Langsung ke konten utama

Proselitisme dan Buddhisme

Terlepas ia mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormati para klerik dan para pengikut agama mana saja, Sang Buddha secara terbuka tak setuju dengan banyak aspek cara pengajaran yang disampaikan para Brahmin, Jain, juga dari agama lain. Memang tak disangkal ada sebagian Buddhis secara agresif menganjurkan proselitisme. Proselitisme keagamaan adalah berdakwah atau pengabaran ke kelompok luar dengan tujuan menarik mereka masuk ke dalam kelompoknya. 

Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diperjelas di sini bahwa proselitisme tidak sama dengan sekadar berbagi pengetahuan tentang keagamaan dimana kita tanpa maksud dalam batin menarik dan apalagi memaksa serta dengan tipu daya mempersulit orang lain yang berbeda agama agar masuk ke dalam laku spiritual hidup kita, Buddhisme.

Kita semua mafhum jika beberapa agama sangat menganjurkan dan begitu agresif mencari pengikut sebanyak mungkin agar bergabung ke dalam kelompok agamanya, karena satu dan lain alasan. Jika kita melacak ke masa lalu, ke zaman hidup Sang Buddha, tradisi Buddhis sejak zaman beliau adalah untuk tidak membicarakan Buddhadhamma kecuali ada yang bertanya. Beberapa aliran malah mensyaratkan sebanyak tiga kali lebih dulu.

Dalam Vinaya-Pitaka, satu dari tiga pitaka, yang berisi pedoman bagi siapa saja yang memilih kehidupan membiara, melarang bikkhu dan bikkhuni berceramah ke orang yang tampaknya tidak tertarik atau sekiranya akan melecehkan ajaran Guru Agung. Anjuran untuk tidak membicarakan atau berceramah tentang Dhamma berlaku pula ke orang yang sedang dalam kendaraan, sedang berjalan, atau yang tertarik menyimak ceramah dhamma dalam posisi duduk sementara sang bikkhu yang menyampaikan tentang dhamma dalam posisi berdiri.

Intinya, bukanlah tindakan patut dan terpuji menghampiri dan menyetop orang tidak dikenal di jalan atau mendatangi rumah orang satu per satu dan bertanya apa mereka telah menemukan Kecerahan.

Banyak kalangan di luar Buddhis mungkin heran dan bingung mengapa Buddhis tidak tertarik dan ogah berdakwah, mempromosikan, dan menyebarkan agama laku spiritualnya. Dapat dimaklumi karena di ajaran non-Buddhisme tadi melakukan usaha apa pun untuk mengubah orang lain agar ikut agamanya adalah dianggap amal kebaikan, tindakan patut, dan mendapat pahala. 

Meski begitu, banyak dari kita siswa Sang Buddha berikrar untuk membantu semua makhluk merealisasi kecerahan, pintu masuk menemukan kebahagiaan ke dalam diri mereka sendiri, yang telah ada dalam dirinya sendiri. Tugas para siswa Sang Buddha adalah berbuat baik konkrit, membantu sesama konkrit, dan menunjukkan kebahagiaan asali yang sudah ada di dalam diri para mahluk agar terbebas dari kebingungan batin dan kegelisahan hidup. Ini hanyalah itikad sederhana, berbagi kebijaksanaan, Kebahagiaan Sejati atau kebahagiaan non-stimulua, kepada semua. Sejak zaman Sang Buddha, para Buddhis telah berpindah dari satu ke lain tempat untuk membuat apa yang disampaikan Sang Buddha tersedia bagi siapa saja yang tergerak menolong dirinya sendiri menyudahi kegelisahan batin dan kebingungan hidup.

Intinya Buddhis tidak tertarik mengubah kolom agama di KTP seseorang. Saya kira hal itu tak ada gunanya bagi orang tersebut dan tidaklah mungkin hanya mengganti kolom saja menjadikan orang itu menyadari Kebahagiaan Sejati (ayem batin langgeng). Buddhis tidak berusaha "menjual" Buddhisme ke pihak yang tidak tertarik. Mengapa?


