Langsung ke konten utama

5 Ide Filsuf tentang Kematian

Kepastian dari dilahirkan adalah mati. Kematian adalah keniscayaan tidak dapat disingkiri oleh perjalanan setiap yang disebut hidup. Entah kita mengartikan sebagai kelegaan membebaskan atau ancaman menakutkan tergantung bagaimana kita mempersepsikannya.

Pemakaman di Desa Trunyan, Kintamani, Kab. Bangli, di Bali.
Ironi eksistensi adalah bahwa kita dilahirkan untuk mengalami proses perubahan: menua, sakit, dan mati. Kita mengerti pada akhirnya hidup ini akan berakhir dan kesadaran eksistensial ini berhenti. Meski kita juga tidak tahu persisnya kapan dan bagaimana proses atau cara kematian kita itu. Pun kita buta tentang apa yang terjadi setelah kita mati.

Kematian menjadi subjek penting dalam perenungan lintas generasi manusia. Banyak ide tentang kematian kita dengar, baik yang disampaikan oleh para klerik agama, terdengar dalam balutan mitologi di setiap lingkaran kebudayaan, ataupun para filsuf. Kematian  menjadi subjek penting kefilsafatan. Tulisan ini menyuguhkan beberapa ide para filsuf tentang kematian. Mulai dari Sokrates, Seneca, Kierkergaard, Schopenhauer, hingga Nietzsche.


1/ Romantisasi Kekekalan Roh ala Sokrates

Sokrates (sekitar 470 SM–399 SM) mendobrak pemikiran di zamannya. Pandangan filosofisnya ini menyebabkan ia diganjar hukuman mati oleh otoritas Athena atas kesalahan karena gagal mengimani tuhan-tuhan yang resmi diakui negara dan tuduhan bidat karena memperkenalkan tuhan baru. Ini dianggap tindakan kejahatan serius.

Ilustrasi lukisan Seneca melakukan mortum et libertum.

Sokrates menerima hukuman tanpa gentar dan mengeluh, mengejutkan para pengikutnya. Ia meyakini perilakunya selama menjalani hidup sudah sejalan dengan ide yang lebih tinggi tentang nilai-nilai moral universal dan keadilan, dan kekekalan roh manusia. Secara umum, kekekalan roh adalah poin sangat penting dari kefilsafatannya, menempati posisi sentral dari cara pandang kontemplatifnya tentang kematian itu sendiri. 

Menurut Sokrates, kekekalan dapat dibuktikan dengan argumen bahwa kehidupan adalah siklus. Ini juga menjadi alas opini ketuhanan yang ia cetuskan. Kematian hanyalah jalan alamiah untuk membebaskan roh dari belenggu dan mengantarkannya menuju kesejatian dan kebajikan abadi. Dengan kata lain, kematian dipandang oleh Sokrates sebagai terbebasnya roh dan oleh karenanya kematian harus dihadapi dengan tegar dan tabah. Itu hanya mungkin selama Anda sudah menjalani hidup dengan cara terbaik dan paling patut yang dimungkinkan.

Ide tentang roh yang tidak mati atau rusak atau kekal Sokrates ini mengajak kita menengok kenyataan bahwa manusia berkemampuan mengingat, memproses ingatan, dan kemudian berimajinasi bahkan tentang hal-hal yang belum sekalipun pernah mereka alami atau jumpai dalam kenyataan.

Pandangan Sokrates terhadap kematian ini melintasi zaman dan gemanya dapat dilacak di kepercayaan-kepercayaan yang muncul dari kebudayaan masyarakat sekitar Yunani, misalnyร  kepercayaan-keoercayaan Semitik. Pandangan Sokrates adalah seni menghibur diri dari kenyataan dunia dan diri yang terus menerus berubah tanpa jeda menuju kefanaan yang purna dan kemudian sirna.


2/ Berdamai dengan Kematian ala Seneca

Lucius Annaeus Seneca (3 SM – 65 SM) adalah politikus dan senator, rentenir, dan sekaligus seorang Stoik. Bukan perilakunya patut dikenang, melainkan petuah-petuahnya di hari-hari akhir hayatnya ketika menghadapi hukuman mortum et libertum (menyudahi kehidupan sendiri) yang patut direnungkan. Ia hidup di masa Kaisar Nero yang mana sang kaisar bisa melakukan apa saja ke siapa saja, termasuk menyiksa dan menghukum mati. Lebih memilih mati daripada hidup disiksa adalah kewajaran pada zaman itu. Zaman-lah yang mewajarkan, sebagai pilihan terakhir rasional melawan penderitaan yang bisa saja dihadirkan penguasa.

