Terlepas ia mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormati para klerik dan para pengikut agama mana saja, Sang Buddha secara terbuka tak setuju dengan banyak aspek cara pengajaran yang disampaikan para Brahmin, Jain, juga dari agama lain. Memang tak disangkal ada sebagian Buddhis secara agresif menganjurkan proselitisme. Proselitisme keagamaan adalah berdakwah atau pengabaran ke kelompok luar dengan tujuan menarik mereka masuk ke dalam kelompoknya.
Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diperjelas di sini bahwa proselitisme tidak sama dengan sekadar berbagi pengetahuan tentang keagamaan dimana kita tanpa maksud dalam batin menarik dan apalagi memaksa serta dengan tipu daya mempersulit orang lain yang berbeda agama agar masuk ke dalam laku spiritual hidup kita, Buddhisme.
Dalam Vinaya-Pitaka, satu dari tiga pitaka, yang berisi pedoman bagi siapa saja yang memilih kehidupan membiara, melarang bikkhu dan bikkhuni berceramah ke orang yang tampaknya tidak tertarik atau sekiranya akan melecehkan ajaran Guru Agung. Anjuran untuk tidak membicarakan atau berceramah tentang Dhamma berlaku pula ke orang yang sedang dalam kendaraan, sedang berjalan, atau yang tertarik menyimak ceramah dhamma dalam posisi duduk sementara sang bikkhu yang menyampaikan tentang dhamma dalam posisi berdiri.
Intinya, bukanlah tindakan patut dan terpuji menghampiri dan menyetop orang tidak dikenal di jalan atau mendatangi rumah orang satu per satu dan bertanya apa mereka telah menemukan Kecerahan.
Banyak kalangan di luar Buddhis mungkin heran dan bingung mengapa Buddhis tidak tertarik dan ogah berdakwah, mempromosikan, dan menyebarkan agama laku spiritualnya. Dapat dimaklumi karena di ajaran non-Buddhisme tadi melakukan usaha apa pun untuk mengubah orang lain agar ikut agamanya adalah dianggap amal kebaikan, tindakan patut, dan mendapat pahala.
Meski begitu, banyak dari kita siswa Sang Buddha berikrar untuk membantu semua makhluk merealisasi kecerahan, pintu masuk menemukan kebahagiaan ke dalam diri mereka sendiri, yang telah ada dalam dirinya sendiri. Tugas para siswa Sang Buddha adalah berbuat baik konkrit, membantu sesama konkrit, dan menunjukkan kebahagiaan asali yang sudah ada di dalam diri para mahluk agar terbebas dari kebingungan batin dan kegelisahan hidup. Ini hanyalah itikad sederhana, berbagi kebijaksanaan, Kebahagiaan Sejati atau kebahagiaan non-stimulua, kepada semua. Sejak zaman Sang Buddha, para Buddhis telah berpindah dari satu ke lain tempat untuk membuat apa yang disampaikan Sang Buddha tersedia bagi siapa saja yang tergerak menolong dirinya sendiri menyudahi kegelisahan batin dan kebingungan hidup.
Intinya Buddhis tidak tertarik mengubah kolom agama di KTP seseorang. Saya kira hal itu tak ada gunanya bagi orang tersebut dan tidaklah mungkin hanya mengganti kolom saja menjadikan orang itu menyadari Kebahagiaan Sejati (ayem batin langgeng). Buddhis tidak berusaha "menjual" Buddhisme ke pihak yang tidak tertarik. Mengapa?
Sang Buddha Tak Tertarik Menarik Pengikut
Dalam Sutta-Pitaka, sebuah teks berbahasa Pali, di Ayacana Sutta (Samyutta Nikaya 6) dituliskan bahwa Sang Buddha sendiri enggan untuk mengajar setelah kecerahannya, meski beliau pada akhirnya memilih untuk mengajar ke orang-orang yang tergerak menyudahi kebingungan.
Dharma ini mendalam, sulit dilihat, sulit disadari, damai, begitu subtil, di luar jangkauan persangkaan pikiran, halus, tiada dapat dijangkau oleh orang bijak hanya melalui pengalaman.