Sang Buddha Tak Tertarik Menarik Pengikut

Dalam Sutta-Pitaka, sebuah teks berbahasa Pali, di Ayacana Sutta (Samyutta Nikaya 6) dituliskan bahwa Sang Buddha sendiri enggan untuk mengajar setelah kecerahannya, meski beliau pada akhirnya memilih untuk mengajar ke orang-orang yang tergerak menyudahi kebingungan.

Dharma ini mendalam, sulit dilihat, sulit disadari, damai, begitu subtil, di luar jangkauan persangkaan pikiran, halus, tiada dapat dijangkau oleh orang bijak hanya melalui pengalaman.

Beliau sadar betul bahwasanya orang-orang akan salah tangkap ketika ia membabarkan tentang dhamma. Untuk menyadari akan dhamma, seseorang haruslah mengasah dan melatih praktik kanti laku "mengalami kebijaksanaan" yang tak lain oleh dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri.

Dengan kata lain, mendakwahkan dan mempromosikam dhamma hanya akan melahirkan masalah. Sebab ini sama halnya menciptakan doktrin-doktrin artifisial agar diimani orang-orang, untuk dilekatkan ke pikirannya. Ini tak ubahnya menumpukkan ubin-ubin di atas kepala.

Buddhisme sekadar menunjukkan kepada orang-orang di kehidupan kini ini untuk menyadari dhamma, untuk merealisasi Kebahagiaan Sejati oleh mereka sendiri, menemukan itu di dalam diri mereka sendiri. Buddhisme sekadar sebuah penunjuk arah (road maps) yang harus dilalui oleh mereka. Butuh komitmen dan tekad. Orang tidak akan sanggup dan tergerak sukarela kecuali ia telah menyadari ada masalah batin dalam dirinya dan termotivasi menemukan kebahagiaan itu dari kebingungan hidup. Itu adalah menyelami diri sendiri, batinnya sendiri.

Ketimbang selalu berpikir bagaimana "produk" Anda laku, bukankah lebih bijak membuat ajaran wis cemawis ketika ada orang kebingungan menjalani hidup dan mengalami kegelisahan emosional mulai tertarik dan tergerak menyudahi itu atas inisiatif sendiri tanpa paksaan, karena karma-nya sendirilah yang telah menuntunnya pada Sang Jalan.

Seorang yang saya anggap guru pernah berpesan, "Tirulah para Bikkhu [tradisi] hutan, tidak berdakwah. Tapi didatangi orang dari penjuru dunia. Jika orang memang sudah merasa perlu [menyudahi kegelisahan dan kebingungan], biarlah mendatangi dan "menimba air sumur' sendiri."


Mencemari Dhamma

Perihal dakwah, kalaupun toh ada yang melakukan, ini tidak membantu sama sekali untuk bertumbuh dan terawatnya kualitas batin pempraktik Buddhis. Ini dapat menimbulkan agitasi dan kemarahan yang tidak berkesudahan karena bertengkar dengan orang-orang yang "coretan" di pikirannya berbeda.

Jika menarik pengikut adalah penting bagi Anda demi membuktikan ke seluruh dunia bahwa kepercayaan Anda-lah satu-satunya yang benar dan yang lain salah, itu terserah Anda untuk mengajak sebanyak mungkin orang, yang menurut Anda salah. Apakah semua itu membantu menunjukkan sejatinya kamu?

Dapat dikatakan bahwa Anda memiliki kemelekatan kuat terhadap keyakinan—sesuatu yang layaknya coretan di pikiran—Anda. "O, coretan di kertas. Tak putih lagi". Jika Anda seorang Buddhis berarti Anda—tada!—meleset.

Patut diingat bahwa Buddhisme adalah jalan menuju kebijaksanaan. Sebuah proses  di mana bagian dari proses tadi adalah selalu terbuka akan pemahaman baru yang datang ke kita. Seperti yang Thich Nhat Hanh ajarkan,
Jangan berpikir bahwa pengetahuan yang Anda miliki sekarang adalah kebenaran mutlak yang tidak berubah. Hindari berpikiran sempit dan terikat pada pandangan yang sekarang. Belajarlah dan praktikkanlah ketidakmelekatatan atas pandangan-pandangan agar terbuka menerima sudut pandang pihak lain. Kebenaran ditemukan dalam kehidupan dan tidak hanya dalam pengetahuan konseptualistik. Senantiasalah untuk selalu belajar sepanjang hayat Anda dan amati realitas dalam diri Anda sendiri dan dunia setiap saat. 
Jika Anda bergerombol lalu meyakini bahwa Anda benar, Anda menutup diri dari pemahaman baru. Jika Anda bergerombol mencoba membuktikan bahwa agama lain salah, Anda menciptakan kebencian dan antagonisme di pikiran Anda (dan orang lain). Anda merusak praktik Anda sendiri.

