Secara rangka bangun berisi seperti umumnya kita baca, mengisahkan kelahiran, pencarian spritual untuk terbebas dari fenomena kelahiran dan hal yang sudah pasti mengikutinya, peristiwa tersibak tirai batin (Kebuddhaan), hingga menyajikan secara naratif tantangan Sang Tathagata mengajarkan tentang Dhamma. Juga berisi, seperti umumnya problematika keorganisasian, dinamika membangun sangha. Ketika beliau dihadapkan bibit perpecahan disebabkan satu siswa monastiknya, yang kemudian berbalik hendak mengkudetanya dari pimpinan sangha. Dialah Devadatta.
Sebuah biografi epik, dipadukan dengan gaya dialog diantaranya. Walau begitu ada bagian-bagian yang tertulis dalam buku, hemat saya pribadi, cukup sekedar dibaca saja. Dibaca sambil lalu saja.Koreksi Filsosofis dan Sosial
Dalam pembacaan buku ini, saya menggarismerahi bagian dalam uraian buku yang tampaknya menjadi antitesis dari pandangan reinkarnasi dan (walau tidak tidak dinyatakan terbuka oleh penulis) atman-anatman. Sebuah koreksi filosofis.
Pertama, koreksi terhadap pandangan reinkarnasi atau kelahiran kembali. Pandangan ini dipandang beliau malah menjadi penghalang siapa saja yang berusaha mencapai Keterbebasan dari penderitaan.
Gagasan tentang diri yang kekal, berupa ego atau jiwa, yang terhubung dengan prinsip ilahi yang abadi di alam semesta dan berpindah dari satu kelahiran kembali menuju kelahiran kembali berikutnya ... adalah ilusi dari keinginan diri sendiri ... hal itu hanya akan menjadi penyebab penderitaan ... menjadi penyebab penderitaan yang takkan pernah dilepaskan (h. 101).
Sederhananya, gagasan filosofis kelahiran kembali atau reinkarnasi dalam dirinya terdapat fallacy yang karenanya tak akan mengantarkan kepada Pembebasan dari penderitaan. Pernyataan menjadi koreksi pula terhadap konsepsi kekekalan ruh.
Koreksi kedua adalah ranah konstruk sosial, tentang kebrahmanaan.
Karena 'brahmana' berarti seorang yang menjalani kehidupan suci, menjadi seorang brahmana bukanlah soal kasta yang diwarisi secara turun temurun. 'Siapa pun,' lanjutnya, 'yang telah memurnikan pikirannya dan bersikap rendah hati, adalah seorang brahmana. Hanya karena ia tidak sombong, tidak angkuh, bisakah dia disebut seorang brahmana? (h. 87-88)."
Demikian jawaban Sang Tathagata kepada seorang brahmana yang mencoba mengujinya. Statment yang menentang bangunan mapan tatanan sosial zamannya.
Dalam aspek kesetaraan gender, bahwa kaum perempuan juga punya kapasitas mencapai Liberasi dari penderitaan eksistensial. Atas masukan Ananda, Sang Tathagata akhirnya menyetujui inisiatif sepupu sekaligus siswanya perihal penahbisan bikkhuni.
Poin Menarik
Terdorong oleh kesan beliau jumpai akan kenyataan hidup manusia dan mencari jawaban pertanyaaan eksistensial yang mengganggunya: Bagaimana terbebas dari penderitaan kelahiran, penuaan, kemerosotan atau penyakit, dan kematian?
Ada dua halaman yang berisi hal menarik untuk setidaknya menjadi pemantik bagi kita megeksplorasi terhadap ajaran pembebasan beliau. Dua itu adalah sebagai berikut.
Pertama. Dikisahkan Gautama, yang mencari keterbebasan dari siklus penderitaan dari kelahiran, menjejakkan kaki di wilayah Kerajaan Magadha. Bimbisara, raja kerajaan itu, penasaran dengan pembawaan sang pencari. Ia akhirnya menemuinya di tempat singgahnya, gua di Gunung Pandava.
Bimbisara meyakini potensi si pertapa, yang dilihatnya beberapa hari lalu, memiliki kapasitas mengatur dan memanajemen kekayaan harta. Semacam ajakan bergabung dalam barisan kepemerintahannya, kiranya demikian. Jawab Sang Pencari dengan etis menolak:
Tuan, Anda adalah orang yang baik,' jawab Bodhisatva. 'Tapi saya tidak membutuhkan kerajaan maupun tentara Anda. ... Saya menjalani kehidupan sebagai tunawisma (kehidupan yang tidak bergantung pada tempat tinggal permanen) karena tidak mampu menerima kesewenang-wenangan atas penyakit, usia tua, dร n kematian. Inilah musuh-musuh yang ingin saya taklukkan. Terhadap mereka, pasukan Anda tidak berdaya (h. 56).
Kedua. Setelah memberi analogi ke Raja Prasenajit yang curhat bahwa dia lelah secara emosional dengan urusan kenegaraan dan perang melawan keponakan sendiri, Ajatashatru, tertulis sebagai berikut di halaman 260.
... usia tua dan kematian telah mendekati kita sekarang," Ujar Sang Buddha ke raja tersebut.
Mengajaknya meletakkan kesibukan duniawi dan manjalankan laku Dhamma.
Dari dua kutipan di atas, kita mencatat bahwa, kutipan pertama, tujuan utama Sang Buddha adalah terbebas dari kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian. Sedangkan kutipan kedua, ia mengatakan perihal bahwa usia tua dan kematian juga menimpa dirinya dan Prasenajit.
Sepintas kontradiktif. Namun konteks kutipan pada ranah berbeda. Kita juga bisa menangkap bahwa pembebasan dari penderitaan (lahir, usia tua, sakit, mati) bukan melalui cara medis atau apalagi mistis, melainkan setidaknya pondasi awal menuju Pembebasan dari siklus penderitaan adalah pemahaman kefilsafatan.