Beliau sadar betul bahwasanya orang-orang akan salah tangkap ketika ia membabarkan tentang dhamma. Untuk menyadari akan dhamma, seseorang haruslah mengasah dan melatih praktik kanti laku "mengalami kebijaksanaan" yang tak lain oleh dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri.
Dengan kata lain, mendakwahkan dan mempromosikam dhamma hanya akan melahirkan masalah. Sebab ini sama halnya menciptakan doktrin-doktrin artifisial agar diimani orang-orang, untuk dilekatkan ke pikirannya. Ini tak ubahnya menumpukkan ubin-ubin di atas kepala.
Buddhisme sekadar menunjukkan kepada orang-orang di kehidupan kini ini untuk menyadari dhamma, untuk merealisasi Kebahagiaan Sejati oleh mereka sendiri, menemukan itu di dalam diri mereka sendiri. Buddhisme sekadar sebuah penunjuk arah (road maps) yang harus dilalui oleh mereka. Butuh komitmen dan tekad. Orang tidak akan sanggup dan tergerak sukarela kecuali ia telah menyadari ada masalah batin dalam dirinya dan termotivasi menemukan kebahagiaan itu dari kebingungan hidup. Itu adalah menyelami diri sendiri, batinnya sendiri.
Ketimbang selalu berpikir bagaimana "produk" Anda laku, bukankah lebih bijak membuat ajaran wis cemawis ketika ada orang kebingungan menjalani hidup dan mengalami kegelisahan emosional mulai tertarik dan tergerak menyudahi itu atas inisiatif sendiri tanpa paksaan, karena karma-nya sendirilah yang telah menuntunnya pada Sang Jalan.
Seorang yang saya anggap guru pernah berpesan, "Tirulah para Bikkhu [tradisi] hutan, tidak berdakwah. Tapi didatangi orang dari penjuru dunia. Jika orang memang sudah merasa perlu [menyudahi kegelisahan dan kebingungan], biarlah mendatangi dan "menimba air sumur' sendiri."
Mencemari Dhamma
Perihal dakwah, kalaupun toh ada yang melakukan, ini tidak membantu sama sekali untuk bertumbuh dan terawatnya kualitas batin pempraktik Buddhis. Ini dapat menimbulkan agitasi dan kemarahan yang tidak berkesudahan karena bertengkar dengan orang-orang yang "coretan" di pikirannya berbeda.
Jika menarik pengikut adalah penting bagi Anda demi membuktikan ke seluruh dunia bahwa kepercayaan Anda-lah satu-satunya yang benar dan yang lain salah, itu terserah Anda untuk mengajak sebanyak mungkin orang, yang menurut Anda salah. Apakah semua itu membantu menunjukkan sejatinya kamu?
Jangan berpikir bahwa pengetahuan yang Anda miliki sekarang adalah kebenaran mutlak yang tidak berubah. Hindari berpikiran sempit dan terikat pada pandangan yang sekarang. Belajarlah dan praktikkanlah ketidakmelekatatan atas pandangan-pandangan agar terbuka menerima sudut pandang pihak lain. Kebenaran ditemukan dalam kehidupan dan tidak hanya dalam pengetahuan konseptualistik. Senantiasalah untuk selalu belajar sepanjang hayat Anda dan amati realitas dalam diri Anda sendiri dan dunia setiap saat.
Thich Nhat Hahn mengunjungi Borobudur pada 2010. |
Ada yang mengatakan bahwa doktrin Buddhisme tidak boleh digenggami erat-erat dan dijadikan berhala kefanatikan, tetapi diletakkan di atas telapak tangan terbuka, sehingga pemahaman akan berkembang selalu.
Dekrit Raja Ashoka
Raja Ashoka, memerintah India dan Gandhara rentang tahun 269 hingga 232 SM, adalah Buddhis dan penguasa yang baik hati. Dekritnya tertulis di pilar-pilar yang dibangun di seantero wilayah kerajaannya. Bahkan sampai ke negeri-negeri lain, tertulis pula dalam bahasa Hebrew kuno, Timur Tengah.
