Kepastian dari dilahirkan adalah mati. Kematian adalah keniscayaan tidak dapat disingkiri oleh perjalanan setiap yang disebut hidup. Entah kita mengartikan sebagai kelegaan membebaskan atau ancaman menakutkan tergantung bagaimana kita mempersepsikannya.
Pemakaman di Desa Trunyan, Kintamani, Kab. Bangli, di Bali. |
1/ Romantisasi Kekekalan Roh ala Sokrates
Sokrates (sekitar 470 SM–399 SM) mendobrak pemikiran di zamannya. Pandangan filosofisnya ini menyebabkan ia diganjar hukuman mati oleh otoritas Athena atas kesalahan karena gagal mengimani tuhan-tuhan yang resmi diakui negara dan tuduhan bidat karena memperkenalkan tuhan baru. Ini dianggap tindakan kejahatan serius.
Ilustrasi lukisan Seneca melakukan mortum et libertum. |
Sokrates menerima hukuman tanpa gentar dan mengeluh, mengejutkan para pengikutnya. Ia meyakini perilakunya selama menjalani hidup sudah sejalan dengan ide yang lebih tinggi tentang nilai-nilai moral universal dan keadilan, dan kekekalan roh manusia. Secara umum, kekekalan roh adalah poin sangat penting dari kefilsafatannya, menempati posisi sentral dari cara pandang kontemplatifnya tentang kematian itu sendiri.
Menurut Sokrates, kekekalan dapat dibuktikan dengan argumen bahwa kehidupan adalah siklus. Ini juga menjadi alas opini ketuhanan yang ia cetuskan. Kematian hanyalah jalan alamiah untuk membebaskan roh dari belenggu dan mengantarkannya menuju kesejatian dan kebajikan abadi. Dengan kata lain, kematian dipandang oleh Sokrates sebagai terbebasnya roh dan oleh karenanya kematian harus dihadapi dengan tegar dan tabah. Itu hanya mungkin selama Anda sudah menjalani hidup dengan cara terbaik dan paling patut yang dimungkinkan.
Ide tentang roh yang tidak mati atau rusak atau kekal Sokrates ini mengajak kita menengok kenyataan bahwa manusia berkemampuan mengingat, memproses ingatan, dan kemudian berimajinasi bahkan tentang hal-hal yang belum sekalipun pernah mereka alami atau jumpai dalam kenyataan.
Pandangan Sokrates terhadap kematian ini melintasi zaman dan gemanya dapat dilacak di kepercayaan-kepercayaan yang muncul dari kebudayaan masyarakat sekitar Yunani, misalnyร kepercayaan-keoercayaan Semitik. Pandangan Sokrates adalah seni menghibur diri dari kenyataan dunia dan diri yang terus menerus berubah tanpa jeda menuju kefanaan yang purna dan kemudian sirna.
2/ Berdamai dengan Kematian ala Seneca
Lucius Annaeus Seneca (3 SM – 65 SM) adalah politikus dan senator, rentenir, dan sekaligus seorang Stoik. Bukan perilakunya patut dikenang, melainkan petuah-petuahnya di hari-hari akhir hayatnya ketika menghadapi hukuman mortum et libertum (menyudahi kehidupan sendiri) yang patut direnungkan. Ia hidup di masa Kaisar Nero yang mana sang kaisar bisa melakukan apa saja ke siapa saja, termasuk menyiksa dan menghukum mati. Lebih memilih mati daripada hidup disiksa adalah kewajaran pada zaman itu. Zaman-lah yang mewajarkan, sebagai pilihan terakhir rasional melawan penderitaan yang bisa saja dihadirkan penguasa.
Lukisan "The Death of Seneca" karya Paul Robin. |
Seneca adalah Stoik. Alam pikir Stoik kental akan 2 ide utama, yaitu determinisme kosmis dan kebebasan rasio mempersepsi dan merespon hal-hal eksternal. Bahwa kematian adalah termasuk keniscayaan kosmis dan karenanya di luar kendali kita. Kita harus menyelaraskan diri dengan itu. Dalam arti menerima kematian sebagai keniscayaan bagi apa saja yang disebut hidup. Kematian bukanlah kebalikan dari kehidupan, tetapi bagian tiada terpisah dari hidup, demikianlah jalannya kosmos.
Menolak kematian dan hasrat untuk hidup selama mungkin adalah insting alamiah mendasar kita dan motif di balik mengapa umumnya orang menabukan membicarakan kematian. Penabuan dan ketidakpedulian pada yang pasti terjadi kepada kita akan menghadirkan benturan kejiwaan kepada kita lebih besar ketika menghadapi kematian atau ditinggal mati sanak famili, dan masa-masa sulit lainnya. Ketidakakraban kita dengan keniscayaan ini sering membuat terjerembab pada keputusasaan dan penderitaan.
Cara menyiasatinya menurut Seneca adalah mengakrabkan diri dengan kematian agar gejolak rasa takut dan ngeri bisa diminimalisir, dan tumbuhnya kerelaan dan ketabahan karena telah mengakrabi jauh sebelum kita menghadapi momen kematian, ataupun mengalami momen ditinggal mati.