Thich Nhat Hahn mengunjungi Borobudur pada 2010.

Ada yang mengatakan bahwa doktrin Buddhisme tidak boleh digenggami erat-erat dan dijadikan berhala kefanatikan, tetapi diletakkan di atas telapak tangan terbuka, sehingga pemahaman akan berkembang selalu.


Dekrit Raja Ashoka

Raja Ashoka, memerintah India dan Gandhara rentang tahun 269 hingga 232 SM, adalah Buddhis dan penguasa yang baik hati. Dekritnya tertulis di pilar-pilar yang dibangun di seantero wilayah kerajaannya. Bahkan sampai ke negeri-negeri lain, tertulis pula dalam bahasa Hebrew kuno, Timur Tengah.

Ashoka mengutus para misionaris Buddhis untuk menyebarkan ajaran tentang dharma ke seluruh penjuru Asia dan sekitarnya. Ia pernah berujar, "Seseorang memetik kemanfaatan di dunia ini dan memperoleh jasa yang besar di masa datang dengan berdana dhamma." Tapi ia juga berkata,

Bertumbuh dalam hal yang hakiki dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, tetapi semua itu berakar pada menahan kata-kata, yaitu tidak memuji agamanya sendiri, atau mencela agama orang lain tanpa alasan yang baik. Dan jika bermaksud menyampaikan kritik, itu harus dilakukan dengan cara yang sejuk. Tetapi lebih baik menghormati agama lain karena alasan ini. Dengan berbuat demikian, agamanya sendiri mendapat manfaat, demikian pula agama lain, yang sebaliknya dapat merugikan agamanya sendiri dan agama orang lain. Barangsiapa mengagungkan berlebihan agamanya sendiri, karena dedikasi yang berlebih, dan mencela orang lain dengan pemikiran "Biarlah Aku meagung-agungkan agamaku", hanya akan merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu, terjadinya kontak (antar agama) adalah baik. Seseorang harus mendengarkan dan menghormati doktrin yang dianut oleh orang lain. 

Para sales agama harus mempertimbangkan kembali bahwa untuk setiap orang yang mereka "selamatkan", kemungkinan besarnya mereka akan terjerumus ke dalam tindakan menindas lebih banyak orang. Hal ini juga berkaitan bagaimana proselitisme dapat merusak praktik seorang Buddhis.

Pun merendahkan agama orang lain, serta mengagungkan agama sendiri, bukanlah welas asih, ini ajaran Sang Buddha melampaui kerja konsepsi pikiran benar-salah.


Ikrar Bodhisattva

Mari kembali ke Ikrar Bodhisattva, yaitu ikrar untuk membantu semua makhluk dan membawanya menemukan kecerahan dan ketergugahan batinnya. Para guru telah menjelaskan hal ini dengan banyak cara. Pada pokoknya adalah tidak memandang dunia ini dualistik, kecerahan adalah padamnya p(emi)ikiran subjek-objek.

Seseorang selamanya tidak dapat hidup dengan baik dan bahagia serta damai jika masih terkungkung dalam kotak kerangkeng konseptual p(em)ikiran Saya benar dan Kamu salah tanpa mengobjektifkan di tempat mana yang dibicarakan. Kita diselimuti cemas, gelisah, dan ketidakpuasan atau penderitaan karena membiarkan liar seluruh respons pikran kita terhadap dunia yang tidak berakar pada saat kini.

Patut diingat juga bahwa Buddhis memiliki cara pandang yang tidak sesegera dapat kita pahami. Biar begitu, Anda tak perlu gusar jika sepanjang hayat Anda gagal untuk merealisasi kecerahan dan terbangun (pikiran-kebuddhaan), karena itu tidak berarti Anda akan dilemparkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya.


