Guru Buddha Sakyamuni tidak berkomunikasi memakai bahasa Indonesia. Istilah "kepercayaan", sebagaimana sering digunakan para banthe dan romo penutur bahasa Indonesia ketika membabarkan ajaran Guru Agung, bagaimanapun terminologi-terminologi yang digunakan oleh para guru ini memiliki epistemologi yang khas.
Misalmya kata "kelahiran" dalam tumimbal lahir. Ini sering disalahpahami oleh oramg umum. Umumnya merujuk keluarnya bayi dari rahim ibu atau induknya. Tidak demikian maksudnya ketika istilah tersebut digunakan dalam Buddhisme. Begitu pula istilah "kepercayaan" dalam pembabaran ajaran Guru Agung oleh oara babthe dan romo dalam bahasa Indonesia. Ini tidak sama maksudnya dengan apa yang ditangkap oleh non-Buddhis, yang lebih mirip dugaan kuat, asumsi kuat, ataupun hipotesis.
"Kepercayaan" adalah kosakata dalam bahasa kita, bahasa Indonesia. Kita sering mendengar kata ini dalam ceramah-ceramah para banthe, para romo, ataupun naskah-naskah tentang Buddhisme. Istilah tersebut digunakan sebagai padanan kata Sati.
Sebuah Pertanyaan
Ide tulisan ini berangkat dari pertanyaan orang sekitar. Dari itu, saya tergerak menulisnya sependek saya tahu.
Dalam senda gurau, saya ditanya apa yang menjadi kepercayaan Buddhis kalau ajarannya paling utama adalah berlatih dan mengembangkan sadar terhadap silih ganti muncul dan lenyapnya aliran pikiran dan emosional?
Tentu saya dapat mengertii sebab ketika mendengar kata "kepercayaan", konsepsi pikiran antara saya dan penanya adalah berbeda. Makna dari istilah kepercayaan dalam Buddhisme, ā𝘨𝘢𝘮𝘢 (laku urip) yang lahir dari rahim lebudayaan India-Nepal ini, berbeda dengan kepercayaan dalam agama-agama yang lahir dari rahim kebudayaan Semitik.
Untuk menuju pemahaman atas kata "kepercayaan" dalam Buddhisme tersebut, kita seyogyanya memulai memahami apa fokus ajaran ini dan perbedaan dengan ajaran untuk mempercayai sesuatu dalam agama lain, yang sifatnya dogmatik.
Perbedaan Fokus
Untuk memahami arti "kepercayaan" dalam Buddhisme dan perbedaannya dengan istilah kepercayaan dalam ajaran lain, kita harus memahami fokus agama dharmik ini yang fokusnya adalah bagaimana seseorang secara kejiwaan sanggup mengembangkan tenangnya kejiwaan/psikis/batin dan secara psikis tidak larut dibingungkan oleh naik turun ritme kehidupan kita jumpai dan alami. Adapun agama-agama teisme-dogmatik yang lahir dari kebudayaan Semitik yang fokus utamanya meraih dan mengejar kenikmatan hormonal (makanan dan minuman lezat tiada bosan, kenikmatan seksual adiktif bagi para pria, dan tempat menyenangkan indra) setelah kematian, sebagaimana dipercayai.
Ringkasnya, Buddbisme menekankan nagaimana menjalani hidup sekarang kini, sementara lainnya fokus meraih kenikmatan setelah kematian.
Analogi Mempermudah Gambaran
Telah kita tahu perbedaan fokus tadi yang mana fokus utama agama Buddha adalah pencarian ke dalam diri pada kehidupan ini untuk mengembangkan kesadaran bijak dan bajik menjalaninya, sementara agama lainnya adalah mengejar dan meraih kenikmatan di luat diri setelah mati. Tiba kini untuk membuat analogi perbedaan epistemologis penggunaan kata "kepercayaan".
Sifat kebenaran yang diusung agama teistik yang basisnya dogmatik adalah berbicara tentang dunia luar diri, utamanya tentang kebenaran sosok adikodrati dan kehidupan dengan segala macam kenikmatan indriawi setelah mati yang digambarkan di luar alam semesta ini. Kata "kepercayaan" dalam konteks ini analoginya ibarat menebak apa isi dari sebiah semisal kotak kado. Kita menduga-duga kebenaran isinya, apakah menduga benarnya berisi boneka atau berisi mainan mobil-mobilan atau berisi lainnya semisal bola kasti, atau malah itu hanya kotak kado kosong. Tak akan tahu sebelum dibuka. Kontek lata kepercayaan yang demikian beresonansi dengan hipptesis, dugaan, yang mana kepercayaan baru akan menjadi kebenaran valid ketika kado dibuka.
Adapun "kepercayaan" yang mana sebagai padanan kata sati dalam Buddhisme layaknya kita memakan suatu makanan, misalnya mie ayam dari warung tertentu. Kita bisa mengatakan percaya bahwa mie ayam itu enak bila kita telah mengalami sendiri memakannya. Kita bisa mengatakan "Saya percaya bahwa mie ayam ini benar lezat" bila kita telah mencicipinya. Mungkin lidah orang lain tidak cocok, yang demikian tidak masalah bagi Buddhis. Dalam bahasa kesehariannya, "Tidak semua orang harus sama seleranya dengan saya." Begitu juga bagaimana mengembangkan spirit atau batin kita agar teguh menjalani kehidupan ini, dan tidak semua orang harus sama dengan saya.
Prinsip inilah yang mendasari sikap toleran para siswa Buddha Sakyamuni secara umum. Sati, dengan kata lain, saya percaya bahwa ajaran ini memang menghadirkan keteguhan batin saya karena demikianlah yang saya rasakan, ini belum tentu cocok bagi spiritual anda.