Berdamai dengan kematian adalah kebajikan dan mendorong perilaku orang menjadi patut dalam mengisi kehidupannya dan kerelaan diri menerima keniscayaan alam bekerja pada diri kita.
3/ Arti Penting Kematian dalam Eksistensialisme Kierkegaard
Sรธren Kierkegaard (1813 – 1850) adalah filsuf Denmark, pendiri eksistensialisme modern, dan salah satu filsuf masyhur pada zamannya. Banyak karyanya berkutat membahas agama dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu: teologi, etika, dan aspek psikologisnya.
Ketika kematian menjadi subjek kefilsafatannya, posisi Kierkegaard jelas tentang kematian, tersirat dalam pandangannya tentang eksistensi hidup seseorang dan jalannya hidup secara keseluruhan.
Sรธren Kierkegaard. |
Tentang kematian, Kierkegaard adalah seorang realis yang kontemplasi kefilsafatannya sangat menekankan pada sisi keunikan penerimaan rasa kita terhadap kematian sebagai diri kita sendiri. Kierkegaard menyuguhkan sudut pandang menarik dan membuka mata kita bukan hanya mati itu pasti dari segala hal yang bereksistensi, tetapi juga ketidakpastian kapan tibanya. Artinya, apa pun yang ingin kita lakukan dalam hidup harus kita kerjakan segera karena kita tidak tahu persis kapan mati. Mungkin inilah kesempatan terakhir kita untuk melakukannya.
4/ Hidup adalah Rangkaian Kematian ala Schopenhauer
Fakta, kita menjalani hidup ini tiada hentinya menghendaki atau mengingini sesuatu. Karenanya takdir kita adalah mati, entah mati oleh kesedihan karena tidak meraih apa yang dingini atau datangnya rasa hambar dan bosan sekalipun sudah meraih yang diingini.
Arthur Schopenhauer. |
Adapun kematian menurut Schopenhauer adalah terminal akhir hidup. Hanya dalam kematian, kita terbebas dari siklus penderitaan tiada ujung. Perihal ini sering disalahpahami sebagai anjuran untuk bunuh diri. Walau Schopenhauer menegaskan bahwa kematian adalah penidakan terakhir terhadap keinginan, ia juga menyatakan bahwa keinginan untuk mengakhiri hidup itu juga termasuk keinginan itu sendiri. Dalam kasus seseorang yang mengakhiri hidupnya sebenarnya tidak ingin mengakhiri hidupnya. Yang menimpa mereka adalah keinginan untuk mengalami hal-hal dalam hidupnya yang tidak dapat mereka akses pada saat itu. Penidakan terhadap keinginan adalah untuk mengatasi keinginan. Artinya, kita menidak untuk dikalahkan oleh penderitaan yang ditimbulkannya.
Dengan memahami kematian sebagai terminal akhir dan tujuan hidup, seseorang juga dapat menarik pemahaman bahwa hidup ini adalah gerak laju tanpa jeda menuju kematian. Manusia terus bergerak semakin dekat dengan pelepasan akhir dari siklus kehendak/keinginan yang menderitakan. Pandangan Schopenhauer terhadap kematian mirip dengan perspektif Socrates, karena keduanya memahami kematian sebagai pelepasan final yang pada dasarnya baik, namun tidak mendukung bunuh diri sebagai cara untuk mencapai pelepasan tersebut lebih cepat.
Melegakan mengetahui bahwa kepastian paling pasti yang tak terpisah dari status hidup kita adalah bahwa penderitaan akan berakhir. Sementara melalui penidakan terhadap hasrat keinginan, kita langkah demi langkah bergerak menuju titik final pelepasan keinginan.
5/ Mati tunduk pada Kebebasan ala Nietzsche
Terkenal karena pandangan filosofi yang subversif dan kontroversial, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900) menjadi salah satu filsuf paling populer dan digandrungi. Bersama Kierkegaard, ia adalah pelopor Eksistensialisme. Namun ia memiliki titik terminal filosofisnya sangat berbeda.
Tujuan dari karya Nietzsche dengan jelas ditetapkan oleh penulisnya sendiri, untuk menentang dan menyibak setiap mitos dan khayalan yang mengaburkan pemahaman umat manusia tentang dunia dan untuk memungkinkan mereka untuk hidup dengan sukacita.
Friedrich Wilhelm Nietzsche. |
Namun harus dicatat bahwa Nietzsche tidak pernah dengan tegas memberi anjuran ke kita untuk bunuh diri sebagai cara melarikan diri dari kehidupan atau lari dari masalah apa pun yang kita alami dalam kehidupan. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa kita harus mengupayakan dan menjalani hidup yang penuh kepuasan sesuai dengan pandangan kita sendiri terhadap dunia. Dan kematian tidak pantas dipaksakan kepada kita.
Nietzsche menunjukkan kepada kita bahwa kita memiliki kekuatan untuk tidak takut pada kematian dan menjadikannya sebagai bagian dari kisah gemilang kehidupan.