Gambaran Umum Nan Ringkas

Meski ajaran dari berbagai agama sangat berbeda satu sama lain dan seringkali bertentangan, tetapi (mungkin) itu sekedar permukaan saja yang kita lihat. Penampakan "permukaan" ini sekedar sarana membantu penganutnya menemukan kesejatian atau yang benar-benar hakiki. Letak permasalahannya adalah, banyak dari orang salah anggap jika yang "permukaan" sebagai kenyataan itu sendiri. Ini tak ubahnya seperti yang diujarkan sebuah gatha Zen, tangan yang menunjuk ke bulan bukanlah bulan. Kita mengira telunjuk adalah bulan.

Kadang-kadang, percaya terhadap konsep Tuhan apa pun modelnya memang bisa menjadi sarana untuk menjadi terampil dalam kebijaksanaan. Banyak doktrin selain dalam Buddhis dapat dijadikan sebagai sarana eksplorasi spiritual dan refleksi batin. Inilah alasan lain mengapa Buddhis tidak merasa terancam oleh agama lain. Dalai Lama XIV kadang menasihati orang-orang untuk tidak pindah ke agama Buddha. Setidaknya tanpa mempelajari, menyelidiki, dan merenungkan serta mempertanyakan secara kritis dan mendalam ajarannya terlebih dahulu. Ia berkata,

Jika Anda mengadopsi Buddhisme sebagai agama Anda, bagaimanapun, Anda harus tetap menjaga rasa apresiasi Anda terhadap tradisi keagamaan-keagamaan lain. Sekalipun jika agama itu tidak lagi memberi manfaat lagi bagi Anda, jutaan manusia lain masih menerima kemanfaatan yang besar dari itu di masa lalu dan masih berlanjut sampai kini. Oleh karena itu, penting bagi Anda untuk menaruh rasa hormat ke agama mereka.

Postingan populer dari blog ini

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha

The Wisdom of Insecurity: Berbahagia di Tengah Jalannya Kehidupan Tak Pasti

Sejarah umat manusia dari generasi ke generasi ditandai oleh kecemasan dan ketidakamanan/ketidaknyamanan ( insecure ), yang diistilahkan dukkha dalam literatur Buddhisme. Bersama bagaimana cara terbebas dari itu, ini adalah poin pokok buku.  Sampul buku. Kecemasan melanda psikis manusia karena ketidaktahuan mereka terhadap kecenderungan mental dan penyangkalan terhadap sifat dunia ini yang selalu berubah dan tidak pasti. Pembebasan manusia dari kecemasan dan perasaan insecure hanya bisa dilakukan melalui pelepasan pandangan ego-diri, atau kesadaran bahwa aku tak terpisah dari bukan-aku, keterpisahan hanyalah eksis di pikiran bukan pada kemyataan itu sendiri, atau terbebas dari ilusi pandangan atta , dan hidup yang, dalam ungkapan eksentrik Watts,  here and now . Dalam buku ini Watts dengan cerdik memberi tahu pembacanya bagaimana mengatasi fenomena psikologis purba itu tanpa mengasosiasikan pendekatannya dengan Zen Buddhisme sama sekali. Watts sepertinya menghindari kecenderungan anti

Veganisme dan Welas Asih

Ditanya, Apakah Buddhisme melarang memakan hewan? Dan apakah memakan hewan itu berpengaruh ke spiritual kita? Saya pribadi bukan Buddhis kultural. Saya memperlakukan ajaran bukan sebagai identitas sosial tetapi kebutuhan personal bagaimana hidup di dunia ini saat ini, mengambil yang dibutuhkan dan "membiarkan" sisanya. Saya mengadaptasinya untuk kebutuhan spirit personal. Apa yang tertulis setelah ini hanya opini pribadi. Jika ada yang baik, ambillah. Jika tak ada,  ya anggap angin lalu. Kenyataan Kerja Alam Amati dan perhatikan kenyataan sekitar. Fakta telanjang adalah kehidupan di Bumi ini terdesain saling memakan untuk mendapatkan energi. Mengapa demikian, itu dimungkinkan karena kesamaan moyang, the last universal common ancestor (LUCA). Dari pemahaman ini pula kita menyadari bahwa kita tiada beda dengan apa pun, apa pun. Bahkan jika diselami lebih jauh, semua yang dipersepsikan kita seolah berbeda dan terpisah satu sama lain sejatinya bersumber pada hal sama. Anggapan