Lukisan "The Death of Seneca" karya Paul Robin.
Sebagian lagi terlalu mencintai hidupnya di mana di bawah penguasa tiran, mereka ini adalah orang-orang yang paling akan menderita bila waktunya menghadapi ketidakpastian mengancam dan kematian. Seneca sendiri tidak mengutuk kehidupan sepenuhnya. 

Seneca adalah Stoik. Alam pikir Stoik kental akan 2 ide utama, yaitu determinisme kosmis dan kebebasan rasio mempersepsi dan merespon hal-hal eksternal. Bahwa kematian adalah termasuk keniscayaan kosmis dan karenanya di luar kendali kita. Kita harus menyelaraskan diri dengan itu. Dalam arti menerima kematian sebagai keniscayaan bagi apa saja yang disebut hidup. Kematian bukanlah kebalikan dari kehidupan, tetapi bagian tiada terpisah dari hidup, demikianlah jalannya kosmos. 

Menolak kematian dan hasrat untuk hidup selama mungkin adalah insting alamiah mendasar kita dan motif di balik mengapa umumnya orang menabukan membicarakan kematian. Penabuan dan ketidakpedulian pada yang pasti terjadi kepada kita akan menghadirkan benturan kejiwaan kepada kita lebih besar ketika menghadapi kematian atau ditinggal mati sanak famili, dan masa-masa sulit lainnya. Ketidakakraban kita dengan keniscayaan ini sering membuat terjerembab pada keputusasaan dan penderitaan.

Cara menyiasatinya menurut Seneca adalah mengakrabkan diri dengan kematian agar gejolak rasa takut dan ngeri bisa diminimalisir, dan tumbuhnya kerelaan dan ketabahan karena telah mengakrabi jauh sebelum kita menghadapi momen kematian, ataupun mengalami momen ditinggal mati.

Berdamai dengan kematian adalah kebajikan dan mendorong perilaku orang menjadi patut dalam mengisi kehidupannya dan kerelaan diri menerima keniscayaan alam bekerja pada diri kita.


3/ Arti Penting Kematian dalam Eksistensialisme Kierkegaard

Sรธren Kierkegaard  (1813 – 1850) adalah filsuf Denmark, pendiri eksistensialisme modern, dan salah satu filsuf masyhur pada zamannya. Banyak karyanya berkutat membahas agama dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu: teologi, etika, dan aspek psikologisnya. 

Ketika kematian menjadi subjek kefilsafatannya, posisi Kierkegaard jelas tentang kematian, tersirat dalam pandangannya tentang eksistensi hidup seseorang dan jalannya hidup secara keseluruhan. 

Sรธren Kierkegaard.
Menurutnya, kematian adalah sesuatu yang pasti tapi tidak pasti. Sesuatu yang kita semua tahu pada akhirnya akan menerjang kita kapan saja. Ketidakpastian kapan tibanya dan penerimaan perasaan kita terhadapnya, itulah yang menuntun kita untuk memilih cara kita bereksistensi, menjalani hidup: apakah memilih mengejar sensasi-sensasi menyenangkan sebanyak yang kita bisa raih dan kumpulkan, apakah mencari-cari sesuatu yang membantu kita menyangkal limitasi hidup (kematian) itu sendiri, menciptakan kematian itu sendiri dalam hidup kita, atau berupaya membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik. Pilihan jalan kita memaknai hidup dipandu oleh tahu kita akan limitasi hidup yang pada akhirnya menerjang. Dan sebelum itu tiba, kita harus menentukan pilihan bagaimana hidup kita dijalani, untuk makna.

Tentang kematian, Kierkegaard adalah seorang realis yang kontemplasi kefilsafatannya sangat menekankan pada sisi keunikan penerimaan rasa kita terhadap kematian sebagai diri kita sendiri. Kierkegaard menyuguhkan sudut pandang menarik dan membuka mata kita bukan hanya mati itu pasti dari segala hal yang bereksistensi, tetapi juga ketidakpastian kapan tibanya. Artinya, apa pun yang ingin kita lakukan dalam hidup harus kita kerjakan segera karena kita tidak tahu persis kapan mati. Mungkin inilah kesempatan terakhir kita untuk melakukannya.


