama bagaimana cara terbebas dari itu, ini adalah poin pokok buku.
Sampul buku. |
Kecemasan melanda psikis manusia karena ketidaktahuan mereka terhadap kecenderungan mental dan penyangkalan terhadap sifat dunia ini yang selalu berubah dan tidak pasti. Pembebasan manusia dari kecemasan dan perasaan insecure hanya bisa dilakukan melalui pelepasan pandangan ego-diri, atau kesadaran bahwa aku tak terpisah dari bukan-aku, keterpisahan hanyalah eksis di pikiran bukan pada kemyataan itu sendiri, atau terbebas dari ilusi pandangan atta, dan hidup yang, dalam ungkapan eksentrik Watts, here and now.
Dalam buku ini Watts dengan cerdik memberi tahu pembacanya bagaimana mengatasi fenomena psikologis purba itu tanpa mengasosiasikan pendekatannya dengan Zen Buddhisme sama sekali. Watts sepertinya menghindari kecenderungan antipati emosional kita terhadap gelombang tertentu—yang jika kita interpretasikan gelombang tersebut, makna yang tertangkap disebut kata dan bahasa.
Kebahagiaan, atau ayem batin dalam istilah Jawa, adalah hal yang paling hakiki diidamkan semua manusia, sekalipun banyak manusia tidak tahu menemukan cara ampuh untuk mengatasi kecemasan dan ketidaknyamanan batin nggrambyang ora karuan. Dan mereka memilih tetap dalam kebingungan, karena kebanyakan mereka berat melepaskan segala sesuatu yang sebenarnya tiada mampu menyediakan perlindungam untuk terciptanya batin kokoh ayem bahagia, termasuk melepas yang dikultuskan pikirannya.
Kehidupan mental manusia adalah silih ganti ayunan jika tidak ke sensasi kebahagian/kesenangan, pasti berayun ke sensasi sebaliknya. Bagaimana cara hidup dengan mental yang bahagia kokoh dan langgeng di dunia yang tidak pasti ini? Yep, buku The Wisdom of Insecurity ini mengulas perihal itu dan bagaimana menciptakan kepuasan batin psikis di dunia yang tak pasti.
Siapa Penulis?
Alan Watts. |
Mengapa Layak Baca?
Seringnya, besarnya sensasi bahagia yang muncul di otak kita sebanding besarnya sensasi penderitaan yang akan kita rasakan. |