Ini adalah novel berjudul sama kedua aku beli, untuk koleksi. Kadang, saya membacai ulang bagian yang menyimpan pesan ajaran, yang perlu kita bacai seksama dan mengontemplasikannya. Salah satu novel yang berkontribusi kepada diriku tentang, setidaknya secara pemahaman, apa yang dikehendaki dari tiada aku (anatta), atau aku (atta) yang sekedar ilusi alias tidak hakiki atau bukan sejatinya aku. Si aku hanya konsepsi bentukan mental.
![]() |
| Dok. Pribadi. |
Pengalamanku, menyadari anatta adalah poin krusial dalam ajaran Sang Buddha. Secara alamiah untuk terjadinya transformasi psikis yang setelahnya kelegaan yang sulit diutarakan. Dalam bahasa gampang, terjadinya pergeseran perspektif melihat diri yang semula beranggapan bahwa aku adalah nyata yang dari ujung kaki sampao ujung rambut bertransformasi ke kesadaran kemutlakan, nondualitas, transendensi, manunggaling.
Tak ada gunanya agama kita jika tak bisa membawa kita tersadar hakikat hidup, terlepas dari kebingungan kita diombang-ambingkan silih ganti dan pasang surut kenyataan kehidupan, dan mendorongmu mewujudkan kebahagiaan kokoh batinmu pada hidup ini, bukan?
***
Secara kebahasaan, antonim "anatta" adalah "atta". Atta dalam ungkapan lebih kontemporer versiku adalah kemampuan kognitif merngada (bereksistensi) dari saat ke saat. Arus mental terus menerus yang darinya batin kita ibarat kebun dengan bebagai tanaman konsep-konsep.
Kemampuan eksistensi ini, berbeda dari eksistensial dalam filsafat Barat yang kita kenal, dalam Buddhisme diradikalkan lebih jauh bahwa kemampuan kognisi bereksistensi ini didekontruksi sedemikian rupa, maka kita akan dapati lima gugus pencerapan: tubuh (rupa), sensasi/perasaan, persepsi atau kemampuan mengobjektivikasi objek, p(em)ikiran-pikiran, dan kemampuan kognitif merasa bahwa diri/akui seolah-olah nyata ada.
***
Bagian akhir novel ini, dan di sinilah letak mengesankannya, menyampaikan pesan ajaran Sang Buddha mengenai anatta diantara peristiwa Sidharta Gautama merealisasi Kecerahan atau Kebuddhaan. Anda harus seksama membaca bagian ini. Deepak Chopra menarasikannya bangkitnya Kesadaran Sidharta dalam dialog kepada dirinya sendiri.
| Deepak Chopra (Wikipedia) |
Aku adalah Semesta; Semesta adalah aku.
Sebuah transformasi dari terpenjara dalam aku kecil menuju kebebasan mental dari dualitas. Transendensi. Pengalaman transformatif mental kepada Kecerahan, yang menggaungkan satu topik dari percakapan Banthe Nagasena dengan Raja Minander I Soter dalam Milinda Panna.
Terbangunnya batin dari ilusi. Karenanya hipotesis bahwa ada penderitaan dan jalan penyudahannya benar, menjadi tesis. Mujarab. Valid. Semua bermula kekelirutahuan tentang diri/ego/aku (atta).
***.
Di awal novel, Chopra memberi sedikit catatan kaki kekeliruan orientalis Barat yang mengira bahwa Buddhisme adalah ateis. Buddhisme tidak menyatakan atau menyangkal apa pun. Tak ada gunanya menyatakan ataupun menyangkal. Itu tidak dapat membebaskan kita dari penderitaan eksistensial.
Buddhisme, mengajarkan tentang Kecerahan batin, Kebuddhaan, mewujudkan Nirwana di kehidupan ini, mengalami atau melampaui dualitas, mengalami langsung transendensi. Atau hanya berurusan dengan penyucian dan pemurnian mental supaya sebagaimana asalinya.
Sisanya, karena ini novel biografi, adalah berkisah pencarian Sidharta Gautama mulai dari mudanya dan tekadnya keluar dari istananya dan menjadi pertapa. Hanya satu yang beliau cari adalah terbebas, dalam bahasa saya hari ini, pengalaman eksistensial yang membingungkan. Menemukan jalan laku terbebas dari dunia yang tidak memuaskan dan penderitaan (dukkha).