4/ Hidup adalah Rangkaian Kematian ala Schopenhauer

Fakta, kita menjalani hidup ini tiada hentinya menghendaki atau mengingini sesuatu. Karenanya takdir kita adalah mati, entah mati oleh kesedihan karena tidak meraih apa yang dingini atau datangnya rasa hambar dan bosan sekalipun sudah meraih yang diingini. 

Arthur Schopenhauer.
Dalam kontemplasi Arthur Schopenhauer (1788 – 1860), hidup berarti keinginan akan sesuatu dan keinginan berarti penderitaan. Dengan mengadopsi logika demikian, kita dapat melepaskan diri dari kekangan penderitaan dengan memperhatikan keinginan-keinginan yang muncul. Termasuk keinginan tentu saja keinginan untuk hidup. Dengan kata lain, kita sebenarnya hidup dalam alam keinginan akan hal-hal, dimana hal-hal yang kita ingini itu sebenarnya bisa kita alami dan akses di kehidupan yang nyata senyatanya. Hanya hidup yang nyata itulah yang tersedia untuk kita dan dapat diakses.

Adapun kematian menurut Schopenhauer adalah terminal akhir hidup. Hanya dalam kematian, kita terbebas dari siklus penderitaan tiada ujung. Perihal ini sering disalahpahami sebagai anjuran untuk bunuh diri. Walau Schopenhauer menegaskan bahwa kematian adalah penidakan terakhir terhadap keinginan, ia juga menyatakan bahwa keinginan untuk mengakhiri hidup itu juga termasuk keinginan itu sendiri. Dalam kasus seseorang yang mengakhiri hidupnya sebenarnya tidak ingin mengakhiri hidupnya. Yang menimpa mereka adalah keinginan untuk mengalami hal-hal dalam hidupnya yang tidak dapat mereka akses pada saat itu. Penidakan terhadap keinginan adalah untuk mengatasi keinginan. Artinya, kita menidak untuk dikalahkan oleh penderitaan yang ditimbulkannya. 

Dengan memahami kematian sebagai terminal akhir dan tujuan hidup, seseorang juga dapat menarik pemahaman bahwa hidup ini adalah gerak laju tanpa jeda menuju kematian. Manusia terus bergerak semakin dekat dengan pelepasan akhir dari siklus kehendak/keinginan yang menderitakan. Pandangan Schopenhauer terhadap kematian mirip dengan perspektif Socrates, karena keduanya memahami kematian sebagai pelepasan final yang pada dasarnya baik, namun tidak mendukung bunuh diri sebagai cara untuk mencapai pelepasan tersebut lebih cepat.

Melegakan mengetahui bahwa kepastian paling pasti  yang tak terpisah dari status hidup kita adalah bahwa penderitaan akan berakhir. Sementara melalui penidakan terhadap hasrat  keinginan, kita langkah demi langkah bergerak menuju titik final pelepasan keinginan.


5/ Mati tunduk pada Kebebasan ala Nietzsche

Terkenal karena pandangan filosofi yang subversif dan kontroversial, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900) menjadi salah satu filsuf paling populer dan digandrungi. Bersama Kierkegaard, ia adalah pelopor Eksistensialisme. Namun ia memiliki titik terminal filosofisnya sangat berbeda. 

Tujuan dari karya Nietzsche dengan jelas ditetapkan oleh penulisnya sendiri, untuk menentang dan menyibak setiap mitos dan khayalan yang mengaburkan pemahaman umat manusia tentang dunia dan untuk memungkinkan mereka untuk hidup dengan sukacita. 

Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Menurut sang filsuf, tujuan kita sebagai manusia seharusnya adalah mencapai kebebasan mutlak, yang  mana dari hal itu kita bebas menentukan nilai, prinsip, dan tujuan bagi hidup kita sendiri. Nietzsche menyatakan bahwa seperti halnya kita harus memiliki kebebasan untuk menentukan tujuan hidup kita sendiri, kita juga mempunyai kebebasan untuk menentukan kematian kita sendiri. Kematian bukanlah malapetaka yang harus kita tunggu atau sebagai pembebasan terakhir, tetapi tunduk pada tindakan bebas yang dipilih. Seseorang yang telah menemukan kebebasannya dapat menentukan tujuannya sendiri, karenanya harus dapat mengklaim kematian bagi dirinya sendiri, tidak berlama-lama di dunia ini setelah misinya di dunia tercapai. Nietzsche mendudukkan kematian sebagai titik akhir dari rangkaian kisah luar biasa yang kapan pun mereka ingin, maka ia bebas memutuskan itu.

Pandangan Nietzsche tentang kematian mengundang kontroversi meluas, karena memang tersurat mendorong bunuh diri, sebagai bagian yang tunduk di bawah gaung kebebasan mutlak.

Namun harus dicatat bahwa Nietzsche tidak pernah dengan tegas memberi anjuran ke kita untuk bunuh diri sebagai cara melarikan diri dari kehidupan atau lari dari masalah apa pun yang kita alami dalam kehidupan. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa kita harus mengupayakan dan menjalani hidup yang penuh kepuasan sesuai dengan pandangan kita sendiri terhadap dunia. Dan kematian tidak pantas dipaksakan kepada kita.

Nietzsche menunjukkan kepada kita bahwa kita memiliki kekuatan untuk tidak takut pada kematian dan menjadikannya sebagai bagian dari kisah gemilang kehidupan.



Postingan populer dari blog ini

5 Falsafah Hidup Jawa Ini Membantumu Menemukan Esensi Hidup

Jawa sebagai sekelompok manusia yang dahulu pernah memiliki peradaban maju dan tinggi di berbagai bidang mulai pertanian dan kemaritiman, seni budaya meliputi seni pahat dan tari, arsitektur dan bangunan, hingga tata pemerintahan, bangsa Jawa seperti halnya lingkaran-lingkaran kelompok kebudayaan lain juga memiliki pandangan kosmologis dalam hal relasi eksistensi diri dengan alam atau jagad. Alih-alih bercorak kontemplasi spekulatif, pandangan falsafah hidup leluhur Jawa adalah realisme kontemplatif. Corak penghayatan falsafah Jawa ini lebih menekankan pada aspek spiritual eksplorasi internal daripada pengikatan diri pada sistem kepercayaan eksternal ( religion ) yang karakternya alih-alih dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan spiritual dan budi, tetapi ketertundukan buta yang sama sekali tak menyadarkan dan tak mendidik. Dari kesadaran relasi tadi, tindak-tanduk orang Jawa dicirikan simbolisme, misalnya sesajen dan upacara-upacara dalam mengekspresikan hubungan eksistensi denga

Beberapa Kesalahpahaman tentang Buddhisme

Karena tinggal di lingkungan non-Buddhis, kadang obrolan beralih ke Buddhisme. Mungkin ingin mengenal. Banyak hal ternyata disalahpahami. Ini, dari pribadi saya, memberi ide untuk menulis. Kesalahpahaman imi dapat dimaklumi karena banyak saudara kita penganut agama-kepercayaan Semitik, kepercayaan monoteisme dan menekankan ritual pengelu-eluan serta pemujaan, mengira semua agama secara basis fundamental adalah sama. Sebagian saya beri gambaran sependek saya tahu, sebagian lagi saya biarkan karena saking sulitnya. 1 / Dikira kepercayaan monoteisme Banyak mengira bahwa agama Buddha berpusat pada kepercayaan pada Tuhan Personal atau Tuhan antromorfik, yaitu sebuah sosok yang digambarkan pikiran bisa marah dan bisa tersipu-sipu jika dipuji via ritual. Tuhan digambarkan memiliki tabiat seperti manusia: marah, cemburu, narsistik, ngasih bonus kalau hatinya senang, suka ngamuk-ngamuk kalau tidak dituruti kemauannya, haus pujian, mengalami gangguan psikosis untuk selalu dijadikan pusat perha