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa

5 Ide Filsuf tentang Kematian

Kepastian dari dilahirkan adalah mati. Kematian adalah keniscayaan tidak dapat disingkiri oleh perjalanan setiap yang disebut hidup. Entah kita mengartikan sebagai kelegaan membebaskan atau ancaman menakutkan tergantung bagaimana kita mempersepsikannya. Pemakaman di Desa Trunyan, Kintamani, Kab. Bangli, di Bali. Ironi eksistensi adalah bahwa kita dilahirkan untuk mengalami proses perubahan: menua, sakit, dan mati. Kita mengerti pada akhirnya hidup ini akan berakhir dan kesadaran eksistensial ini berhenti. Meski kita juga tidak tahu persisnya kapan dan bagaimana proses atau cara kematian kita itu. Pun kita buta tentang apa yang terjadi setelah kita mati. Kematian menjadi subjek penting dalam perenungan lintas generasi manusia. Banyak ide tentang kematian kita dengar, baik yang disampaikan oleh para klerik agama, terdengar dalam balutan mitologi di setiap lingkaran kebudayaan, ataupun para filsuf. Kematian  menjadi subjek penting kefilsafatan. Tulisan ini menyuguhkan beberapa ide para fi

Resensi Zen Mind Beginner's Mind Karya Shunryu Suzuki

Buku versi bahasa Indonesia karya Shunryu Suzuki ini adalah langka. Naskah mentah buku adalah ceramah-ceramah berkala Suzuki-roshi kepada kelompok meditasi  Los Altos Zen , California .  S ecara umum tentang teknik-teknik zazen , yang ajeg direkam salah satu muridnya bernama Marian Derby. Walau disampaikan sebagai gambaran teknis, ada pesan-pesan segar terselip. Zazen adalah semacam duduk untuk duduk. Meski begitu, ini adalah sarana penting untuk merealisasi Zen, istilah teknis yang bersinonim pikiran murni atau kebuddhaan, sebagaimana saya tangkap dalam pesan naskah buku ini.  Tak seperti buku D.T. Suzuki yang bagi orang yang pertama kali berkenalan dengan Zen sepintas tampak provokatif dan vulgar, buku ini disuguhkan dengan gaya penyampaian agak datar. Meski di beberapa bagian, Suzuki-roshi memberi gambaran yang menurut persepsi awam kita juga vulgar, misalnya: Seorang guru Zen berkata, 'Bunuh Buddha!' Bunuh Buddha jika Γ¬a ada di sebuah tempat. Bunuh Buddha, sebab Anda harus

10 Falasafah Hidup Orang Jepang yang Dapat Dicontoh

Jepang adalah bangsa tua yang kaya akan budaya, inovasi teknologi, dan kuliner. Dari bangsa Jepang, kita bisa memetik falsafah hidup. Ide-ide fundamental yang menjadi landasan mendalam bagaimana individunya menjalani eksitensinya. Kita bisa belajar singkat di sini nilai-nilai itu dengan harapan membuat cara kita hidup lebih bermakna, entah itu tentang diri atau relasi sesama. 1/ Ikigai Ikigai adalah berkenaan menemukan ke dalam diri alasan mengapa diri saya layak melanjutkan kehidupan ini dan bagaimana hidup saya harus saya maknai. Setiap individu mencari esensi dari eksistensi ini ke dalam  diri. Inti falsafah ini ada jalinan antara apa yang ingin dituju, nurani memanggilku ke mana, dan profesi apa yang sekiranya memberi “alasan bereksistensi”. Ikigai mengajak kita untuk mengeksplorasi titik keseimbangan antara apa yang kita sukai, apa yang kita kuasai, apa yang diperlukan dunia ini dari saya, dan apa yang dapat menopang diri secara finansial. Berakar pada pandangan dunia secara holi

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadāsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatā , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suΓ±Γ±ata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, artinya "beba