Ashoka mengutus para misionaris Buddhis untuk menyebarkan ajaran tentang dharma ke seluruh penjuru Asia dan sekitarnya. Ia pernah berujar, "Seseorang memetik kemanfaatan di dunia ini dan memperoleh jasa yang besar di masa datang dengan berdana dhamma." Tapi ia juga berkata,
Bertumbuh dalam hal yang hakiki dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi semua itu berakar pada menahan kata-kata, yaitu tidak memuji agamanya sendiri, atau mencela agama orang lain tanpa alasan yang baik. Dan jika bermaksud menyampaikan kritik, itu harus dilakukan dengan cara yang sejuk. Tetapi lebih baik menghormati agama lain karena alasan ini. Dengan berbuat demikian, agamanya sendiri mendapat manfaat, demikian pula agama lain, yang sebaliknya dapat merugikan agamanya sendiri dan agama orang lain. Barangsiapa mengagungkan berlebihan agamanya sendiri, karena dedikasi yang berlebih, dan mencela orang lain dengan pemikiran "Biarlah Aku meagung-agungkan agamaku", hanya akan merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, terjadinya kontak (antar agama) adalah baik. Seseorang harus mendengarkan dan menghormati doktrin yang dianut oleh orang lain.
Para sales agama harus mempertimbangkan kembali bahwa untuk setiap orang yang mereka "selamatkan", kemungkinan besarnya mereka akan terjerumus ke dalam tindakan menindas lebih banyak orang. Hal ini juga berkaitan bagaimana proselitisme dapat merusak praktik seorang Buddhis.
Pun merendahkan agama orang lain, serta mengagungkan agama sendiri, bukanlah welas asih, ini ajaran Sang Buddha melampaui kerja konsepsi pikiran benar-salah.
Ikrar Bodhisattva
Mari kembali ke Ikrar Bodhisattva, yaitu ikrar untuk membantu semua makhluk dan membawanya menemukan kecerahan dan ketergugahan batinnya. Para guru telah menjelaskan hal ini dengan banyak cara. Pada pokoknya adalah tidak memandang dunia ini dualistik, kecerahan adalah padamnya p(emi)ikiran subjek-objek.
Seseorang selamanya tidak dapat hidup dengan baik dan bahagia serta damai jika masih terkungkung dalam kotak kerangkeng konseptual p(em)ikiran Saya benar dan Kamu salah tanpa mengobjektifkan di tempat mana yang dibicarakan. Kita diselimuti cemas, gelisah, dan ketidakpuasan atau penderitaan karena membiarkan liar seluruh respons pikran kita terhadap dunia yang tidak berakar pada saat kini.Gambaran Umum Nan Ringkas
Meski ajaran dari berbagai agama sangat berbeda satu sama lain dan seringkali bertentangan, tetapi (mungkin) itu sekedar permukaan saja yang kita lihat. Penampakan "permukaan" ini sekedar sarana membantu penganutnya menemukan kesejatian atau yang benar-benar hakiki. Letak permasalahannya adalah, banyak dari orang salah anggap jika yang "permukaan" sebagai kenyataan itu sendiri. Ini tak ubahnya seperti yang diujarkan sebuah gatha Zen, tangan yang menunjuk ke bulan bukanlah bulan. Kita mengira telunjuk adalah bulan.
Kadang-kadang, percaya terhadap konsep Tuhan apa pun modelnya memang bisa menjadi sarana untuk menjadi terampil dalam kebijaksanaan. Banyak doktrin selain dalam Buddhis dapat dijadikan sebagai sarana eksplorasi spiritual dan refleksi batin. Inilah alasan lain mengapa Buddhis tidak merasa terancam oleh agama lain. Dalai Lama XIV kadang menasihati orang-orang untuk tidak pindah ke agama Buddha. Setidaknya tanpa mempelajari, menyelidiki, dan merenungkan serta mempertanyakan secara kritis dan mendalam ajarannya terlebih dahulu. Ia berkata,
Jika Anda mengadopsi Buddhisme sebagai agama Anda, bagaimanapun, Anda harus tetap menjaga rasa apresiasi Anda terhadap tradisi keagamaan-keagamaan lain. Sekalipun jika agama itu tidak lagi memberi manfaat lagi bagi Anda, jutaan manusia lain masih menerima kemanfaatan yang besar dari itu di masa lalu dan masih berlanjut sampai kini. Oleh karena itu, penting bagi Anda untuk menaruh rasa hormat ke agama mereka.