The Wisdom of Insecurity: Berbahagia di Tengah Jalannya Kehidupan Tak Pasti

Sejarah umat manusia dari generasi ke generasi ditandai oleh kecemasan dan ketidakamanan/ketidaknyamanan ( insecure ), yang diistilahkan dukkha dalam literatur Buddhisme. Bersama bagaimana cara terbebas dari itu, ini adalah poin pokok buku.  Sampul buku. Kecemasan melanda psikis manusia karena ketidaktahuan mereka terhadap kecenderungan mental dan penyangkalan terhadap sifat dunia ini yang selalu berubah dan tidak pasti. Pembebasan manusia dari kecemasan dan perasaan insecure hanya bisa dilakukan melalui pelepasan pandangan ego-diri, atau kesadaran bahwa aku tak terpisah dari bukan-aku, keterpisahan hanyalah eksis di pikiran bukan pada kemyataan itu sendiri, atau terbebas dari ilusi pandangan atta , dan hidup yang, dalam ungkapan eksentrik Watts,  here and now . Dalam buku ini Watts dengan cerdik memberi tahu pembacanya bagaimana mengatasi fenomena psikologis purba itu tanpa mengasosiasikan pendekatannya dengan Zen Buddhisme sama sekali. Watts sepertinya menghindari kecenderungan anti

Veganisme dan Welas Asih

Ditanya, Apakah Buddhisme melarang memakan hewan? Dan apakah memakan hewan itu berpengaruh ke spiritual kita? Saya pribadi bukan Buddhis kultural. Saya memperlakukan ajaran bukan sebagai identitas sosial tetapi kebutuhan personal bagaimana hidup di dunia ini saat ini, mengambil yang dibutuhkan dan "membiarkan" sisanya. Saya mengadaptasinya untuk kebutuhan spirit personal. Apa yang tertulis setelah ini hanya opini pribadi. Jika ada yang baik, ambillah. Jika tak ada,  ya anggap angin lalu. Kenyataan Kerja Alam Amati dan perhatikan kenyataan sekitar. Fakta telanjang adalah kehidupan di Bumi ini terdesain saling memakan untuk mendapatkan energi. Mengapa demikian, itu dimungkinkan karena kesamaan moyang, the last universal common ancestor (LUCA). Dari pemahaman ini pula kita menyadari bahwa kita tiada beda dengan apa pun, apa pun. Bahkan jika diselami lebih jauh, semua yang dipersepsikan kita seolah berbeda dan terpisah satu sama lain sejatinya bersumber pada hal sama. Anggapan

10 Kosakata Asik Stoikisme dan Penjelasan Singkat

Stoikisme adalah filsafat etika yang muncul di era Helenistik-Yunani. Istilah etika dalam kesadaran alam pikir orang Yunani kuno adalah berkaitan apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini dan bagaimana cara terbaik menjalaninya di tengah alam semesta ini dan sosial. Pengertian kata tersebut tak sama dengan persepsi kita sekarang yang lebih sempit, yaitu a standars of behavior.  Meski cakupan filsafatnya sangat luas, Stoikisme hari ini naik daun di masyarakat kontemporer bukan tanpa alasan, ajaran spiritual filosofis ini memberi tameng, menjadi bermental tangguh, bagi siapa saja yang mempraktikannya dalam mengarungi ketat dan kompetitifnya kehidupan modern yang acapkali menghadirkan gangguan pada kualitas batin atau psikis kita. Dengan berpegang pada beberapa prinsip Stoik, yang tererepresentasi dari "kosakata Stoik" berikut, semoga kita memiliki kebijaksanaan bernavigasi dalam kehidupan. Ciri pokok orang yang bijaksana adalah mampu menentukan sikap dalam situasi yang biasa

Resensi Zen Mind Beginner's Mind Karya Shunryu Suzuki

Buku versi bahasa Indonesia karya Shunryu Suzuki ini adalah langka. Naskah mentah buku adalah ceramah-ceramah berkala Suzuki-roshi kepada kelompok meditasi  Los Altos Zen , California .  S ecara umum tentang teknik-teknik zazen , yang ajeg direkam salah satu muridnya bernama Marian Derby. Walau disampaikan sebagai gambaran teknis, ada pesan-pesan segar terselip. Zazen adalah semacam duduk untuk duduk. Meski begitu, ini adalah sarana penting untuk merealisasi Zen, istilah teknis yang bersinonim pikiran murni atau kebuddhaan, sebagaimana saya tangkap dalam pesan naskah buku ini.  Tak seperti buku D.T. Suzuki yang bagi orang yang pertama kali berkenalan dengan Zen sepintas tampak provokatif dan vulgar, buku ini disuguhkan dengan gaya penyampaian agak datar. Meski di beberapa bagian, Suzuki-roshi memberi gambaran yang menurut persepsi awam kita juga vulgar, misalnya: Seorang guru Zen berkata, 'Bunuh Buddha!' Bunuh Buddha jika รฌa ada di sebuah tempat. Bunuh Buddha, sebab Anda harus

