Terlepas ada banyak ajaran menawarkan cara berbahagia, terlepas seberapa kokoh dan efektif untuk seseorang atau tidak, terlepas tawaran metode itu memperkenalkan seseorang akan apa sejatinya dirinya atau tidak, spiritualisme adalah sarana kultivasi batin atau kesadaran, seni berbahagia dalam kehidupan. Tulisan ini menghadirkan beberapa kesamaan ajaran Stoikisme dan Buddhisme.
1/ Titik Berangkat
Lahir dari rahim kebudayaan berbeda dan berjauhan, meski pada zaman itu telah ada hubungan kebudayaan dan politik. Buddhisme berdiri di wilayah yang saat ini masuk Nepal dan India utara pada sekitar 500 SM dan Stoikisme dimulai di Athena, Yunani, sekitar 300 SM.Stoikisme dinisbatkan ke Zeno sebagai pendiri. Setelah selamat dari peristiwa kapal yang ditumpangi dan berisi barang dagangannya berupa pewarna ungu, bahan pewarna paling mahal dan langka di zamannya, ia terdampar di Athena.
Suatu hari ia menyambangi toko buku dan tertarik Memorabilia Xenophon. Terkesan dengan isi buku, Zeno bertanya ke penjualnya di mana ia bisa menemukan orang seperti Socrates. Bersamaan itu, melintas filsuf Sinisme paling terkenal, Crates dari Thebes, berjalan melalui mereka. Jari si penjual seketika menunjuk ke Crates dan menganjurkannya mengikutinya.
Buddhisme didirikan oleh Siddhartha Gautama. Dalam pencarian jawaban akan penderitaan dan jalan pembebasan darinya. Ia sampai pada bahwa penyebab dari semua penderitaan adalah nafsu keinginan atau hasrat kuat, dan loba.
2/ Selaras Alam & Anicca
Meski interpretasi mengalami pergeseran dari pendekatan rasionalisme ke empirisme dewasa ini, doktrin ini adalah fundamental dalam Stoik. Era Yunani kuno, selaras Alam berarti secara kodrat, untuk menemukannya, pendekatannya rasionalisme spekulatif. Karena itu, menurut Manampiring, awal kata seyogianya ditulis kapital untuk membedakannya dengan alam dalam arti sebagai kaidah alam fisis. Pemaknaan yang kedua ini dipegang Pigliuci, yang tak lain tak bukan adalah the law of nature. Kita harus memahami kerja alam ini dalam menumbuhkan sikap bijak dan bertindak sampai batas mana dan apa saja yang sekiranya di bawah kendali kita, apa-apa yang sekiranya bisa diupayakan, dan apa saja yang di luar kendali kita. Marcus Aurelius:Kamu memiliki kendali atas pikiranmu—bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sadari ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.
Selaras alam dalam koridor empirisme artinya tidak menyangkal kerja alam dan kita secara mental berusaha menyesuaikan dengan itu. Misalnya, tak ada gunanya bersedih dengan kematian, walau secara etis kita harus bersikap sewajarnya. Epictetus mengajarkan,
Siapa pun yang mengingini atau menghindari hal-hal yang ada di luar kendalinya tidak pernah akan benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi akan terus terombang-ambing terseret hal-hal tersebut.
Doktrin ini adalah kunci dalam usaha menciptakan kebahagiaan internal, apatheia. Prokopton harus paham kerja fisika umum dan alam di mana kita bagian mutlak. Misalnya, sebab anda lahir, maka anda menua, maka anda sakit, dan pasti anda mati.
Doktrin selaras alam tadi sejajar dengan doktrin anicca dalam doktrin Ciri Keberadaan Buddhisme, bahwa apa yang kita konsepsikan misalnya air, uap air, dan awan, bukanlah hal yang secara esensial abadi, kekal, atau permanen. Melainkan gabungan sebab yang mengondisikan hal sebelumnya. Dengan kata lain, yang sekarang menjadi "kondisi ini" adalah akibat dari suatu sebab atau akumulasi sebab yang mengakibatkannya. Tak terkecuali fisik kita hanyalah kumpulan dan susunan hal atau zat alam yang entah kapan akan terpecah kembali. Memunggungi kaidah alam dan menyangkal anicca bukan orang bijak. Yonge Mingyur Rinpoche mengatakan,
Memahami ... kondisi dasar kehidupan adalah langkah pertama untuk bebas dari ketidaknyamanan dan kegelisahan.
3/ Aphateia & Nibbana
Kesamaan berikutnya adalah keduanya berangkat dari fenomena penderitaan—ketidakpuasan, kebencian, amarah, watak iritatif, keputusasaan, kebingungan, kegelisahan, loba atau selalu merasa kurang, dst.—yang dialami manusia, entah itu ringan atau berat. Dalam Buddhisme, kenyataan ini tergambar dalam Kebenaran Ariya pertama, dukkha. Dalam Stoikisme terkandung dalam doktrin apatheia atau disebut pula atharaxia.Jika seseorang berhasil memprovokasimu, sadarilah jika pikiranmu terlibat dalam provokasi itu.
Ajaran pemetaan kendali Stoikisme ini secara umum sejajar terhadap Kebenaran Ariya, yaitu dari mana sumber penderitaan/ketidakpuasan manakala berhadapan silih berganti fenomena, dan kebenaran akan ada cara untuk menyudahinya.
Menyudahi ketidakpuasan atau penderitaan hanya mungkin bila dalam diri seseorang telah terbangun pandangan cerah, yang juga bertalian dengan sadar akan Ciri Keberadaan. Ini akan segera disusul dengan sendirinya ketergugahan mental/batin. Pikiran-kebuddhaan, atau istilah teknisnya Nibbana. Nasihat Guru Zen Buddhisme Thich Nhat Hanh,
Pikiran tidak menggenggam pikiran; pikiran tidak mengusir pikiran. Pikiran hanya bisa mengamati dirinya sendiri.
Apatheia dan Nibbana adalah kebahagiaan yang tanpa bergantung stimulus. Kebahagiaan tanpa perlu syarat. Kebahagiaan tanpa perlu kausal eksternal. Karenanya secara literal disebut kebahagiaan sejati.