10 Falasafah Hidup Orang Jepang yang Dapat Dicontoh

Jepang adalah bangsa tua yang kaya akan budaya, inovasi teknologi, dan kuliner. Dari bangsa Jepang, kita bisa memetik falsafah hidup. Ide-ide fundamental yang menjadi landasan mendalam bagaimana individunya menjalani eksitensinya. Kita bisa belajar singkat di sini nilai-nilai itu dengan harapan membuat cara kita hidup lebih bermakna, entah itu tentang diri atau relasi sesama. 1/ Ikigai Ikigai adalah berkenaan menemukan ke dalam diri alasan mengapa diri saya layak melanjutkan kehidupan ini dan bagaimana hidup saya harus saya maknai. Setiap individu mencari esensi dari eksistensi ini ke dalam  diri. Inti falsafah ini ada jalinan antara apa yang ingin dituju, nurani memanggilku ke mana, dan profesi apa yang sekiranya memberi “alasan bereksistensi”. Ikigai mengajak kita untuk mengeksplorasi titik keseimbangan antara apa yang kita sukai, apa yang kita kuasai, apa yang diperlukan dunia ini dari saya, dan apa yang dapat menopang diri secara finansial. Berakar pada pandangan dunia secara holi

Proselitisme dan Buddhisme

Terlepas ia mengajarkan kepada para siswanya untuk menghormati para klerik dan para pengikut agama mana saja, Sang Buddha secara terbuka tak setuju dengan banyak aspek cara pengajaran yang disampaikan para Brahmin, Jain, juga dari agama lain. Memang tak disangkal ada sebagian Buddhis secara agresif menganjurkan proselitisme. Proselitisme keagamaan adalah berdakwah atau pengabaran ke kelompok luar dengan tujuan menarik mereka masuk ke dalam kelompoknya.  Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu diperjelas di sini bahwa proselitisme tidak sama dengan sekadar berbagi pengetahuan tentang keagamaan dimana kita tanpa maksud dalam batin menarik dan apalagi memaksa serta dengan tipu daya mempersulit orang lain yang berbeda agama agar masuk ke dalam laku spiritual hidup kita, Buddhisme. Kita semua mafhum jika beberapa agama sangat menganjurkan dan begitu agresif mencari pengikut sebanyak mungkin agar bergabung ke dalam kelompok agamanya, karena satu dan lain alasan. Jika kita melacak ke masa

Intisari Buku Batin Sunya oleh Ajahn Buddadฤsa

Buku berjudul Batin Sunya ini adalah seri nomor dua dari empat seri dalam paket buku Seri Dasar-dasar Buddhis yang Kerap Disalahpahami , diterbitkan oleh Penerbit Dian Dharna pada 2024. Adapun seri pertama, tentang Iddapaccayatฤ , menurut penangkapan pemahaman saya membahas semacam perenungan kosmologi Buddhis. Harus dicatat, tujuan puncak Buddhisme mengenai kosmologi bukan kemudian disusul bagaimana ini semua bisa ada? Atau siapa yang membuat? Tidak. Melainkan menyadari apa yang selama ini dianggap si-aku di antara semua keberadaan. Bukan berkutat dan berhenti pada perenungan spekulatif. Lebih dari itu, melampauinya.  Inti Sari Buku tipis berdimensi 12,5 x 18,5 cm dan ketebalan xiii + 87 halaman ini adalah transkrip ceramah Dhamma Ajahn Buddhadasa (1906-1993), seorang biksu dan guru Theravadin berpengaruh asal Thailand. Berikut inti sari buku dalam poin-poin. Sunya (Pali) atau suรฑรฑata (baca: sunyata) dalam Sansekerta secara terminologi, sebagaimana dalam buku ini, artinya "beba